Merawat harmoni di kaki Gunung Merapi

id merawat Merapi,Merapi,GPDRR Oleh Luqman Hakim

Merawat harmoni di kaki Gunung Merapi

Asap solfatara keluar dari kawah Gunung Merapi terlihat dari Kaliurang, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (16/4/2022). Menurut data BPPTKG Yogyakarta periode pengamatan 16 Februari 2022 pukul 00.00-06.00 WIB telah terjadi 31 guguran dengan potensi bahaya berupa guguran lava pijar dan awan panas Gunung Merapi pada sektor selatan-barat daya meliputi Sungai Boyong sejauh maksimal lima km, Sungai Bedog, Krasak, Bebeng sejauh maksimal tujuh km serta sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal tiga km dan Sungai Gendol lima km. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/rwa)

Halah 'ra popo' (tidak apa-apa) biasanya tidak sampai ke sini. Dari dulu Merapi tidak sampai seperti itu

Yogyakarta (ANTARA) - Gunung Merapi berpanorama indah yang berdiri gagah di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pernah memuntahkan material dahsyat pada 2010.

Gunung dengan ketinggian 2.930 meter di atas permukaan laut (2010) tersebut mengalami letusan paling besar dibandingkan lima erupsi sebelumnya yang terjadi pada 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006.

Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), per 12 Desember 2010 bencana erupsi itu telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 277 orang di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan 109 orang meninggal di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Bagi Yudhi (35), erupsi dahsyat Gunung Merapi pada 2010 menjadi kenangan memilukan sekaligus pelajaran berharga yang tak akan pernah terlupakan.

Berbekal pengalaman itu, ia meminta seluruh warga di kaki gunung api itu untuk jangan pernah menyepelekan kekuatan Merapi sembari mematuhi apapun imbauan dan instruksi dari pemerintah.

“Sampai sekarang saya masih trauma. Kalau mendengar suara petir atau angin agak kencang sedikit saya takut,” kata pria bernama lengkap Yudhi Arianto.

Pria yang kini sehari-hari bekerja sebagai pengemudi transportasi daring di Yogyakarta itu masih mengingat jelas masa-masa genting sebelum awan panas Merapi akhirnya menyapu kampung halamannya di Padukuhan Gungan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman 12 tahun silam.

Beberapa jam menjelang peristiwa pada Kamis malam, 4 November 2010, hingga puncaknya pada Jumat dini hari, 5 November 2010, ia masih bertahan di Dukuh Gungan untuk menjaga rumah serta ternak yang ditinggalkan warga bersama beberapa pemuda lainnya.

Meski ada beberapa yang merasa enggan dievakuasi, namun sebagian besar orang tua atau lansia di kampungnya telah diungsikan di Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Yudhi juga telah mengungsikan istrinya yang saat itu tengah hamil 8 bulan beserta sejumlah kerabat di kawasan yang jauh dari Merapi.

Pada Kamis malam pukul 20.00 WIB, gemuruh beserta tremor vulkanik Merapi yang menerus sangat terasa hingga menggetarkan barang-barang dan kaca jendela di kediaman Yudhi.

Meski begitu, ia tetap memiliki keyakinan bahwa lidah panas Merapi tak akan sampai menyentuh tempat tinggalnya yang berjarak 13 kilometer dari puncak Merapi dan 500 meter dari Kali Gendol. Pasalnya, meski status Merapi telah dinaikkan menjadi Awas, informasi mengenai radius bahaya yang diperluas hingga 15 km belum ia dapatkan.

“Halah 'ra popo' (tidak apa-apa) biasanya tidak sampai ke sini. Dari dulu Merapi tidak sampai seperti itu,” ujar dia menggambarkan dugaannya saat itu.

Tak seperti sekarang, menurut Yudhi, satu-satunya informasi resmi kala itu hanya bergantung pada “handy talky” (HT) milik kepala dukuh setempat.

Hingga pukul 22.00 WIB saat aktivitas Merapi semakin menggila dan getaran tremor semakin kencang, ia beserta para pemuda yang berjaga di perempatan jalan tak kunjung mendapatkan informasi. Usut punya usut, Pak Dukuh sang pemilik HT masih tertidur karena kelelahan kerja seharian.

Instruksi untuk segera mengungsi baru ia dapatkan sekitar pukul 23.00 WIB setelah pihak kelurahan menelepon tetangganya. Informasi itu dilanjutkan ke Ketua RT setempat yang kemudian menyeru melalui pengeras suara masjid, meminta seluruh warga untuk segera mengungsi.

