770 ekor merpati dalam Festival Desa Bendoarum
Pada zaman dulu, tradisi itu betul-betul merupakan hiburan bagi warga yang sehari-hari bekerja sebagai petani
Bondowoso (ANTARA) - Ratusan merpati menambah semarak langit senja di sebuah desa di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang bersaput arak-arakan awan putih pada Sabtu (20/8) sore.
Warga Desa Bendoarum, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, dari sore hingga malam menggelar festival desa dengan melepas 770 merpati, yang melambangkan HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia
Semestinya jumlah merpati yang dilepas sesuai dengan 77 tahun Kemerdekaan RI, namun karena antusias warga untuk menyemarakkan festival tahunan itu, maka kemudian dilengkapi menjadi 770 merpati. Apalagi, warga desa tetangga, yakni Palalangan, juga ikut memeriahkan pelepasan burung itu.
Pelepasan burung yang dilambangkan sebagai hewan setia alias "tidak pernah ingkar janji" itu juga dimeriahkan dengan alat musik tradisional khas Bondowoso, yakni ghelundheng. Ghelundheng adalah alat musik tabuh yang terbuat dari kayu dan dipukul dengan kayu.
Suara yang yang dihasilkan dari ghelundheng itu mirip dengan suara musik lesung. Agar lebih semarak, ghelundheng juga dipadukan dengan seperangkat gamelan sederhana.
Masyarakat di sejumlah wilayah di Kabupaten Bondowoso, khususnya di Kecamatan Wonosari, sejak dulu memang memiliki tradisi memelihara merpati yang biasanya dilombakan secara massal antardesa. Dalam pelepasan merpati itu, dikenal dalam dua jenis, yakni abhuren dan totta'an.
Nuryanto, tokoh pemuda yang merupakan penggerak Festival Bendoarum dalam perbincangan dengan ANTARA bercerita dalam tradisi abhuran biasanya memang dilombakan antardesa. Bentuknya mirip dengan totta'an, yakni sama-sama melepas ratusan merpati ke udara.
Dalam tradisi abhuren, desa yang menjadi tuan rumah, misalnya Bendoarum, menyediakan sangkar perangkap untuk merpati yang dilepas oleh Desa Palalangan. Jika saat dilepas, ada merpati dari Palalangan yang masuk ke dalam sangkar perangkap, maka Desa Bendorarum dinilai menang. Saat menang itulah, warga desa kemudian menambuh alat musik ghelundheng sebagai ekspresi kegembiraan.
Pada pekan berikutnya, giliran warga Desa Palalangan yang menjadi tuan rumah. Ketentuannya tetap sama, warga yang bertandang melepas ratusan merpati dan jika ada satu saja burung itu masuk perangkap, maka tuan rumah dianggap menang dan bersuka ria menabuh musik ghelundheng.
Pada zaman dulu, tradisi itu betul-betul merupakan hiburan bagi warga yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Ketika ajang bertanding dalam bentuk abhuren tidak ada, maka warga dalam satu desa tidak kehilangan akal untuk membuat hiburan dengan merpati. Warga kemudian melepas merpati tanpa ada "pertandingan" seperti dalam abhuren. Tradisi pelepasan bersama tanpa ada lomba itu dikenal dengan nama totta'an atau dituang atau dilepas begitu saja.
Sebetulnya merpati-merpati yang tergolong jinak itu tidak akan hilang setelah dilepas. Mereka hanya terbang ke udara, kemudian akan kembali lagi ke sangkar atau pemiliknya masing-masing.
Pada Festival Bendoarum #3 ini, melibatkan mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) dari Universitas Jember (Unej). Para mahasiswa itu menyumbangkan konsep sekaligus menjadi panitia dalam festival yang mulai disemarakkan pemuda Desa Bendoarum sejak 2017 itu. Festival sempat vakum beberapa tahun, salah satunya karena pandemi COVID-19.
