Bandung (ANTARA Sumsel) - Berjuang merebut kemerdekaan maupun mempertahankannya tidak harus orang pribumi yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia. Siapa pun dapat ikut berjuang melawan para penjajah yang melakukan tindakan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kisah kepahlawanan di Indonesia saat melawan penjajah Belanda maupun Jepang dan sekutunya relatif banyak. Misalnya, Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta, Cut Nyak Dien dari Aceh, Mohammad Toha dari Bandung, dan Bung Tomo dari Surabaya.
Selain itu, relatif banyak pahlawan lain yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia, termasuk kisah kepahlawanan warga negara Korea bernama Yang Chil Seong.
Pria kelahiran Korea pada tahun 1919 itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya berjuang untuk Indonesia.
Kisah perjalanan hidupnya itu tentu menjadi sesuatu yang menarik, dan menjadi tambahan pengetahuan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama bagi kaum muda Indonesia saat ini.
Perjalanan hidup Yang Chil Seong dari Korea hingga akhirnya tewas ditembak mati di Kabupaten Garut mendapat perhatian dari pemerintah Korea Selatan, bahkan kisahnya dituliskan menjadi bagian buku hasil penelusuran yang dilakukan oleh periset asal negaranya.
Kisahnya itu bermula ketika Jepang membawanya ke Indonesia. Pada saat itu, Jepang selain menjajah Indonesia, juga menjajah kawasan Korea.
Tentara Jepang membawanya ke Indonesia pada tahun 1942. Dia ditugaskan menjaga tahanan di Bandung.
Ketika Jepang menyerah, tidak semua tentaranya kembali ke negara tersebut.
Yang Chil Seong dan dua tentara Jepang bernama Aoki dan Hasegawa memilih tetap bertahan di Indonesia, lalu mereka pergi ke Kabupaten Garut dan memutuskan diri bergabung berjuang bersama pejuang-pejuang pribumi yang menamakan diri pasukan Pangeran Papak.
Bergabungnya Yang dan dua rekan asal Jepang dengan pejuang pribumi itu menjadikan mereka harus berganti nama dari Yang Chil Seong menjadi nama Indonesia, Komarudin. Begitu pula, Aoki menjadi Abubakar dan Hasegawa menjadi Usman.
Yang juga menikahi seorang perempuan Kabupaten Garut. Dia memutuskan memeluk agama Islam. Begitu juga dengan dua tentara Jepang penganut agama Islam.
Mereka bertiga memiliki kepiawaian. Misalnya, Yang adalah ahli pembuat bom, sedangkan dua tentara Jepang memiliki kemampuan dalam strategi perang sehingga kekuatan pejuang di Garut makin kuat.
Kisah heroik Yang dengan keahliannya membuat bom itu dibuktikan dengan peristiwa peledakan jembatan Sungai Cimanuk atau sering dikenal Jembatan PTG (Pabrik Tenun Garut) untuk menghalau tentara Belanda.
Aksinya itu membuat pasukan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia memutuskan untuk mundur. Namun, akhirnya Belanda menyerang kembali pasukan Pangeran Papak dengan berbagai strategi, termasuk menyebarkan mata-mata untuk mencari pejuang kewarganegaraan asing itu.
Kisah hidup Yang dan pejuang asal Jepang berakhir tragis setelah pasukan Belanda mengetahui keberadaan mereka bertiga. Tentara Belanda itu lalu menangkapnya di Gunung Dora, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Tasikmalaya.
Mereka bersama seorang pejuang pribumi dibawa oleh tentara Belanda, kemudian diadili hingga diputuskan Yang dan dua tentara Jepang dihukum mati, sedangkan pejuang pribumi mendapatkan hukuman penjara seumur hidup.
Takdir hidup mereka bertiga berakhir dengan cara ditembak mati oleh tentara Belanda di Lapang Kerkof, Kabupaten Garut, di hadapan warga setempat pada tanggal 10 Agustus 1949.
Ketiga jasad pejuang itu dikuburkan secara Islam sesuai dengan permintaan terakhirnya di pemakaman umum Pasir Pogor, Kecamatan Tarogong Kidul. Akhirnya, Pemerintah memindahkan mereka ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada tahun 1982.
Petugas Taman Makam Pahlawan pada Dinas Sosial Garut Imam Sukiman membenarkan ada makam pahlawan asal Korea dan dua tentara Jepang.
"Ya, betul ada orang Korea yang pro Indonesia dimakamkan di Makam Pahlawan Tenjolaya sini," kata Imam Sukiman.
Pahlawan asal Korea tersebut tertulis dalam batu nisannya bernama Komarudin.
Makam pahlawan dari Korea tersebut, kata Imam, selalu dikunjungi oleh keluarganya yang datang langsung dari Korea Selatan, bahkan batu nisannya itu diganti oleh pemerintah Korea Selatan yang diberikan dengan cara upacara militer.
Selain dikunjungi keluarganya, keberadaan makam pahlawan asing itu pernah didatangi oleh seorang profesor asal Korea Selatan untuk mengetahui kebenarannya bahwa yang dimakamkan di Garut adalah orang Korea.
Komarudin asal Korea ini pernah ditelusuri benar tidaknya adalah orang Korea dan Jepang yang membelot melawan Jepang dan Belanda, katanya.
Kini, kisah perjuangan asal Korea untuk bangsa Indonesia itu tetap dikenang. Jasadnya tetap terkubur di tanah Garut berjejer dengan makam pahlawan lainnya. Hal ini sebagai bukti kecintaannya untuk Indonesia.