“Pak RT saat itu mengumumkan dengan suara gemeteran,” ujar Yudhi menceritakan kembali kejadian lampau.

Meski sudah ada instruksi, ia tidak langsung bergegas meninggalkan dukuh itu. Bersama adiknya, dengan mengendarai sepeda motor ia memutuskan kembali ke rumah untuk mengambil surat-surat berharga.

Di tengah perjalanan menuju rumah, gumpalan bara api jatuh di tengah jalan yang berjarak 10 meter di depan matanya. Tak jauh dari lokasi itu, ia dihadapkan pada pemandangan lava pijar berwarna oranye menyala yang berjalan memenuhi Sungai Gendol.

Dua teror itu membuatnya tersadar bahwa pilihan terbaik adalah tidak melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. “Alhamdulillah saya diingatkan, kalau perjalanan itu saya lanjutkan barangkali saya waktu itu sudah terjebak lava panas,” ujar Yudhi mengenang.

Ilmu Titen

Belajar dari peristiwa itu, Yudhi menilai bahwa membangun kesiapsiagaan warga dalam menghadapi peristiwa bencana serupa amat penting.

Di lingkup padukuhan tempat tinggalnya, kata Yudhi, para pemuda telah bersepakat membentuk kelompok kecil bersama Ketua RT disertai pembuatan grup di aplikasi WhatsApp sebagai media komunikasi dan bertukar informasi mengenai situasi Merapi yang kini berstatus Siaga atau Level III.

Menurut dia, kekuatan komunikasi amat penting, khususnya saat menghadapi situasi darurat sekaligus untuk menepis berbagai informasi hoaks tentang Merapi.

Para pemuda di Dukuh Gungan juga secara berkala memantau informasi resmi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), termasuk memantau penampakan aktivitas Merapi yang setiap hari ditampilkan secara langsung via Youtube BPPTKG Channel.

“Kami juga telah menyiapkan kentongan karena masih banyak orang sepuh yang tidak memiliki HP. Kalau kentongan berbunyi mereka sudah tahu di mana harus berkumpul,” ujar Yudhi.

Peristiwa bencana yang jauh melampaui prediksi “ilmu titen” (kepekaan terhadap tanda atau ciri alam) dan keyakinan yang dimiliki orang-orang sepuh Merapi saat itu menunjukkan bahwa ilmu titen tak lagi bisa menjadi patokan utama.

Warga membawa hewan ternak sapi miliknya pada Tradisi Lebaran Sapi di lereng Gunung Merapi, Mlambong, Sruni, Musuk, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (9/5/2022). Tradisi lebaran sapi yang telah dilakukan turun temurun pada bulan Syawal lebaran ketupat tersebut merupakan simbol rasa syukur masyarakat setempat atas rezeki hasil hewan ternak sapi sebagai sumber penghasilan. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/rwa.)

Ilmu titen atau ilmu tradisional Jawa untuk membaca gejala alam perlu diintegrasikan dengan kesadaran yang rasional mengacu peringatan serta informasi berkala dari BPPTKG yang setiap hari terus memantau dan mengolah data-data ilmiah terkait berbagai perkembangan aktivitas vulkanik Merapi.

Hasil pengamatan visual dan instrumental BPPTKG periode 22 sampai 28 April 2022, aktivitas gunung api aktif di Indonesia itu dinyatakan masih cukup tinggi berupa aktivitas erupsi efusif.

Erupsi efusif adalah kondisi di mana magma terbentuk dalam kondisi cair dan keluar ke permukaan dengan cara mengalir atau meleleh.

Potensi bahayanya hingga kini masih berupa guguran lava dan awan panas ke area dalam sektor selatan-barat daya yang meliputi Sungai Boyong (sejauh maksimal lima kilometer) serta Sungai Bedog, Krasak, Bebeng (sejauh maksimal tujuh kilometer).

Selain itu, guguran lava dan awan panas dari Gunung Merapi bisa berdampak ke area di sektor tenggara yang meliputi Sungai Woro (sejauh maksimal tiga kilometer) dan Sungai Gendol (sejauh lima kilometer).

Erupsi efusif relatif lebih aman dibandingkan erupsi eksplosif yang magmanya terbentuk lebih kental dan keluar ke permukaan dengan disertai ledakan akibat penyumbatan gas.

Meski demikian, apabila gunung api itu mengalami letusan eksplosif, menurut Kepala BPPTKG Hanik Humaida, lontaran material vulkaniknya diperkirakan dapat menjangkau daerah dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung.

