Kisah petani tembakau Jember diangkat ke layar lebar
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Kisah petani tembakau Kabupaten Jember diangkat ke film layar lebar oleh tiga mahasiswa Program Studi Televisi dan Film (PSTF) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Unej) yang menampilkan keterpurukan para petani tembakau yang menjadi salah satu produk unggulan daerah ini.
Tiga mahasiswa PSTF Unej itu yakni Alif Septian sebagai sutradara, Daris Zulfikar sebagai penata kamera, dan M. Ariyanto selaku penyunting gambar ingin menampikan sisi lain dari petani tembakau yang mengalami nasib terpuruk karena merugi. Kisah ini disajikan dengan apik lewat film "Bhako, The Golden Leaf".
“Saya anak petani tembakau, jadi tahu benar bagaimana perjuangan seorang petani tembakau," kata Alif Septian yang menjelaskan mengapa dirinya memilih tema tembakau.
Menurutnya, keluarganya terpuruk di tahun 2015 hingga harus menjual barang-barang serta perabotan rumah gara-gara abu Gunung Raung merusak tanaman tembakau di lahan milik ayahnya.
"Melalui film Bhàko itu saya ingin menyampaikan kepada khalayak luas mengenai sisi lain dari usaha tembakau yang mungkin belum banyak diketahui orang. Ada yang rumah tangganya retak, jadi gila bahkan bunuh diri, walaupun tentu saja ada juga yang berjaya," tuturnya.
Menanggapi akhir kisah yang tragis, Alif dan dua koleganya sepakat menyerahkan penilaian kepada penonton karena faktanya seperti itu dan hingga sekarang mereka merasa tidak ada perubahan yang berarti pada perekonomian para petani tembakau, bahkan selalu saja yang kalah adalah petani.
"Bentuk-bentuk ketidakadilan yang diderita oleh petani tembakau digambarkan ketiganya dengan adegan dimana saat tengkulak menilai hasil panen tembakau dengan semena-mena, alat timbang yang tidak sesuai standar dan penyitaan rumah petani tembakau gara-gara tak mampu membayar utang di bank," katanya.
Ia mengatakan bahasa yang dipakai dalam film Bhàko adalah Bahasa Madura sesuai dengan lokasi film dibuat untuk lebih mendekatkan penonton dengan kenyataan yang ada.
"Pengambilan gambar film Bhàko sendiri dilakukan selama delapan hari di bulan Oktober 2018 dengan mengambil lokasi di daerah Kalisat, Sukowono dan Sumberjambe, Kabupaten Jember," ujarnya.
Dalam film "Bhako, The Golden Leaf" menceritakan sebuah desa yang subur, dimana penduduknya banyak yang memilih mata pencaharian sebagai petani, terutama petani tembakau dan seiring tumbuhnya si "daun emas" atau tembakau itu, terkembang pula sejuta harapan akan keuntungan.
Seperti dalam film itu, Fauzi yang sarjana anak Haji Imam ingin segera menikah, Yoyon si buruh tani berniat mengobati istrinya, sedangkan Pak Mul si tengkulak ingin membayar utang-utangnya.
Namun ternyata jauh panggang dari api, janji keuntungan yang akan diraih selepas panen malah jadi buntung karena panen tembakau tak terserap oleh gudang dan pabrik, akibatnya Fauzi bertengkar dengan ayahnya. Kemudian nasib Yoyon dan Pak Mul malah lebih tragis lagi, Yoyon memilih mengakhiri hidup sang istri yang tak kunjung sembuh dan Pak Mul jadi gila.
Film "Bhàko, The Golden Leaf" karya tiga mahasiswa PSTF Fakultas Ilmu Budaya Unej yang tayang perdana Rabu malam (10/7) di bioskop Kota Cinema Mall Jember yang juga dihadiri oleh Rektor Unej Moh. Hasan.
Tiga mahasiswa PSTF Unej itu yakni Alif Septian sebagai sutradara, Daris Zulfikar sebagai penata kamera, dan M. Ariyanto selaku penyunting gambar ingin menampikan sisi lain dari petani tembakau yang mengalami nasib terpuruk karena merugi. Kisah ini disajikan dengan apik lewat film "Bhako, The Golden Leaf".
“Saya anak petani tembakau, jadi tahu benar bagaimana perjuangan seorang petani tembakau," kata Alif Septian yang menjelaskan mengapa dirinya memilih tema tembakau.
Menurutnya, keluarganya terpuruk di tahun 2015 hingga harus menjual barang-barang serta perabotan rumah gara-gara abu Gunung Raung merusak tanaman tembakau di lahan milik ayahnya.
"Melalui film Bhàko itu saya ingin menyampaikan kepada khalayak luas mengenai sisi lain dari usaha tembakau yang mungkin belum banyak diketahui orang. Ada yang rumah tangganya retak, jadi gila bahkan bunuh diri, walaupun tentu saja ada juga yang berjaya," tuturnya.
Menanggapi akhir kisah yang tragis, Alif dan dua koleganya sepakat menyerahkan penilaian kepada penonton karena faktanya seperti itu dan hingga sekarang mereka merasa tidak ada perubahan yang berarti pada perekonomian para petani tembakau, bahkan selalu saja yang kalah adalah petani.
"Bentuk-bentuk ketidakadilan yang diderita oleh petani tembakau digambarkan ketiganya dengan adegan dimana saat tengkulak menilai hasil panen tembakau dengan semena-mena, alat timbang yang tidak sesuai standar dan penyitaan rumah petani tembakau gara-gara tak mampu membayar utang di bank," katanya.
Ia mengatakan bahasa yang dipakai dalam film Bhàko adalah Bahasa Madura sesuai dengan lokasi film dibuat untuk lebih mendekatkan penonton dengan kenyataan yang ada.
"Pengambilan gambar film Bhàko sendiri dilakukan selama delapan hari di bulan Oktober 2018 dengan mengambil lokasi di daerah Kalisat, Sukowono dan Sumberjambe, Kabupaten Jember," ujarnya.
Dalam film "Bhako, The Golden Leaf" menceritakan sebuah desa yang subur, dimana penduduknya banyak yang memilih mata pencaharian sebagai petani, terutama petani tembakau dan seiring tumbuhnya si "daun emas" atau tembakau itu, terkembang pula sejuta harapan akan keuntungan.
Seperti dalam film itu, Fauzi yang sarjana anak Haji Imam ingin segera menikah, Yoyon si buruh tani berniat mengobati istrinya, sedangkan Pak Mul si tengkulak ingin membayar utang-utangnya.
Namun ternyata jauh panggang dari api, janji keuntungan yang akan diraih selepas panen malah jadi buntung karena panen tembakau tak terserap oleh gudang dan pabrik, akibatnya Fauzi bertengkar dengan ayahnya. Kemudian nasib Yoyon dan Pak Mul malah lebih tragis lagi, Yoyon memilih mengakhiri hidup sang istri yang tak kunjung sembuh dan Pak Mul jadi gila.
Film "Bhàko, The Golden Leaf" karya tiga mahasiswa PSTF Fakultas Ilmu Budaya Unej yang tayang perdana Rabu malam (10/7) di bioskop Kota Cinema Mall Jember yang juga dihadiri oleh Rektor Unej Moh. Hasan.