Hakim pemutus kasus PT BMH bersertifikat lingkungan

id hakim, pn palembang, gugatan kebakaran lahan, sidang, Parlas Nababan

Hakim pemutus kasus PT BMH bersertifikat lingkungan

Ilustrasi - Pembacaan putusan di persidangan kasus gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp7,8 triliun (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/15/den)

...Saya sudah memiliki sertifikat ini sejak 2011...
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Pengadilan Negeri Palembang menyatakan dua hakim pemutus kasus gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp7,8 triliun telah bersertifikat lingkungan.

Ketua Pengadilan Negeri Palembang Sugeng Hiyanto di Palembang, Senin, mengatakan dua hakim itu, Parlas Nababan (ketua), Kartijono (anggota), sementara Eli Warti (anggota) belum berserifikat lingkungan.

Pemilihan ketua dan anggota majelis sudah disesuaikan dengan sumber daya manusia di PN Palembang yang hingga kini masih kekurangan hakim lingkungan.
     
"Dalam UU memang idealnya harus semuanya hakim lingkungan, tapi di PN Palembang hanya ada satu hakim lingkungan yakni Kartijono, sementara satu lagi Djoko Sungkowo sedang dalam pendidikan untuk mengambil sertifikasi. Lantaran itu dipilihlah Eli Warti, sementara sebagai ketua yakni Parlas Nababan merupakan hakim berstatus ex officio (semua perkara, red)," kata dia.
     
Ia mengharapkan, informasi ini dapat meluruskan pemberitaan di masyarakat karena sejauh ini dikabarkan bahwa majelis hakim untuk menyidangkan kasus tersebut terbilang tidak kompeten.
     
"Untuk menentukan majelis dilakukan rapat terlebih dahulu di lingkungan PN. Karena kasus lingkungan ini jarang, jadi wakil ketua yang dipercaya untuk memimpinnya. Ini justru menimbulkan kelegaan karena Parlas Nababan sudah sangat berpengalaman di banyak kasus," kata dia.

Terkait hal ini, Kartijono membenarkan bahwa dirinya telah memiliki sertifikat hakim lingkungan.

"Saya sudah memiliki sertifikat ini sejak 2011, selebihnya saya tidak bisa berbicara banyak karena institusi telah memutuskan semua pernyataan harus lewat humas," kata Kartijono yang ditemui di PN Palembang untuk meminta tanggapan terkait kasus ini.

Senada, Eli Warti juga enggan memberikan komentar ketika ditanya mengenai prasyarat sertifikat lingkungan. "Mengenai itu, tanya humas," kata Eli Warti sambil berlalu.

KLHK menggugat PT  Bumi Mekar Hijau (PT BMH) secara perdata atas terbakarnya lahan seluas 20 ribu hektare pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir.
     
Kemudian, setelah berjalan selama 11 bulan (terlebih dahulu melewati mediasi), majelis Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Parlas Nababan memutuskan untuk menolak gugatan perdata KLHK ke PT Bumi Mekar Hijau sebesar Rp7,8 triliun.
     
Putusan dibacakan pada 30 Desember 2015, karena menimbang tidak ada unsur yang merugikan negara berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli, dan sidang di lokasi kebakaran bahwa lokasi yang terbakar masih dapat ditumbuhi pohon akasia (atau fungsi sebagai HTI masih tetap terjaga).
     
Selain itu gugatan ini dinilai terlalu prematur karena tidak dapat membuktikan kapan dan dimana lokasi kebakaran, eksepsi gugatan kabur, dalil tidak jelas, dan fakta bahwa lokasi itu merupakan areal pohon akasia berusia 3-4 tahun yang siap panen.
     
Sehingga hakim menilai tidak ada hubungan sebab akibat (kausal) antara kesalahan dan kerugian.
     
Kasus ini sejak awal mendapatkan perhatian dari masyarakat, dan para penggiat lingkungan seiring dengan bencana kabut asap pada 2015.
     
Beberapa hari lalu diketahui bahwa website resmi Pengadilan Negeri Palembang dirusak oleh oknum tidak bertanggung jawab yang kecewa atas putusan majelis hakim. "Saya no comment" kata Parlas ketika dimintai tanggapan di PN Palembang, terkait banyaknya hujatan di media sosial terkait putusannya.