Konservasi ekosistem alam Merapi

Warga lereng Merapi yang juga aktivis Forum Merapi Merbabu Hijau (FMMH) Lilik Rudiyanto memandang “ilmu titen” sebagai salah satu kearifan lokal yang terbentuk di tengah-tengah sistem sosial yang kuat di kaki Merapi.

Kendati tidak bisa digunakan sebagai pegangan utama dalam mengeja aktivitas Merapi, setidaknya dapat menjadi variabel penting mitigasi bencana bagi warga setempat.

Menurut dia, kearifan atau kecerdasan tradisional semacam itu lebih mudah dipahami masyarakat lokal untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Rudi mengakui membaca tanda-tanda dengan ilmu titen tak lagi “se-ampuh” dahulu kala saat ekosistem alam di Gunung Merapi masih terjaga.

Jika dahulu munculnya sekelompok satwa seperti monyet atau rusa yang berbondong-bondong turun dari puncak menjadi pertanda bahwa Merapi sedang bergolak, kini fenomena itu tidak bisa lagi jadi patokan.

Sebab, satwa yang turun dari puncak bukan lagi membawa pesan tentang aktivitas Merapi, melainkan mencari makan seiring rusaknya ekosistem alam di puncak Merapi sebagai habitat mereka.

Meski saat ini sudah mulai pulih, namun kelestarian ekosistem di puncak Merapi belum seideal dahulu sebelum erupsi 2010.

Menurut FMMH, rusaknya ekosistem alam di puncak Merapi bukan semata-mata dipicu erupsi dahsyat yang memangkas luasan hutan, tetapi juga disebabkan aktivitas tambang pasir yang merembet ke perkebunan sehingga berdampak pengurangan sumber mata air di gunung itu.

Karena itu, konservasi alam sangat penting untuk membuat ekosistem alam di Merapi kembali normal dan seimbang.

FMMH sejak 2009 hingga kini terus menggencarkan penghijauan dengan menanam berbagai jenis tanaman endemik Merapi seperti pohon gayam, pohon pule, tengsek, hingga puspo dengan menggandeng pihak Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Saat musim penghujan, menurut Lilik Rudiyanto, kegiatan penghijauan biasanya digelar dua pekan atau sepekan sekali.

“Apabila kita berbuat baik dan merawat Merapi, maka Merapi juga akan memberi timbal balik yang baik kepada kita,” kata warga Dusun Srondokan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman itu.

Bukan sekadar menanam, komunitas pelestari alam itu juga melakukan pembibitan tanaman bekerja sama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dan Hutan Lindung Serayu Opak Progo.

Hidup selaras dengan Merapi

Intensitas dan frekuensi aktivitas Merapi yang cukup besar dengan banyaknya jumlah penduduk yang tinggal di sekelilingnya merupakan kombinasi mengkhawatirkan tatkala terjadi bencana erupsi.

Dengan berpijak pada realitas itu, konsep Living in harmony with Merapi atau hidup selaras dengan Merapi dipandang masih relevan untuk terus digaungkan.

Respons masyarakat lereng Gunung Merapi baik di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta maupun di Jawa Tengah dinilai sudah sangat baik dalam memahami mitigasi sehingga patut dijadikan percontohan tingkat nasional.

Berdasar penilaian itulah, Puncak Peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) Tahun 2022 pada 26 April lalu diputuskan untuk digaungkan di lereng Merapi.

"Masyarakat lereng Merapi sudah memiliki kearifan dalam teknik pengungsian saat adanya peringatan dini bahaya merapi," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto.

Selain ada barak pengungsian untuk warga, di lereng Merapi juga terdapat kandang penampungan hewan ternak di lokasi pengungsian. Dengan demikian warga yang mengungsi tidak ada kekhawatiran terhadap ternak miliknya.

Dalam teknik pengungsian, masyarakat lereng Merapi juga sudah memetakan baik kendaraan angkutan, titik kumpul hingga penanganan masalah logistik di barak pengungsian.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono berpendapat konsep Living in harmony with Merapi dapat diterjemahkan dengan memosisikan masyarakat di lereng Merapi sebagai subjek, bukan lagi sekadar menjadi objek.

Tinggal berdampingan dengan Merapi bukan berarti pasrah dengan mengandalkan keyakinan semata.

Sembari merawat kearifan lokal yang ada, hidup berdampingan dengan Merapi perlu dibangun dalam bingkai kesadaran yang didukung kemampuan mitigasi bencana secara terukur disertai pemahaman ilmiah dan rasional mengenai gunung itu.