Palembang (ANTARA) - Kasus positif COVID-19 di Sumatera Selatan periode mingguan mengalami peningkatan 47,55 persen pada dua pekan usai Idul Fitri dengan periode kemunculan 1.000 kasus yang semakin memendek, kata Epidemiolog Dr. Iche Andriani Liberty.
Anggota tim Ahli COVID-19 bidang epidemiologi Dr. Iche Andriani Liberty, di Palembang, Kamis, mengatakan untuk pertama kalinya kemunculan 1.000 kasus di Sumsel hanya memerlukan waktu enam hari dan itu terjadi pasca lebaran 2021.
"Yang juga mengkhawatirkan adalah positivity rate makin meningkat hingga 32 persen saat ini," ujar
epidemiolog dari Universitas Sriwijaya itu.
Menurut dia, kasus positif pada pekan kedua Mei 2021 atau saat momen Idul Fitri bertambah 737 kasus dari pekan pertama, kemudian naik sebanyak 745 kasus pada pekan ketiga dan naik sebanyak 1.086 kasus pada pekan keempat.
Akumulasi kasus positif pekan keempat Mei 2021 naik 45,77 persen dibanding pekan ketiga, namun pekan keempat dibandingkan pekan kedua naik 47,35 persen.
Ia menjelaskan, peningkatan kasus di Sumsel sendiri sudah terjadi sejak pekan kedua April atau sebelum momen puasa Ramadhan dan sempat meningkatkan jumlah daerah beresiko tinggi (zona merah).
Peningkatan sejak sebelum puasa itu dinilai mengkhawatirkan karena terjadi dengan kondisi pelacakan dan pengujian kontak erat yang cenderung masih minim di beberapa kabupaten/kota.
"Seperti di Kabupaten Musi Rawas itu rata-rata kontak eratnya cuma 1 kan lucu, apa kasus-kasus di sana tidak berinteraksi dengan orang lain, minimal orang sekitar saja pasti lebih dari 1," kata dia.
Selain itu menurut dia, peningkatan kasus positif juga terus diikuti dengan meningkatnya rasio kasus bergejala (simptomatik) di mana presentase kasus positif simptomatik per 1 Juni 2021 mencapai 70 persen dari total kasus positif.
"Sumsel butuh terobosan terkait pelacakan dan pengujian, karena dari kapasitas targetnya jelas yaitu 1/1.000 penduduk per minggu dan itu harus tercapai," kata Dr. Iche.
Ia mengimbau pemerintah dari tingkat provinsi, kota hingga kabupaten tidak menjadikan proses pemulihan ekonomi sebagai alasan untuk mengurangi fokus penanganan COVID-19 terutama pengaturan mobilisasi masyarakat..
"Menteri Keuangan sudah menjelaskan efektivitas penanganan COVID-19 menjadi kunci pemulihan ekonomi, jadi tidak boleh lagi ada alasan demi memulihkan ekonomi," jelasnya.