Tak bisa rotan, serat pisang pun jadi

id serat pisang palembang,pabrik karpet serat pisang palembang,cv natural palembang,Kemudahan Impor Tujuan Ekspor,bea cukai

Tak bisa rotan, serat pisang  pun jadi

Dua pekerja di pabrik CV Natural Palembang tampak sedang menganyam pintalan benang dari serat batang pisang abaca untuk dijadikan karpet, Selasa (22/9) (ANTARA/Aziz Munajar/20)

Palembang (ANTARA) - Puluhan ibu-ibu sibuk merajut pintalan serat pisang abaca jelang waktu makan siang, gerakan tangan mereka tampak meyakinkan jika para pekerja di pabrik CV Natural Palembang itu sudah sangat berpengalaman sehingga tidak mengherankan hasil produknya pun diminati pasar ekspor.

Berlokasi di Jalan Sukarela KM 7 Kota Palembang, CV Natural yang didirikan Djunaidi sejak  2000 itu masih terus memproduksi karpet dan keset berbahan dasar serat pisang abaca (abaca fiber) maupun kayu di tengah kelesuan industri akibat pandemi COVID-19.

Djunaidi beralasan bahwa karpet produksinya pasti tetap terserap oleh pasar, terutama di negara-negara tujuan ekspor yakni Belgia, Inggris, Turki, Malaysia dan Amerika Serikat

"Sekarang memang toko-toko reseller kami masih tutup, nanti jika sudah buka pasti minta lagi dan tinggal dikirimkan saja," kata pria berusia 71 tahun itu.

Meski mengakui omsetnya menurun hingga 40 persen akibat pandemi, namun Djunaidi enggan menghentikan produksi karena menilai permintaan masih terjaga, setidaknya terlihat dari omset sebesar 30.000 dolar amerika yang diraupnya perbulan saat ini.

Sebab ia mengklaim sebagai satu-satunya industri kecil menengah (IKM) pembuat karpet handmade berbahan serat pohon pisang abaca dan kayu di Indonesia yang tetap rutin mengekspor.

Djunaidi menuturkan, serat pisang dan kayu yang saat ini sukses besar semula bukanlah bahan baku pilihan pertamanya ketika terjun ke dunia industri handmade.

Ia sempat bekerja sebagai penjual mesin selama dua tahun, lalu menjajal bisnis ekspor rotan mentah dengan tujuan utama ke Jepang, karena ia menilai bisnis rotan mentah lebih irit modal dan permintaan pasar sangat tinggi.

Namun pada 2004 Pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor rotan dalam bentuk mentah, pada saat bersamaan produk tikar rotan asal Kalimantan secara komulatif juga membanjiri pasar Jepang dengan kualitas asal-asalan.

Alhasil, kata dia, produk rotan yang semula bernilai ekslusif nan mahal di Jepang mendadak jatuh dan menjadi barang murah, tanpa pikir panjang ia pun mencari bisnis ekspor lain meski sempat menginvestasikan modal untuk bisnis olahan rotan.

"Lalu saya lihat peluang karpet kayu (wooden carpet), waktu itu lagi banyak permintaan dari Korea, kebetulan di sini (Sumsel) banyak kayu bagus-bagus seperti ada Jelutung dan Akasia," ujarnya.

Kiprah ekspornya kemudian berlanjut dan mampu mengirim empat kontainer karpet kayu ke Korea per bulan selama lima tahun, karpet kayu sendiri biasa digunakan warga negeri Gingseng sebagai alas kasur lantai agar terasa lebih hangat.

Sayangnya sejak 2005 masyarakat Korea mulai menggunakan kasur elektrik yang menghasilkan kehangatan otomatis, sehingga karpet kayu buatan Djunaidi tersingkir dari pasaran.

Djunaidi kemudian menawarkan produk karpet kayunya ke pasar Amerika Serikat, hasilnya bahkan lebih parah, produknya tidak diminati warga negeri paman sam.

Kondisi tersebut tidak membuatnya patah arah, lewat berbagai pameran internasional ia akhirnya menemukan ide untuk membuat karpet berbahan serat daun pisang abaca yang kini laris-manis di Amerika Serikat.

"Ikut pameran itu lebih efektif mencari konsumen," katanya.

Impor serat pisang, ekspor karpet jutaan rupiah

Serat pohon pisang abaca menjadi pilihan selanjutnya bagi Djunaidi mengembangkan industrinya, sejak 2005 ia mulai merubah berton-ton serat batang pisang untuk dijadikan karpet dan produk turunan lainnya.

Ia bahkan merakit sendiri alat tenun dan serba-serbi peralatan mekanik yang dibutuhkan untuk produksi, selain tidak adanya perusahaan yang menjual alat itu, ia juga ingin menekan ongkos produksi.

Namun bahan baku serat pisang harus diimpor dari Ekuador dan Filipina karena serat pisang di dalam negeri kurang kuat dan tidak tahan lama, kemudian serat yang masih berbentuk gulungan besar dipintal untuk dijadikan benang.

