Palembang (ANTARA) - Anggota Dewan Pendidikan Sumatera Selatan, Yenny Roslaini Izi, menyesalkan pelecehan terhadap 26 santri oleh oknum guru J (22) di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Ogan Ilir.
"Kasus pelecehan tergolong pedofilia itu seharusnya tidak terjadi di pondok pesantren, untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi pelakunya harus dihukum berat sebagai efek jera dan dibuat sistem pengawasan ketat di lingkungan lembaga pendidikan tersebut," kata anggota Dewan Pendidikan yang juga aktivis peduli anak dan perempuan itu di Palembang, Sabtu.
Menurut dia, kasus pelecehan di pondok pesantren bukan kali ini saja terjadi, ada beberapa kasus serupa pernah terjadi di ponpes di luar Sumsel.
"Kasus ini jelas patut dikutuk karena terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, yang seharusnya paling depan mengimplementasikan nilai-nilai agama," ujarnya.
Biasanya ponpes tidak mempunyai mekanisme pengaduan bagi santri yang mengalami ketidakadilan apalagi pelecehan.
Kondisi tersebut diperparah adanya doktrin santri harus patuh dan menghormati orang tua terutama guru, sehingga oknum guru pelaku pelecehan memanfaatkan relasi kuasa tersebut.
Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini, pelakunya harus dihukum dengan hukuman maksimal.
Selain memproses hukum pelaku, penting juga dilakukan penanganan terhadap korban secara serius, karena dampak terhadap korban sangat beragam, mulai dari aspek pola, pikir, fisik dan kondisi biologis serta psikologis.
Dampak jangka pendek bisa langsung tampak, tapi ada dampak yang jangka panjang, dimana jika tidak diproses dengan tepat maka bisa mengakibatkan dampak traumatik dan gangguan psikologis lain bagi korban.
Pendampingan juga perlu diberikan kepada orang tua korban, serta santri lainnya di lingkungan pondok pesantren, kata anggota Dewan Pendidikan Sumsel yang juga aktivis WCC itu.
Sementara sebelumnya Derektur Reskrimum Polda Sumsel, Kombes Pol.Hisar Siallagan menjelaskan bahwa pihaknya mengamankan dan memroses hukum seorang tersangka J (22) oknum guru ponpes di kawasan Ogan Ilir atas pengaduan kasus pelecehan/sodomi terhadap 26 anak laki-laki yang menjadi santri di ponpes AT Kabupaten Ogan Ilir pada Senin (13/9).
Pada awal penyidikan ada 12 santri yang melapor menjadi korban sodomi tersangka pelaku. Setelah dibuat posko pengaduan di Polda Sumsel ada 14 anak lagi yang mendatangi posko bersama keluarganya, sehingga korbannya secara keseluruhan menjadi 26 anak.
Dalam proses penyidikan terhadap tersangka oknum guru ponpes itu, pihaknya menyiapkan psikolog untuk melakukan pemeriksaan kejiwaannya.
"Kami juga mendatangkan psikolog dari Dinas Sosial dan UPTD perlindungan anak untuk mengetahui trauma dari para korban," ujar Kombes Pol. Hisar.
Atas perbuatan tindak pidana pelecehan atau pedofilia itu tersangka J dikenakan pasal 82 ayat 1, 2 dan 4 Jo 76 UU RI No. 17 tahun 2016, Perpu No. 1 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU No..23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.
"Kasus pelecehan tergolong pedofilia itu seharusnya tidak terjadi di pondok pesantren, untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi pelakunya harus dihukum berat sebagai efek jera dan dibuat sistem pengawasan ketat di lingkungan lembaga pendidikan tersebut," kata anggota Dewan Pendidikan yang juga aktivis peduli anak dan perempuan itu di Palembang, Sabtu.
Menurut dia, kasus pelecehan di pondok pesantren bukan kali ini saja terjadi, ada beberapa kasus serupa pernah terjadi di ponpes di luar Sumsel.
"Kasus ini jelas patut dikutuk karena terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, yang seharusnya paling depan mengimplementasikan nilai-nilai agama," ujarnya.
Biasanya ponpes tidak mempunyai mekanisme pengaduan bagi santri yang mengalami ketidakadilan apalagi pelecehan.
Kondisi tersebut diperparah adanya doktrin santri harus patuh dan menghormati orang tua terutama guru, sehingga oknum guru pelaku pelecehan memanfaatkan relasi kuasa tersebut.
Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini, pelakunya harus dihukum dengan hukuman maksimal.
Selain memproses hukum pelaku, penting juga dilakukan penanganan terhadap korban secara serius, karena dampak terhadap korban sangat beragam, mulai dari aspek pola, pikir, fisik dan kondisi biologis serta psikologis.
Dampak jangka pendek bisa langsung tampak, tapi ada dampak yang jangka panjang, dimana jika tidak diproses dengan tepat maka bisa mengakibatkan dampak traumatik dan gangguan psikologis lain bagi korban.
Pendampingan juga perlu diberikan kepada orang tua korban, serta santri lainnya di lingkungan pondok pesantren, kata anggota Dewan Pendidikan Sumsel yang juga aktivis WCC itu.
Sementara sebelumnya Derektur Reskrimum Polda Sumsel, Kombes Pol.Hisar Siallagan menjelaskan bahwa pihaknya mengamankan dan memroses hukum seorang tersangka J (22) oknum guru ponpes di kawasan Ogan Ilir atas pengaduan kasus pelecehan/sodomi terhadap 26 anak laki-laki yang menjadi santri di ponpes AT Kabupaten Ogan Ilir pada Senin (13/9).
Pada awal penyidikan ada 12 santri yang melapor menjadi korban sodomi tersangka pelaku. Setelah dibuat posko pengaduan di Polda Sumsel ada 14 anak lagi yang mendatangi posko bersama keluarganya, sehingga korbannya secara keseluruhan menjadi 26 anak.
Dalam proses penyidikan terhadap tersangka oknum guru ponpes itu, pihaknya menyiapkan psikolog untuk melakukan pemeriksaan kejiwaannya.
"Kami juga mendatangkan psikolog dari Dinas Sosial dan UPTD perlindungan anak untuk mengetahui trauma dari para korban," ujar Kombes Pol. Hisar.
Atas perbuatan tindak pidana pelecehan atau pedofilia itu tersangka J dikenakan pasal 82 ayat 1, 2 dan 4 Jo 76 UU RI No. 17 tahun 2016, Perpu No. 1 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas UU No..23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun.