Jakarta (ANTARA) - Praktisi Kesehatan Masyarakat, Spesialis Kesehatan Jiwa dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Dr dr Khamelia Malik mengatakan terdapat paradoks pada kesehatan remaja yang terlihat sehat secara fisik.
"Angka kesakitan dan kematian di masa remaja meningkat hingga 200 persen pada akhir ini,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Khamelia mengatakan hal tersebut berbanding terbalik dengan masa remaja yang secara fisik merupakan periode paling sehat sepanjang hidup dari segi kekuatan, kecepatan, kemampuan penalaran, lebih tahan terhadap kondisi dingin, panas, kelaparan, dehidrasi, dan berbagai jenis cedera.
Salah satu penyebabnya, kata dia, karena ketidakmampuan dalam mengendalikan perilaku dan emosi yang mengakibatkan kesakitan dan kematian.
Khamelia menilai remaja pada saat ini menjadi sulit untuk dipahami. Hal tersebut disebabkan adanya area otak yang mengalami maturasi lebih cepat dibandingkan dengan area lainnya.
"Otak remaja berkembang dalam keadaan konstan, yang berarti remaja lebih cenderung melakukan perilaku berisiko dan implusif, kurang mempertimbangkan konsekuensi dibanding orang dewasa," ujarnya.
Untuk itu Khamelia mengimbau para orang tua untuk membimbing dan menjadi panutan para remaja dalam membangun kecerdasan emosi dan mengambil pilihan yang lebih sehat.
Menurutnya, orang tua atau guru perlu membantu remaja untuk mengevaluasi risiko dan mengantisipasi konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil remaja.
"Selain itu juga mengembangkan strategi untuk mengalihkan perhatian dan energi ke aktivitas yang lebih sehat agar kesehatan mental juga terjaga," ujarnya.
Sementara itu Kepala Pusat Riset (Kapusris) Kesehatan Masyarakat dan Gizi Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Pudji Nugraheni mengatakan kecemasan, depresi, dan gangguan mental, menjadi sejumlah contoh bentuk gangguan mental yang rentan diderita anak-anak dan remaja.
"Perubahan fisik dan hormon, tekanan akademis, serta masalah sosial dan identitas itu, bisa mempengaruhi terhadap gangguan kesehatan mental mereka," kata Pudji (10/10).
Ia mengatakan secara keseluruhan kondisi mental seseorang dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, sosial, ekonomi, serta kondisi biologisnya.
Selain anak-anak dan remaja, Pudji menyebut ada tujuh kelompok lain yang rentan terserang gangguan mental yakni individu dengan riwayat keluarga yang secara genetik punya gangguan mental, individu dengan penyakit kronis, serta seseorang dengan riwayat trauma dan pelecehan.
Berita Terkait
Dokter: Kesadaran masyarakat lakukan cek genomik masih kurang
Kamis, 16 Mei 2024 12:46 Wib
Sejumlah warga korban banjir di OKU kena gatal-gatal
Senin, 13 Mei 2024 18:12 Wib
BPJS Kesehatan: KRIS tidak hapus jenjang kelas layanan
Senin, 13 Mei 2024 15:37 Wib
BPJS Kesehatan: RS jangan kurangi tempat tidur karena KRIS
Senin, 13 Mei 2024 15:16 Wib
PPIH: Calon haji wajib waspada jika tak ingin selalu buang air kecil
Senin, 13 Mei 2024 12:50 Wib
Korban banjir di OKU jalani pemeriksaan kesehatan di Posko Trauma Center
Minggu, 12 Mei 2024 20:25 Wib
Banyak yang berisiko tinggi, Kanwil Kemenag Sumsel tingkatkan layanan kesehatan JCH Kloter 2
Minggu, 12 Mei 2024 16:30 Wib
Riau bakal punya rumah sakit otak senilai Rp1,6 triliun
Sabtu, 11 Mei 2024 9:37 Wib