Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengemukakan perguruan tinggi yang paling banyak digugat terkait dengan para pengelola negara, karena hampir seluruh pengelola negara adalah lulusan perguruan tinggi.
"Yang paling banyak digugat adalah perguruan tinggi. Sebab, pengelola negara ini hampir seluruhnya, terutama para pengambil kebijakan dan pelaksananya di tingkat strategis dan teknis adalah lulusan perguruan tinggi," kata Mahfud MD di sela Dies Natalis ke-57 Universitas Brawijaya (UB) Malang di Malang, Minggu.
Orang pun, lanjut Mahfud MD, mudah mendakwa bahwa perguruan tinggi gagal mencetak lulusan yang berintegritas. Perguruan tinggi dianggap hanya sebagai lembaga pencetak sarjana, bukan pencetak cendekiawan atau intelektual.
"Mimpi kita pada tahun 2045, kita sudah mencapai Indonesia Emas dan kita betul-betul masuk ke dalam empat atau lima besar negara termaju di dunia," kata Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara ini.
Itu semua bisa tercapai karena kemerdekaan bangsa dan negara yang diperoleh atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa setelah bangsa Indonesia bersatu untuk berjuang melawan kolonialisme.
"Kita harus jujur mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia telah benar-benar menjadi 'jembatan emas' untuk menapaki kemajuan menuju Indonesia Emas," paparnya.
Ia menambahkan meskipun kita bangga dan gembira atas apa yang telah dicapai Indonesia, tidak dapat menutup fakta bahwa korupsi masih banyak, penegakan hukum lemah, keadilan sulit dijangkau oleh rakyat kecil, kesenjangan sosial masih lebar, dan rakyat miskin masih banyak.
Sementara itu dalam orasi ilmiahnya yang disampaikan pada Dies Natalis ke-57 UB Malang dengan mengambil judul "Tanggung Jawab Konstitusional Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Bangsa dan Negara" itu, Mahfud meminta semua pihak harus menyadari secara kolektif untuk segera membenahi diri.
Mahfud juga memfokuskan pada tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak kader bangsa yang intelek atau cendekia yang bisa menjaga ideologi negara dengan segala konstitusinya agar eksistensi bangsa dan negara tetap terjaga dengan baik.
Menurut dia, kesadaran kolektif itu sangat penting karena kalau gagal mengatasi masalah-masalah dekadensi moral melalui perguruan tinggi, yang terancam adalah eksistensi bangsa dan negara. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus menjadi kawah candradimuka pencetak kader bangsa yang menjadi penjaga dan penyebar nasionalisme.
Secara sederhana nasionalisme itu bisa diartikan pemahaman dan sikap memiliki, menjaga, dan membela Indonesia. Perguruan tinggi harus menguatkan proses pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekedar mencerdaskan otak anak-anak bangsa.
Mencerdaskan kehidupan bangsa menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 berarti menguatkan kualitas bekerjanya otak (logika, rasionalitas) dan menjaga kemuliaan watak (moral, integritas).
Selanjutnya filosofi yang tertuang di dalam Pembukaan itu ditegaskan lagi secara lebih operasional di dalam Pasal 31 UUD 1945, yang dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia harus diselenggarakan untuk memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berdasar iman, taqwa (IMTAQ), dan akhlak mulia.
Mengacu pada spirit beragama yang diwadahi oleh sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, pengembangan pendidikan yang berbasis IPTEK, IMTAQ, dan akhlaq harus dibangun atas tiga pilar.
Pertama, integrasi ilmu dan agama (tidak mendikotomikan keduanya, misalnya, ilmu umum dan ilmu agama), kedua, menganut sepenuhnya rasionalitas (logika), tetapi tidak menganut rasionalisme dan ketiga, menjadikan IPTEK memihak kepada kebaikan dalam penerapannya meskipun dasar teorinya bebas nilai.
Pada kesempatan itu, Mahfud mengatakan upaya mencetak kader bangsa yang berbasis nasionalisme harus diarahkan untuk menjaga geopolitik Indonesia atau wawasan nusantara. Dari geopolitik itu ada dua dimensi, yakni fisik dan nonfisik.
Dimensi fisik adalah geografi dan demografi, sedangkan nonfisik adalah ideologi dan konstitusi. "Saat ini kita menghadapi problem yang terkait dengan perawatan pada yang fisik maupun nonfisik. Ada ancaman terhadap ideologi maupun teritori. Di sinilah letak pentingnya perguruan tinggi untuk mencetak kader bangsa.
Ia mengatakan perguruan tinggi harus menguatkan kesadaran dan kesiapan mental bahwa Indonesia ini didirikan untuk membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Mereka harus disadarkan bahwa Indonesia ini, jika dilihat dari fakta geopolitik, sungguh sangat kaya, sehingga mampu memberi kemakmuran jika dikelola secara, jujur, tidak koruptif, dan bergotong royong.
