Jakarta (ANTARA) - 20 hari sejak Hamas melancarkan infiltrasi maut ke dalam wilayah Israel pada 7 Oktober yang membuat ribuan warga negara itu tewas, invasi darat yang dijanjikan pemerintah Israel kepada rakyatnya tak kunjung terjadi.
Walaupun begitu, tak ada keraguan bahwa Israel akan melancarkan operasi darat besar-besaran itu.
Situasi medan perang termasuk rangkaian terowongan bawah tanah ratusan kilometer yang dibangun Hamas dan opini publik di negara-negara pendukung Israel, menjadi dua hal yang membuat Israel berhati-hati.
Israel sendiri tidak memedulikan tekanan di luar sekutu-sekutunya karena merasa bagian ini adalah hal yang harus dihadapi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Namun, justru tekanan dunia menjadi bagian yang paling dihiraukan Amerika Serikat dan Barat.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahkan mengingatkan Israel agar tidak sembarangan seperti George Bush kala menyerang Irak setelah teror 11 September 2001, yang malah memupuk kebencian global terhadap AS hingga memicu terorisme internasional.
Tapi ada satu faktor yang sama-sama dipertimbangkan Israel dan Amerika Serikat. Faktor itu adalah kemungkinan Iran menceburkan diri dalam perang.
Gejalanya sudah terlihat ketika proksi-proksi Iran di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, menyerang kepentingan AS dan Israel yang bisa menjadi prolog untuk terciptanya front pertempuran selain Gaza yang bisa merepotkan Israel dan Amerika Serikat.
Untuk itu, jika invasi darat Israel di Gaza memicu perang lebih luas, maka untuk kali pertama Iran melibatkan diri dari konflik kawasan.
Sebelum Revolusi Islam 1979, Iran tak pernah masuk pusaran konflik Israel-Arab.
Ketika pecah Perang Arab-Israel pada 1967 dan 1973, Iran adalah sekutu penting Barat, sampai mengikatkan diri dalam pakta pertahanan Central Treaty Organization (Cento).
Pakta pertahanan sejenis NATO yang dibentuk pada 1955 itu dianggotai oleh Turki, Irak, Inggris, Pakistan, dan Iran dengan tujuan menghalau komunisme internasional pimpinan Uni Soviet dari Timur Tengah.
Tetapi pada 1959 Irak keluar dari Cento setelah Jenderal Abdul Karim Qasim menggulingkan Raja Faisal untuk mengubah orientasi politik Irak menjadi pro Uni Soviet.
Empat tahun kemudian, bersama Mesir, Suriah, Yordania, Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, ditambah Pakistan, Irak berperang menghadapi Israel dalam Perang Enam Hari pada 1967.
12 tahun kemudian dan 3 tahun setelah Perang Yom Kippur pada 1973, Iran mengikuti jejak Irak keluar dari Cento setelah Revolusi Islam pimpinan Ayatullah Khomeini menggulingkan Shah Iran pada 1979. Shah Iran dikenal pro Amerika Serikat dan Israel.
Pada tahun yang sama, Pakistan juga keluar dari Cento sehingga pakta ini kehilangan konteks kemudian bubar pada tahun itu juga.