Pada proses pemintalan itu ia mengandalkan 400 orang pekerja rumahan yang tersebar di SP Padang OKI dan Kota Palembang, metode remote tersebut dipilih karena pabrik seluas tiga hektar miliknya tidak mampu menampung jumlah pekerja yang hanya cukup untuk 200 orang dengan ukuran alat-alat yang cukup besar.

"Serat pisangnya dikirim ke pekerja rumahan, setelah itu dikirim ke pabrik kalau sudah jadi benang," ujar pria lulusan Teknik Mesin Universitas Indonesia itu.

Gulungan benang serat pisang kemudian di anyam menjadi tali yang lebih tebal oleh pekerja di pabrik, setelah itu tali dirajut menjadi karpet, keset, dan tatakan dengan berbagai motif.

Tatakan atau keset kecil biasanya dirajut oleh satu pekerja, sementara karpet ukuran maksimal enam meter dikerjakan berkelompok dengan waktu bisa mencapai dua minggu, keduanya dilakukan mengikuti motif yang sudah ada di blok-blok lantai sesuai permintaah konsumen (custom).

Sedangkan karpet ukuran terbesar yakni 9x9 meter dikerjakan satu pekerja dengan metode merajut secara vertikal ke atas, butuh waktu hingga tiga pekan untuk menyelesaikannya meskipun hanya polos tanpa motif.
Seorang pekerja di pabrik CV Natural tampak sedang menganyam karpet dari serat pisang abaca dengan metode vertikal, Selasa (22/9) (ANTARA/Aziz Munajar/20)


"Orang Amerika paling suka dengan karpet abaca ukuran lebar ini karena lebih tahan lama," kata Djunaidi.

Hampir sama dengan serat pisang, Djunaidi pun mulai membuat produk turunan dari kayu, yakni tatakan untuk gelas, meja, alas kaki serta tetap mempertahankan karpet sebagai produk utamanya.

Ia juga mengimpor lamun (sea grass) dari India dan tali rafia berbahan daun palem dari Madagaskar (Afrika) sebagai bahan tambahan untuk pembuatan karpet.

Dari empat bahan baku tersebut CV Natural menghasilkan ribuan item per bulan, hanya lima persen saja yang dijual ke pasar lokal, sisanya diekspor ke negara-negara di Asia, Eropa dan paling besar ke Amerika melalui Pelabuhan Boom Baru Palembang dan Tanjung Priok Jakarta.

Soal harga, item termurah yang dijualnya yakni tatakan gelas dari kayu 10x10 centimeter seharga Rp4000, dan yang termahal karpet bahan serat pisang berukuran 9x9 meter seharga hampir Rp250 juta.

"Harga tergantung ukuran, tapi hitunganya Rp3 juta per meter," tambahnya.

Ia menambahkan bahwa omsetnya dalam kondisi normal sebelum COVID-19 bisa mencapai 70.000 dolar amerika perbulan atau hampir Rp1 Miliar, kini CV Natural yang ia dirikan sudah dialihkan ke tiga anaknya.

Dilirik fasilitas KITE Bea Cukai

Kiprah impor dan ekspor CV Natural akhirnya dilirik Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Palembang untuk diberikan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Kasi Penyuluhan dan Informasi KPPBC Palembang, Dwi Harmawanto, mengatakan KITE memfasilitasi perdagangan dan industri di bidang kepabeanan dan cukai untuk meningkatkan pertumbuhan industri.

"Kami menggandeng pelaku usaha di sekitar Bea Cukai Palembang agar lebih maju, CV natural ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas KITE," kata Dwi.

Menurutnya KITE diberikan kepada IKM yang melakukan impor bahan modal kemudian mengolahnya di dalam negeri lalu mengekspornya kembali.

KITE diperuntukan untuk tiga kelompok impor-ekspor dengan tiga keuntungan berbeda, yakni bahan baku, mesin dan barang contoh.

Kelompok bahan baku, termasuk juga bahan penolong dan pengemas yang diimpor akan mendapat pembebasan bea masuk, namun wajib dilakukan olah rakit pasang membuat hasil produksi untuk tujuan ekspor.

Kemudian kelompok mesin untuk pengembangan industri (penambahan kapasitas produksi, modernisasi, rehabilitasi) akan dibebaskan biaya PPN, namun wajib digunakan untuk proses produksi dalam jangka waktu dua tahun sejak impor.

Sedangkan kelompok barang contoh yang digunakan untuk menunjang kegiatan proses produksi yang hasilnya untuk ekspor, akan mendapat pembebasan biaya pengganti pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

"Syarat kelompok barang contoh ketentuan jumlah barang contoh fasilitas KITE IKM sesuai pertimbangan risk management dan kewajaran, serta kriteria dan ketentuan lain sesuai peraturan barang contoh," jelas Dwi.

Program KITE tersebut akan membantu Djunaidi menekan ongkos modal, kata dia, sebab CV Natural menghabiskan sekitar 50.000 dolar hanya untuk bea masuk 5 persen dari impor bahan baku serat batang pisang setiap tahun.

Tidak hanya DJunaidi, Bea Cukai Palembang masih 'bergerilya' mencari IKM yang cocok mendapatkan program KITE agar industri lokal semakin berdaya saing di pasar ekspor dan keseimbangan kelangsungan industri dalam negeri semakin terjaga.