Ada nilai kebersamaan dan gotong royong yang hingga kini masih terus dipelihara oleh penduduk di kabupaten penghasil penganan tapay dan kopi dengan rasa khas dari kawasan lereng Gunung Ijen dan Raung itu. Festival itu juga menyuguhkan suasana kegembiraan masyarakat berupa hiburan sekaligus ajang ekspresi anak-anak desa.
Hiburan warga
Seusai pelepasan merpati, warga yang berkumpul di lapangan desa, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Lapangan di pinggir jalan desa itu saat menjelang waktu maghrib kemudian sepi dan yang tinggal hanyalah penjual makanan serta minuman bersama dengan panitia yang menyiapkan arena pementasan di malam hari.
Sekira pukul 19:00 lapangan Desa Bendoarum mulai kembali ramai. Sekira 30 menit kemudian kegiatan hiburan dimulai, yang diawali dengan penampilan dua macan-macanan memasuki arena diiringi alunan musik gamelan. Kalau secara umum Kabupaten Bondowoso memiliki tradisi Singowulung dengan penampilan macan-macanan putih, maka macan-macanan dari Bendoarum ini berbeda.
Abduh, salah satu penggerak pemuda desa bercerita bahwa macan-macanan ini memang khas Desa Bendoarum alias tidak sama dengan tradisi Singowulung. Tradisi Singowulung yang kini menjadi ikon budaya Bondowoso diambil dari sejarah pendiri Desa Blimbing, Kecamatan Klabang. Singa putih itu, dalam cerita lisan merupakan penjelmaan tokoh desa bernama Kiai Singo Wulu.
Sementara macan-macanan dari Desa Bendoarum merupakan wujud penghargaan dan mengenang ketokohan sesepuh desa setempat bernama Ki Demang Pardi. Ki Demang Pardi merupakan tokoh yang sangat ditakuti oleh Belanda karena setiap berperang melawan tentara penjajah, ia selalu didampingi oleh dua harimau.
Penampilan macan-macanan dalam festival itu cukup sederhana. Setiap satu macan-macanan dimainkan oleh dua orang, yang bagian depan menjadi pemegang kepala yang bisa mengatup-ngatupkan mulut macan dan pemain bagian belakang (ekor).
Kedua macan-macanan itu berjalan di arena tanpa panggung itu sambil sesekali mendekati penonton dengan membuka mulutnya. Bagi anak kecil, penampilan dua "harimau" itu sudah menjadi hiburan yang meriah, meskipun di antara mereka ada yang mengekspresikan ketakutan saat mereka didekati dan si "harimau" mengatupkan mulutnya.
Festival tahun ketiga itu bertema "Openin, Kemanin". Kedua kata itu berasal dari Bahasa Madura yang merupakan bahasa ibu warga Kabupaten Bondowoso, dengan makna "pelihara, sayangi".
Lewat tema itu, penyelenggara festival berharap warga Desa Bendoarum dan Bondowoso pada umumnya punya semangat memelihara dan menyayangi kekayaan budaya yang ada di daerahnya masing-masing.
Selain, kesenian tradisional, festival yang mengambil momentum peringatan HUT Kemerdekaan RI itu juga dimeriahkan dengan penampilan anak-anak sekolah, khususnya taman-kanak-kanak, mulai dari menari hingga peragaan busana. Malam festival juga diisi dengan penampilan tarian yang diambil dari fragmen cerita Panji oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) 1 Sumberwringin, Bondowoso.
Meriahnya Festival Bendoarum itu menunjukkan bahwa daya tarik kesenian tradisional masih "laku" di tengah masyarakat yang saat ini sudah "dikepung" oleh hiburan lewat dunia maya, khususnya via telepon seluler.
Kekhawatiran bahwa kesenian tradisional akan mati digantikan oleh hiburan modern lewat layar HP tampaknya tidak menemukan bukti, apalagi jika festival desa itu dikemas dengan lebih bagus. Bahkan, sangat mungkin kekayaan budaya di desa itu akan menjadi bagian dari kalender wisata yang akan menyedot wisatawan, baik lokal maupun asing untuk datang.
