Dua mantan petinggi BP Migas divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan korupsi penunjukan langsung kondensat migas PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI) sehingga merugikan keuangan negara sebesar 2,716 miliar dolar AS (sekitar Rp37,8 triliun).
"Mengadili, menyatakan terdakwa menyatakan terdakwa Raden Priyono dan terdakwa Djoko Harsono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsider penuntut umum. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1 dan terdakwa 2 dengan pidana penjara masing-masing selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan," Kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar keduanya divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan berdasarkan dakwaan pertama pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Artinya, majelis hakim menilai bahwa Raden Priyono dan Djoko Harsono tidak terbukti melakukan dakwaan pertama.
"Menyatakan terdakwa 1 Raden Priyono dan terdakwa 2 Djoko Harsono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer. Membebaskan para terdakwa dari dakwaan primer tersebut," tambah hakim Rosmina.
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan keduanya.
Hal memberatkan, para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Keduanya dinilai tidak berupaya mendiskusikan secara lengkap dan komprehensif untuk melaksanakan tugas penunjukkan PT TPPI, selain itu juga dinilai tidak secara seksama memahami pelaksanaan kebijakan dengan melaksanakan perintah sehingga tidak menjalankan tugas secara profesional.
Sementara hal meringankan, para terdakwa bersifat sopan, tidak berbelit-belit, belum pernah dipidana, kata Hakim Rosmina.
Selain itu, perlu diketahui para terdakwa telah menyetorkan kerugian keuangan negara sebesar dolar 2.588.285.650,91 dolar AS yang disetorkan ke rekening pada Bank Indonesia yang terdiri dari pokok dan denda sebesar pokok 2.577.626.284,39 dolar AS denda 10.659.366,52 dolar AS.
Sementara itu, kasus bermula Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (Public Service Obligation) melalui surat ke BP Migas.
Honggo mengklaim, selain mampu menghasilkan produk aromatic (paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene), PT TPPI juga mampu memproduksi Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Mogas RON 88 (bensin premium) sebagaimana Surat Nomor : TPPI/BPH Migas/L-040 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada BP Migas.
Padahal saat itu PT TPPI mengalami kesulitan keuangan dan telah berhenti berproduksi dan PT TPPI memiliki utang kepada PT Pertamina (Persero).
Honggo kemudian mengirimkan surat permohonan kepada Djoko agar TPPI dapat membeli minyak mentah/kondensat sebagai bahan baku langsung dari BP Migas untuk produksi BBM guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Atas permohonan itu, Djoko menyetujuinya. Raden Priyono kemudian menunjuk PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tapi penunjukkan itu menyalahi prosedur.
Penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara sehingga tidak pernah dilakukan kajian dan analisa selain itu penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melalui lelang terbatas, PT TPPI tidak terdaftar di BP Migas, PT TPPI tidak pernah mengirim formulir atau penawaran, dan PT TPPI tidak menyerahkan jaminan berupa Open Credit/Irrevocable LC.
Priyono dan Djoko kemudian menyerahkan kondensat bagian negara kepada PT TPPI dari kilang Senipah, kilang Bontang Return Condensate (BRC) dan kilang Arun tanpa dibuatkan kontrak kerja sama dan tanpa jaminan pembayaran. Akibat penyerahan kondesat itu, Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI.
PT TPPI mengolah kondensat bagian negara yang seharusnya menjadi Produk Mogas 88, kerosene dan solar yang dibutuhkan PT Pertamina, menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan PT Pertamina. Akibatnya, semua produk olahannya tidak dijual ke PT Pertamina (Persero) tetapi dijual ke pihak lain.
Jumlah keseluruhan penyerahan kondensat bagian negara kepada Honggo sejak 23 Mei 2009 sampai 2 Desember 2011 sebanyak 33.089.400 barel dengan nilai 2.716.859.655 dolar AS (sekitar Rp37,8 triliun).
Terhadap putusan itu, baik penuntut umum maupun JPU menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Honggo Wendratno divonis 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 128.233.730 dolar AS yaitu berupa kilang PT TPPI di daerah Tuban, Jawa Timur dan uang senilai Rp97 miliar.
