Peneliti usul moratorium konversi kawasan mangrove

id perubahan iklim,hutan mangrove,kawasan mangrove,moratorium mangrove,hutan bakau aceh

Peneliti usul moratorium konversi kawasan mangrove

Foto udara permukiman warga yang dikelilingi hutan mangrove di Desa Bedono, Sayung, Demak, Jawa Tengah, Rabu (24/4/2019). Menurut data perkiraan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak, dari sekitar 5.207 hektare hutan mangrove di Demak sekitar 1.162 hektare di antaranya dalam kondisi rusak akibat sejumlah faktor termasuk gempuran gelombang tinggi, alih fungsi lahan, dan dampak perubahan iklim. (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Jakarta (ANTARA) - Moratorium kawasan hutan bakau atau mangrove bisa menjadi pertimbangan sebagai langkah untuk melestarikan vegetasi yang dapat membantu langkah mitigasi perubahan iklim tersebut, kata peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Virni Budi Arifanti.

"Sebetulnya sudah cukup banyak regulasi mengenai instansi mana yang mengelola mangrove seperti Perpres Nomor 73 Tahun 2012 tentang pengelolaan ekosistem mangrove dan Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 4 Tahun 2017," kata peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) itu dalam diskusi diskusi online Pojok Iklim KLHK yang diadakan di Jakarta, Rabu.

Dia mengakui implementasi di lapangan terkadang sulit karena banyak faktor yang mempengaruhi soal mangorve termasuk ego sektoral, karena itu perlu kerja sama antar kementerian dan lembaga untuk berbagai faktor pelestarian mangrove.

Tidak hanya itu, pelestarian mangrove juga dipengaruhi berbagai faktor eskternal lain seperti alih fungsi lahan, eksploitasi air tanah dan sampah laut.

Menurut dia, ancaman yang paling berbahaya bagi konservasi mangrove adalah alih fungsi menjadi tambak karena selain menghilangkan pelindung yang dapat membantu mengatasi permasalahan kenaikan air laut, berkurangnya vegetasi mangrove juga berpengaruh terhadap perubahan iklim.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan P3SEKPI di Delta Mahakam, Kalimantan tentang emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan akibat konversi mangrove menjadi tambak, yaitu akan menghasilkan 1.925 CO2 per hektare (ha) per tahun atau jika dikonversi setara dengan emisi yang dikeluarkan 1,1 juta kendaraan per tahun.

"Karena itu saya ingin mengemukakan usul bagaimana kalau pemerintah mulai mengeluarkan moratorium konversi mangrove. Entah konversi untuk tambak atau kelapa sawit. Itu belum ada saat ini," ujarnya.

Peran mangrove dalam mitigasi perubahan iklim juga ditegaskan oleh pakar iklim kehutanan Daniel Murdiyarso yang mengatakan mangrove bisa memiliki kapasitas penyimpanan 1.500 ton karbon per unit area dengan 80 persennya berada di dalam tanah.

Angka itu tiga kali lipat dari yang mampu dilakukan oleh hutan daratan yang bisa menyimpan 300 ton dalam kondisi rimbun, kata peneliti senior di Center for Internation Forestry Research (CIFOR) itu yang juga menghadiri diskusi Pojok Iklim.

Hal itu penting di saat Indonesia ingin mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang dicanangkan lewat Persetujuan Paris untuk pada 2030 mengurangi emisi sebesar 29 persen lewat usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.

"Karena itu dalam percaturan global mangrove mendapat tempat yang istimewa dalam kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim karena kemampuan menyimpan karbon yang tinggi," ujar Daniel.