Warga Desa Bendoarum, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, dari sore hingga malam menggelar festival desa dengan melepas 770 merpati, yang melambangkan HUT Ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia
Semestinya jumlah merpati yang dilepas sesuai dengan 77 tahun Kemerdekaan RI, namun karena antusias warga untuk menyemarakkan festival tahunan itu, maka kemudian dilengkapi menjadi 770 merpati. Apalagi, warga desa tetangga, yakni Palalangan, juga ikut memeriahkan pelepasan burung itu.
Pelepasan burung yang dilambangkan sebagai hewan setia alias "tidak pernah ingkar janji" itu juga dimeriahkan dengan alat musik tradisional khas Bondowoso, yakni ghelundheng. Ghelundheng adalah alat musik tabuh yang terbuat dari kayu dan dipukul dengan kayu.
Suara yang yang dihasilkan dari ghelundheng itu mirip dengan suara musik lesung. Agar lebih semarak, ghelundheng juga dipadukan dengan seperangkat gamelan sederhana.
Masyarakat di sejumlah wilayah di Kabupaten Bondowoso, khususnya di Kecamatan Wonosari, sejak dulu memang memiliki tradisi memelihara merpati yang biasanya dilombakan secara massal antardesa. Dalam pelepasan merpati itu, dikenal dalam dua jenis, yakni abhuren dan totta'an.
Nuryanto, tokoh pemuda yang merupakan penggerak Festival Bendoarum dalam perbincangan dengan ANTARA bercerita dalam tradisi abhuran biasanya memang dilombakan antardesa. Bentuknya mirip dengan totta'an, yakni sama-sama melepas ratusan merpati ke udara.
Dalam tradisi abhuren, desa yang menjadi tuan rumah, misalnya Bendoarum, menyediakan sangkar perangkap untuk merpati yang dilepas oleh Desa Palalangan. Jika saat dilepas, ada merpati dari Palalangan yang masuk ke dalam sangkar perangkap, maka Desa Bendorarum dinilai menang. Saat menang itulah, warga desa kemudian menambuh alat musik ghelundheng sebagai ekspresi kegembiraan.
Pada pekan berikutnya, giliran warga Desa Palalangan yang menjadi tuan rumah. Ketentuannya tetap sama, warga yang bertandang melepas ratusan merpati dan jika ada satu saja burung itu masuk perangkap, maka tuan rumah dianggap menang dan bersuka ria menabuh musik ghelundheng.
Pada zaman dulu, tradisi itu betul-betul merupakan hiburan bagi warga yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Ketika ajang bertanding dalam bentuk abhuren tidak ada, maka warga dalam satu desa tidak kehilangan akal untuk membuat hiburan dengan merpati. Warga kemudian melepas merpati tanpa ada "pertandingan" seperti dalam abhuren. Tradisi pelepasan bersama tanpa ada lomba itu dikenal dengan nama totta'an atau dituang atau dilepas begitu saja.
Sebetulnya merpati-merpati yang tergolong jinak itu tidak akan hilang setelah dilepas. Mereka hanya terbang ke udara, kemudian akan kembali lagi ke sangkar atau pemiliknya masing-masing.
Pada Festival Bendoarum #3 ini, melibatkan mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) dari Universitas Jember (Unej). Para mahasiswa itu menyumbangkan konsep sekaligus menjadi panitia dalam festival yang mulai disemarakkan pemuda Desa Bendoarum sejak 2017 itu. Festival sempat vakum beberapa tahun, salah satunya karena pandemi COVID-19.
Ada nilai kebersamaan dan gotong royong yang hingga kini masih terus dipelihara oleh penduduk di kabupaten penghasil penganan tapay dan kopi dengan rasa khas dari kawasan lereng Gunung Ijen dan Raung itu. Festival itu juga menyuguhkan suasana kegembiraan masyarakat berupa hiburan sekaligus ajang ekspresi anak-anak desa.