Kisah kepahlawanan di Indonesia saat melawan penjajah Belanda maupun Jepang dan sekutunya relatif banyak. Misalnya, Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta, Cut Nyak Dien dari Aceh, Mohammad Toha dari Bandung, dan Bung Tomo dari Surabaya.
Selain itu, relatif banyak pahlawan lain yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia, termasuk kisah kepahlawanan warga negara Korea bernama Yang Chil Seong.
Pria kelahiran Korea pada tahun 1919 itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya berjuang untuk Indonesia.
Kisah perjalanan hidupnya itu tentu menjadi sesuatu yang menarik, dan menjadi tambahan pengetahuan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama bagi kaum muda Indonesia saat ini.
Perjalanan hidup Yang Chil Seong dari Korea hingga akhirnya tewas ditembak mati di Kabupaten Garut mendapat perhatian dari pemerintah Korea Selatan, bahkan kisahnya dituliskan menjadi bagian buku hasil penelusuran yang dilakukan oleh periset asal negaranya.
Kisahnya itu bermula ketika Jepang membawanya ke Indonesia. Pada saat itu, Jepang selain menjajah Indonesia, juga menjajah kawasan Korea.
Tentara Jepang membawanya ke Indonesia pada tahun 1942. Dia ditugaskan menjaga tahanan di Bandung.
Ketika Jepang menyerah, tidak semua tentaranya kembali ke negara tersebut.
Yang Chil Seong dan dua tentara Jepang bernama Aoki dan Hasegawa memilih tetap bertahan di Indonesia, lalu mereka pergi ke Kabupaten Garut dan memutuskan diri bergabung berjuang bersama pejuang-pejuang pribumi yang menamakan diri pasukan Pangeran Papak.
Bergabungnya Yang dan dua rekan asal Jepang dengan pejuang pribumi itu menjadikan mereka harus berganti nama dari Yang Chil Seong menjadi nama Indonesia, Komarudin. Begitu pula, Aoki menjadi Abubakar dan Hasegawa menjadi Usman.
Yang juga menikahi seorang perempuan Kabupaten Garut. Dia memutuskan memeluk agama Islam. Begitu juga dengan dua tentara Jepang penganut agama Islam.
Mereka bertiga memiliki kepiawaian. Misalnya, Yang adalah ahli pembuat bom, sedangkan dua tentara Jepang memiliki kemampuan dalam strategi perang sehingga kekuatan pejuang di Garut makin kuat.
Kisah heroik Yang dengan keahliannya membuat bom itu dibuktikan dengan peristiwa peledakan jembatan Sungai Cimanuk atau sering dikenal Jembatan PTG (Pabrik Tenun Garut) untuk menghalau tentara Belanda.
Aksinya itu membuat pasukan Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia memutuskan untuk mundur. Namun, akhirnya Belanda menyerang kembali pasukan Pangeran Papak dengan berbagai strategi, termasuk menyebarkan mata-mata untuk mencari pejuang kewarganegaraan asing itu.
Kisah hidup Yang dan pejuang asal Jepang berakhir tragis setelah pasukan Belanda mengetahui keberadaan mereka bertiga. Tentara Belanda itu lalu menangkapnya di Gunung Dora, daerah perbatasan Kabupaten Garut dengan Tasikmalaya.
Mereka bersama seorang pejuang pribumi dibawa oleh tentara Belanda, kemudian diadili hingga diputuskan Yang dan dua tentara Jepang dihukum mati, sedangkan pejuang pribumi mendapatkan hukuman penjara seumur hidup.
Takdir hidup mereka bertiga berakhir dengan cara ditembak mati oleh tentara Belanda di Lapang Kerkof, Kabupaten Garut, di hadapan warga setempat pada tanggal 10 Agustus 1949.
Ketiga jasad pejuang itu dikuburkan secara Islam sesuai dengan permintaan terakhirnya di pemakaman umum Pasir Pogor, Kecamatan Tarogong Kidul. Akhirnya, Pemerintah memindahkan mereka ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada tahun 1982.
Petugas Taman Makam Pahlawan pada Dinas Sosial Garut Imam Sukiman membenarkan ada makam pahlawan asal Korea dan dua tentara Jepang.
"Ya, betul ada orang Korea yang pro Indonesia dimakamkan di Makam Pahlawan Tenjolaya sini," kata Imam Sukiman.
Pahlawan asal Korea tersebut tertulis dalam batu nisannya bernama Komarudin.
Makam pahlawan dari Korea tersebut, kata Imam, selalu dikunjungi oleh keluarganya yang datang langsung dari Korea Selatan, bahkan batu nisannya itu diganti oleh pemerintah Korea Selatan yang diberikan dengan cara upacara militer.
Selain dikunjungi keluarganya, keberadaan makam pahlawan asing itu pernah didatangi oleh seorang profesor asal Korea Selatan untuk mengetahui kebenarannya bahwa yang dimakamkan di Garut adalah orang Korea.
Komarudin asal Korea ini pernah ditelusuri benar tidaknya adalah orang Korea dan Jepang yang membelot melawan Jepang dan Belanda, katanya.
Kini, kisah perjuangan asal Korea untuk bangsa Indonesia itu tetap dikenang. Jasadnya tetap terkubur di tanah Garut berjejer dengan makam pahlawan lainnya. Hal ini sebagai bukti kecintaannya untuk Indonesia.