Palembang (ANTARA) - Pengamat menyebut masyarakat tidak perlu phobia terhadap wacana revisi UU KPK sebagai produk hukum karena memang diperlukan pembaharuan agar relevan dan kontekstual dengan dinamika realitas sehari-hari.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS), Alip Dian Pratama, Kamis, mengatakan secara prinsip tidak ada hal yang benar-benar dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap kewenangan KPK.
"Adanya dewan pengawas sebenarnya bisa dipandang sebagai bentuk pengawasan terhadap kerja para penyelidik dan penyidik di KPK itu sendiri, selama ini KPK bekerja tanpa sistem pengawasan yang efektif dan efisien," ujar Alip.
Sehingga menurut dia dewan pengawas mampu mengeluarkan KPK dari jeratan polemik-polemik gaduh yang muncul ke publik, serta berdampak pada stigma bahwa KPK tengah mengejar kinerja berbasiskan pada popularitas atau publisitas semata, tanpa hakikat yang termaktub di dalam UU Pemberantasan Korupsi itu sendiri.
Jika memandang KPK dalam perspektif teori negara demokrasi modern, maka sebuah sistem negara demokrasi menginginkan tiada satupun lembaga negara yang memiliki tendensi untuk ‘merasa’ di atas lembaga-lembaga lainnya (super body).
Kewenangan KPK dilihat memang luar biasa dengan metode kerjanya menerobos pakem-pakem, hal itu membuat politisi dan publik terhenyak karena agenda pemberantasan korupsi justru menciptakan kegaduhan dan dampak tidak disadari, seperti munculnya sentimen negatif antar lembaga negara hingga merosotnya jumlah investor disebabkan penegakkan hukum nampak begitu agresif.
"Dalam perspektif teori negara hukum modern, penegakkan hukum seharusnya berbasiskan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, sebab HAM dan demokrasi adalah dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan," jelas Alip.
Secara filosofis kedua topik tersebut saling berkaitan dan menjadi dasar rumusan satu sama lain, sehingga keduanya makin relevan dalam diskursus pemikiran kenegaraan hingga saat ini.
Namun sebagai sebuah catatan kritis, kata dia, tidak dibenarkan juga jika wacana revisi UU KPK dilontarkan secara mendadak di akhir-akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI Periode 2014-2019.
"Jelas manuver dari Senayan ini memiliki muatan politis di dalamnya,"tambahnya.
Pembahasan mengenai revisi UU KPK ini lebih baik didiskusikan secara gradual dan perlahan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan UU tersebut.
Sehingga akan lahir produk legislasi berkualitas dan memiliki relevansi tahan lama, bukan semata mengejar kepentingan sesaat yang justru berdampak pada penumpulan peran KPK terhadap pemberantasan korupsi serta terus menjadi masalah laten di Indonesia.
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS), Alip Dian Pratama, Kamis, mengatakan secara prinsip tidak ada hal yang benar-benar dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap kewenangan KPK.
"Adanya dewan pengawas sebenarnya bisa dipandang sebagai bentuk pengawasan terhadap kerja para penyelidik dan penyidik di KPK itu sendiri, selama ini KPK bekerja tanpa sistem pengawasan yang efektif dan efisien," ujar Alip.
Sehingga menurut dia dewan pengawas mampu mengeluarkan KPK dari jeratan polemik-polemik gaduh yang muncul ke publik, serta berdampak pada stigma bahwa KPK tengah mengejar kinerja berbasiskan pada popularitas atau publisitas semata, tanpa hakikat yang termaktub di dalam UU Pemberantasan Korupsi itu sendiri.
Jika memandang KPK dalam perspektif teori negara demokrasi modern, maka sebuah sistem negara demokrasi menginginkan tiada satupun lembaga negara yang memiliki tendensi untuk ‘merasa’ di atas lembaga-lembaga lainnya (super body).
Kewenangan KPK dilihat memang luar biasa dengan metode kerjanya menerobos pakem-pakem, hal itu membuat politisi dan publik terhenyak karena agenda pemberantasan korupsi justru menciptakan kegaduhan dan dampak tidak disadari, seperti munculnya sentimen negatif antar lembaga negara hingga merosotnya jumlah investor disebabkan penegakkan hukum nampak begitu agresif.
"Dalam perspektif teori negara hukum modern, penegakkan hukum seharusnya berbasiskan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, sebab HAM dan demokrasi adalah dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan," jelas Alip.
Secara filosofis kedua topik tersebut saling berkaitan dan menjadi dasar rumusan satu sama lain, sehingga keduanya makin relevan dalam diskursus pemikiran kenegaraan hingga saat ini.
Namun sebagai sebuah catatan kritis, kata dia, tidak dibenarkan juga jika wacana revisi UU KPK dilontarkan secara mendadak di akhir-akhir masa jabatan keanggotaan DPR RI Periode 2014-2019.
"Jelas manuver dari Senayan ini memiliki muatan politis di dalamnya,"tambahnya.
Pembahasan mengenai revisi UU KPK ini lebih baik didiskusikan secara gradual dan perlahan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan UU tersebut.
Sehingga akan lahir produk legislasi berkualitas dan memiliki relevansi tahan lama, bukan semata mengejar kepentingan sesaat yang justru berdampak pada penumpulan peran KPK terhadap pemberantasan korupsi serta terus menjadi masalah laten di Indonesia.