Hiburan warga
Seusai pelepasan merpati, warga yang berkumpul di lapangan desa, kemudian pulang ke rumah masing-masing. Lapangan di pinggir jalan desa itu saat menjelang waktu maghrib kemudian sepi dan yang tinggal hanyalah penjual makanan serta minuman bersama dengan panitia yang menyiapkan arena pementasan di malam hari.
Sekira pukul 19:00 lapangan Desa Bendoarum mulai kembali ramai. Sekira 30 menit kemudian kegiatan hiburan dimulai, yang diawali dengan penampilan dua macan-macanan memasuki arena diiringi alunan musik gamelan. Kalau secara umum Kabupaten Bondowoso memiliki tradisi Singowulung dengan penampilan macan-macanan putih, maka macan-macanan dari Bendoarum ini berbeda.
Abduh, salah satu penggerak pemuda desa bercerita bahwa macan-macanan ini memang khas Desa Bendoarum alias tidak sama dengan tradisi Singowulung. Tradisi Singowulung yang kini menjadi ikon budaya Bondowoso diambil dari sejarah pendiri Desa Blimbing, Kecamatan Klabang. Singa putih itu, dalam cerita lisan merupakan penjelmaan tokoh desa bernama Kiai Singo Wulu.
Sementara macan-macanan dari Desa Bendoarum merupakan wujud penghargaan dan mengenang ketokohan sesepuh desa setempat bernama Ki Demang Pardi. Ki Demang Pardi merupakan tokoh yang sangat ditakuti oleh Belanda karena setiap berperang melawan tentara penjajah, ia selalu didampingi oleh dua harimau.
Penampilan macan-macanan dalam festival itu cukup sederhana. Setiap satu macan-macanan dimainkan oleh dua orang, yang bagian depan menjadi pemegang kepala yang bisa mengatup-ngatupkan mulut macan dan pemain bagian belakang (ekor).
Kedua macan-macanan itu berjalan di arena tanpa panggung itu sambil sesekali mendekati penonton dengan membuka mulutnya. Bagi anak kecil, penampilan dua "harimau" itu sudah menjadi hiburan yang meriah, meskipun di antara mereka ada yang mengekspresikan ketakutan saat mereka didekati dan si "harimau" mengatupkan mulutnya.
Festival tahun ketiga itu bertema "Openin, Kemanin". Kedua kata itu berasal dari Bahasa Madura yang merupakan bahasa ibu warga Kabupaten Bondowoso, dengan makna "pelihara, sayangi".
Lewat tema itu, penyelenggara festival berharap warga Desa Bendoarum dan Bondowoso pada umumnya punya semangat memelihara dan menyayangi kekayaan budaya yang ada di daerahnya masing-masing.
Selain, kesenian tradisional, festival yang mengambil momentum peringatan HUT Kemerdekaan RI itu juga dimeriahkan dengan penampilan anak-anak sekolah, khususnya taman-kanak-kanak, mulai dari menari hingga peragaan busana. Malam festival juga diisi dengan penampilan tarian yang diambil dari fragmen cerita Panji oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) 1 Sumberwringin, Bondowoso.
Meriahnya Festival Bendoarum itu menunjukkan bahwa daya tarik kesenian tradisional masih "laku" di tengah masyarakat yang saat ini sudah "dikepung" oleh hiburan lewat dunia maya, khususnya via telepon seluler.
Kekhawatiran bahwa kesenian tradisional akan mati digantikan oleh hiburan modern lewat layar HP tampaknya tidak menemukan bukti, apalagi jika festival desa itu dikemas dengan lebih bagus. Bahkan, sangat mungkin kekayaan budaya di desa itu akan menjadi bagian dari kalender wisata yang akan menyedot wisatawan, baik lokal maupun asing untuk datang.