Bubur pecaSamarinda, perjalanan rasa dan perekat antarwarga
Proses memasak pun tak asal-asalan. Bubur harus diaduk terus-menerus selama berjam-jam agar teksturnya lembut dan bumbunya meresap sempurna
Untuk sekali masak, menghabiskan 25 kilogram beras. Dengan takaran 10 kilogram untuk hidangan berbuka puasa, sedangkan 15 kilogram untuk dibagikan kepada jamaah sekitar masjid untuk bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Untuk lauk yang disajikan di atas bubur bervariasi setiap harinya agar jamaah tak jenuh. Terkadang dilengkapi ayam bistik, bisa juga ayam suwir, hingga telur bumbu merah.
Alus merasa senang bubur olahannya menjadi primadona bagi masyarakat sekitar masjid. Makin mendekati pengujung Ramadhan, warga Samarinda yang berbuka di masjid tertua Samarinda itu justru kian ramai. Sebanyak 300 porsi bubur peca setiap hari yang disusun untuk berbuka puasa di sekeliling teras masjid, selalu ludes.
Semangat kebersamaan
Menjelang sore hari, aroma bubur peca yang menguar dari sudut masjid yang dijadikan wadah penyajian mulai menarik perhatian. Jamaah yang baru selesai melaksanakan shalat Ashar tampak bahagia menanti hidangan istimewa ini.
Proses pembagian pun tak kalah menarik. Alus dan timnya menyiapkan ratusan tempat makan yang akan dibagikan kepada jamaah. Bubur peca tak pernah bersisa, sebab dianggap sebagai hidangan spesial yang disajikan hanya setahun sekali dalam momen Ramadhan.
Filosofi berbagi ini pun menjadi benang merah dalam tradisi bubur peca. Setiap ibu membawa rantang dari rumah untuk diisi agar bisa disantap oleh keluarga di rumah.
Semangat kebersamaan ini pun dirasakan oleh jamaah.
Tradisi berbuka bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya tentang rasa dan aroma yang memikat. Lebih dari itu, tradisi ini menjadi simbol kebersamaan, kepedulian, dan nilai-nilai luhur Ramadhan.
Bubur peca menjadi pengingat bahwa tradisi kuliner bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita, budaya, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong masih lestari di Samarinda.
Tradisi bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem mengingatkan tentang pentingnya menjaga tradisi dan budaya. Tradisi ini juga menjadi contoh indah tentang kebersamaan dan kepedulian dalam masyarakat.
Bubur peca di Masjid Shiratal Mustaqiem tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyentuh hati. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa Ramadhan tak hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang berbagi dan menjalin silaturahim. Bubur peca menjadi perwujudan indah dari nilai-nilai Ramadhan yang dihayati masyarakat Samarinda.
Upaya melestarikan tradisi
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Masjid Shiratal Mustaqiem bersama dengan pengurus masjid berencana untuk mengadakan beberapa kegiatan untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi ini. Hal ini menyadari nilai tradisi dan potensi wisata kuliner bubur peca.
“Rencananya, kami akan mengadakan event masak-masak makanan khas Samarinda, termasuk bubur peca, dengan melibatkan anak-anak muda dalam kegiatan ini, agar tradisi ini dapat terus berlanjut dan digemari oleh generasi penerus.” Ungkap Ketua Pokdarwis Majid Sihiratal Mustaqiem Mazbar Arianto Bakhtiar.
Selain itu, pokdarwis itu juga berencana untuk berkolaborasi dengan para pengusaha kuliner di Samarinda untuk menjadikan bubur peca sebagai menu andalan khas Samarinda. Dengan begitu, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi salah satu ikon kuliner khas Samarinda
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bubur peca Samarinda, perjalanan rasa dan perekat antarwarga