"Marilah kita bangun Indonesia dan didik generasi penerus bangsa dengan semangat 'Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya," pungkasnya.
"Yang paling banyak digugat adalah perguruan tinggi. Sebab, pengelola negara ini hampir seluruhnya, terutama para pengambil kebijakan dan pelaksananya di tingkat strategis dan teknis adalah lulusan perguruan tinggi," kata Mahfud MD di sela Dies Natalis ke-57 Universitas Brawijaya (UB) Malang di Malang, Minggu.
Orang pun, lanjut Mahfud MD, mudah mendakwa bahwa perguruan tinggi gagal mencetak lulusan yang berintegritas. Perguruan tinggi dianggap hanya sebagai lembaga pencetak sarjana, bukan pencetak cendekiawan atau intelektual.
"Mimpi kita pada tahun 2045, kita sudah mencapai Indonesia Emas dan kita betul-betul masuk ke dalam empat atau lima besar negara termaju di dunia," kata Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara ini.
Itu semua bisa tercapai karena kemerdekaan bangsa dan negara yang diperoleh atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa setelah bangsa Indonesia bersatu untuk berjuang melawan kolonialisme.
"Kita harus jujur mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia telah benar-benar menjadi 'jembatan emas' untuk menapaki kemajuan menuju Indonesia Emas," paparnya.
Ia menambahkan meskipun kita bangga dan gembira atas apa yang telah dicapai Indonesia, tidak dapat menutup fakta bahwa korupsi masih banyak, penegakan hukum lemah, keadilan sulit dijangkau oleh rakyat kecil, kesenjangan sosial masih lebar, dan rakyat miskin masih banyak.
Sementara itu dalam orasi ilmiahnya yang disampaikan pada Dies Natalis ke-57 UB Malang dengan mengambil judul "Tanggung Jawab Konstitusional Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Bangsa dan Negara" itu, Mahfud meminta semua pihak harus menyadari secara kolektif untuk segera membenahi diri.
Mahfud juga memfokuskan pada tanggung jawab perguruan tinggi untuk mencetak kader bangsa yang intelek atau cendekia yang bisa menjaga ideologi negara dengan segala konstitusinya agar eksistensi bangsa dan negara tetap terjaga dengan baik.
Menurut dia, kesadaran kolektif itu sangat penting karena kalau gagal mengatasi masalah-masalah dekadensi moral melalui perguruan tinggi, yang terancam adalah eksistensi bangsa dan negara. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus menjadi kawah candradimuka pencetak kader bangsa yang menjadi penjaga dan penyebar nasionalisme.
Secara sederhana nasionalisme itu bisa diartikan pemahaman dan sikap memiliki, menjaga, dan membela Indonesia. Perguruan tinggi harus menguatkan proses pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekedar mencerdaskan otak anak-anak bangsa.
Mencerdaskan kehidupan bangsa menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 berarti menguatkan kualitas bekerjanya otak (logika, rasionalitas) dan menjaga kemuliaan watak (moral, integritas).
Selanjutnya filosofi yang tertuang di dalam Pembukaan itu ditegaskan lagi secara lebih operasional di dalam Pasal 31 UUD 1945, yang dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia harus diselenggarakan untuk memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berdasar iman, taqwa (IMTAQ), dan akhlak mulia.
Mengacu pada spirit beragama yang diwadahi oleh sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, pengembangan pendidikan yang berbasis IPTEK, IMTAQ, dan akhlaq harus dibangun atas tiga pilar.
Pertama, integrasi ilmu dan agama (tidak mendikotomikan keduanya, misalnya, ilmu umum dan ilmu agama), kedua, menganut sepenuhnya rasionalitas (logika), tetapi tidak menganut rasionalisme dan ketiga, menjadikan IPTEK memihak kepada kebaikan dalam penerapannya meskipun dasar teorinya bebas nilai.
Pada kesempatan itu, Mahfud mengatakan upaya mencetak kader bangsa yang berbasis nasionalisme harus diarahkan untuk menjaga geopolitik Indonesia atau wawasan nusantara. Dari geopolitik itu ada dua dimensi, yakni fisik dan nonfisik.
Dimensi fisik adalah geografi dan demografi, sedangkan nonfisik adalah ideologi dan konstitusi. "Saat ini kita menghadapi problem yang terkait dengan perawatan pada yang fisik maupun nonfisik. Ada ancaman terhadap ideologi maupun teritori. Di sinilah letak pentingnya perguruan tinggi untuk mencetak kader bangsa.
Ia mengatakan perguruan tinggi harus menguatkan kesadaran dan kesiapan mental bahwa Indonesia ini didirikan untuk membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Mereka harus disadarkan bahwa Indonesia ini, jika dilihat dari fakta geopolitik, sungguh sangat kaya, sehingga mampu memberi kemakmuran jika dikelola secara, jujur, tidak koruptif, dan bergotong royong.
"Marilah kita bangun Indonesia dan didik generasi penerus bangsa dengan semangat 'Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya," pungkasnya.