Honggo Wendratno hingga saat ini masih berstatus buron sehingga ia disidang secara "in absentia".
"Mengadili, menyatakan terdakwa menyatakan terdakwa Raden Priyono dan terdakwa Djoko Harsono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsider penuntut umum. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1 dan terdakwa 2 dengan pidana penjara masing-masing selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan," Kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar keduanya divonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan berdasarkan dakwaan pertama pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Artinya, majelis hakim menilai bahwa Raden Priyono dan Djoko Harsono tidak terbukti melakukan dakwaan pertama.
"Menyatakan terdakwa 1 Raden Priyono dan terdakwa 2 Djoko Harsono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer. Membebaskan para terdakwa dari dakwaan primer tersebut," tambah hakim Rosmina.
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan keduanya.
Hal memberatkan, para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Keduanya dinilai tidak berupaya mendiskusikan secara lengkap dan komprehensif untuk melaksanakan tugas penunjukkan PT TPPI, selain itu juga dinilai tidak secara seksama memahami pelaksanaan kebijakan dengan melaksanakan perintah sehingga tidak menjalankan tugas secara profesional.
Sementara hal meringankan, para terdakwa bersifat sopan, tidak berbelit-belit, belum pernah dipidana, kata Hakim Rosmina.
Selain itu, perlu diketahui para terdakwa telah menyetorkan kerugian keuangan negara sebesar dolar 2.588.285.650,91 dolar AS yang disetorkan ke rekening pada Bank Indonesia yang terdiri dari pokok dan denda sebesar pokok 2.577.626.284,39 dolar AS denda 10.659.366,52 dolar AS.
Sementara itu, kasus bermula Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (Public Service Obligation) melalui surat ke BP Migas.
Honggo mengklaim, selain mampu menghasilkan produk aromatic (paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene), PT TPPI juga mampu memproduksi Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Mogas RON 88 (bensin premium) sebagaimana Surat Nomor : TPPI/BPH Migas/L-040 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada BP Migas.
Padahal saat itu PT TPPI mengalami kesulitan keuangan dan telah berhenti berproduksi dan PT TPPI memiliki utang kepada PT Pertamina (Persero).
Honggo kemudian mengirimkan surat permohonan kepada Djoko agar TPPI dapat membeli minyak mentah/kondensat sebagai bahan baku langsung dari BP Migas untuk produksi BBM guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Atas permohonan itu, Djoko menyetujuinya. Raden Priyono kemudian menunjuk PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tapi penunjukkan itu menyalahi prosedur.
Penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara sehingga tidak pernah dilakukan kajian dan analisa selain itu penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melalui lelang terbatas, PT TPPI tidak terdaftar di BP Migas, PT TPPI tidak pernah mengirim formulir atau penawaran, dan PT TPPI tidak menyerahkan jaminan berupa Open Credit/Irrevocable LC.
Priyono dan Djoko kemudian menyerahkan kondensat bagian negara kepada PT TPPI dari kilang Senipah, kilang Bontang Return Condensate (BRC) dan kilang Arun tanpa dibuatkan kontrak kerja sama dan tanpa jaminan pembayaran. Akibat penyerahan kondesat itu, Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI.
PT TPPI mengolah kondensat bagian negara yang seharusnya menjadi Produk Mogas 88, kerosene dan solar yang dibutuhkan PT Pertamina, menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan PT Pertamina. Akibatnya, semua produk olahannya tidak dijual ke PT Pertamina (Persero) tetapi dijual ke pihak lain.
Jumlah keseluruhan penyerahan kondensat bagian negara kepada Honggo sejak 23 Mei 2009 sampai 2 Desember 2011 sebanyak 33.089.400 barel dengan nilai 2.716.859.655 dolar AS (sekitar Rp37,8 triliun).
Terhadap putusan itu, baik penuntut umum maupun JPU menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
Terkait perkara ini, Honggo Wendratno divonis 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar 128.233.730 dolar AS yaitu berupa kilang PT TPPI di daerah Tuban, Jawa Timur dan uang senilai Rp97 miliar.
Honggo Wendratno hingga saat ini masih berstatus buron sehingga ia disidang secara "in absentia".