Tangan kurus itu mengayunkan palu, sesekali bergetar, dan keringat pun mengucur deras ketika cahaya matahari teramat panas membakar langit Desa Tanah Beak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tatkala palu beradu dengan batu, sejenak terdengar helaan napas berat, menahan kerasnya hentakan. Keringat kembali mengucur membasahi baju lusuh perempuan itu. Perempuan pemecah batu bernama Hilmawati.
"Menjadi pemecah batu sudah saya lakukan sejak enam tahun lalu," kata perempuan berusia 20 tahun, yang biasa disapa Wati.
Sembari terus mengayunkan palu di tangannya, Wati mengurai kisah kehidupannya. Dia menuturkan begitu lulus SD, langsung mengikuti jejak kedua orang tuanya menjadi pemecah batu.
"Habis ijazah saya cuma sekolahan dasar, mana bisa mendapatkan pekerjaan lain," ujar anak keempat dari tujuh bersaudara ini.
Dia meneruskan dulu ketiga kakaknya juga menjadi pemecah batu, namun sekarang mereka telah berhenti bekerja karena sudah menikah, sehingga tinggal Wati dan orang tuanya yang tetap menekuni profesi itu.
Pekerjaan ini, kata Wati dengan nada perlahan, bisa dibilang sebagai pengharapan sekaligus pelipur lara dalam hidupnya saat ini. Menjadi pemecah batu, selain mendapatkan rejeki meski penghasilannya tidak seberapa, ia dapat bercengkerama dengan teman-temannya sesama pemecah batu.
"Hidup saya itu berat. Lahir dari keluarga miskin, sehingga harus turut menanggung biaya sekolah adik-adik. Di samping itu, nasib saya memang kurang beruntung. Tiga tahun lalu saya nikah, menyusul punya bayi. Namun, baru berumur tujuh bulan, anak saya mendadak sakit dan meninggal dunia," katanya sembari menyeka keringat yang membasahi pelipisnya.
Tidak lama kemudian, lanjut Wati, sang suami menceraikan dirinya. Beruntung dengan menjadi pemecah batu, ia dapat sejenak melupakan kesedihan yang dihadapi, karena dapat mengalihkan pikiran saat bekerja.
Wati menginginkan suatu saat nanti nasibnya berangsur membaik dan tidak terus-menerus menjadi pemecah batu. "Mudah-mudahan nanti bisa menjadi pembantu rumah tangga. Kalau jadi pemecah batu terus-menerus, pendapatannya seminggu hanya Rp50 ribu. Nah, kalau jadi pembantu, gajinya tentu lebih banyak," tuturnya
Kalau penghasilannya meningkat, harap Wati, setidaknya pendidikan adik-adiknya bisa berlanjut agar tidak menjadi generasi pemecah batu. Tidak terus-menerus bekerja di bawah terik panas matahari, dengan hasil yang sangat minim.
"Semoga adik-adik saya bisa sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Biarlah saya sekarang bertahan menjadi pemecah batu, asal adik-adik tetap bersekolah dan nanti bisa mengubah nasib agar tidak terus hidup susah seperti keadaan kami saat ini," kata Wati dengan nada sendu.
Tumpuan Hidup
"Sudah sekitar sembilan tahun, saya bekerja sebagai pemecah batu. Inilah tumpuan kehidupan saya. Habis bagaimana lagi, tidak ada pekerjaan lain karena saya tidak mempunyai keterampilan apa-apa," kata Yuriyah (45), perempuan pemecah batu yang lain, di Tanah Beak.
Berbeda dengan Wati, Yuriyah mengaku tidak setiap waktu menjadi pemecah batu. Apabila musim tanam atau panen padi tiba, Yuriyah berhenti sebagai pemecah batu dan terjun ke sawah sebagai buruh. Begitu pekerjaan di sawah selesai, ia kembali melakoni pekerjaan menjadi pemecah batu.
Menurut dia pekerjaan itu dilakukan sejak pagi pukul 08.00 - 16.00 Wita. Setelah pekerjaan selesai, ia pulang ke rumahnya yang terletak di Desa Tringanjar di Lombok Tengah, yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari tempat kerjanya.
"Seminggu sekali, baru saya menerima gaji. Sehari hitungannya kira-kira Rp10 ribu, jadi kalau seminggu menjadi Rp70 ribu. Cukup tidak cukup, yang harus dicukup-cukupkan. Ini saja saya sudah bersyukur karena punya pekerjaan sehingga bisa membeli beras," ujarnya dengan ekspresi wajah yang pasrah.
Dikatakannya pekerjaan sebagai pemecah batu memang menjadi andalan satu-satunya dalam hidupnya karena suaminya sudah meninggal dunia. Kedua anaknya sudah menikah dan menjalani hidup masing-masing.
"Biarpun hanya menjadi menjadi pemecah batu, pekerjaan ini sangat saya syukuri. Selama ada pekerjaan, artinya saya masih bisa makan. Malah, kalau dengan menangis waktu bisa diperpanjang, pasti saya menangis setiap hari. Saya memang ingin waktu kerja bisa lama, agar gaji saya makin bertambah," katanya mencoba berkelakar.
Memberi Pekerjaan
H Amin, pemilik usaha batu material, menyatakan kalau usaha yang dikerjakannya tidak semata-mata mencari materi semata. Lebih dari itu, dia bersyukur karena setidaknya dapat memberi pekerjaan sebagai pemecah batu bagi perempuan-perempuan di Tanah Beak dan sekitarnya, yang rata-rata berpendidikan minim dan terlahir dari keluarga ekonomi lemah.
Dikatakannya usaha ini sudah dijalankan semenjak 10 tahun silam di atas lahan seluas lima are milik pemerintah, yang disewanya pada desa dengan biaya Rp500 ribu/tahun. Keputusannya menjadi pengusaha batu material, karena usaha sebelumnya sebagai penambang pasir, tidak lagi menjanjikan keuntungan yang pasti.
"Sebelum punya usaha batu material, saya menjadi penambang pasir. Pekerjaan ini saya lakukan sekitar 12 tahun, dengan menggali pasir di Kali Babak, lalu tinggal diantarkan kepada pemesan. Tetapi lama-kelamaan pasir di kali makin menyusut, sehingga penggali pasir banyak yang beralih sebagai pengusaha batu material," ujarnya.
Saat ini, katanya, ada sekitar 20 pengusaha batu material di Tanah Beak. Meski demikian, antara pengusaha ini tidak saling bersaing memperebutkan pembeli, karena sudah mempunyai pelanggan masing-masing, yang umumnya berasal dari Cakranegara, Ampenan dan Mataram.
H Amin menuturkan bahan baku batu didapatkan dari Selojan atau wilayah Lombok Timur, berupa batu berdiameter sekitar 15 - 20 cm. Batu itu diantarkan ke tempat usahanya seminggu sekali, sebanyak satu dam atau satu truk.
"Bisa dibilang, ini pekerjaan hanya untuk sekedar menyambung hidup untuk saya sekeluarga. Tidak ada penghasilan tetap setiap bulan, tapi paling tidak, saya bisa membantu wanita-wanita yang tidak punya pekerjaan di Tanak Beak. Kasihan, mereka itu sangat tegar dan tidak pernah mengeluh meski kerjanya berat," ujarnya. * Penulis buku dan artikel (P004)
