Palembang, (ANTARA Sumsel) - Fenomena El nino yang memicu kekeringan karena musim kemarau yang berkepanjangan bukan semata-semata bencana bagi sektor pertanian.
El Nino bahkan menjadi berkah tersendiri bagi pertanian rawa lebak karena membuat genangan air surut sehingga lahan bisa ditanami padi.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Ilfantria, mengatakan lahan rawa lebak ini masih bisa berproduksi karena terdapat tiga jenis tergantung dengan tinggi muka air yakni pematang, tengah, dan dalam.
Di saat musim kemarau panjang melanda, petani akan memanfaatkan lahan rawa lebak dalam karena lahan pematang dan tengah sudah kering.
Karena potensi lahan tersebut, Sumsel yang memiliki sekitar 300.000 hektare lahan rawa lebak dapat menjaga produksi pada meski dilanda El Nino `hebat` pada 2015. Para prakirawan cuaca di dunia memperkirakan fenomena cuaca El Nino tahun 2015 ini terkuat selama yang tercatat sejarah, atau lebih hebat dibadingkan 1986 - 1988.
Hal ini dapat terlihat dari produksi padi Sumsel 2015 yakni mencapai 4.259.104 ton GKG atau berhasil menyumbang 1,8 juta ton beras kebutuhan beras nasional. Sedangkan pada 2016 dicanangkan dapat menyumbang lebih dari 2 juta ton.
Meski berhasil meningkatkan produksi padi, tapi Ilfantria tidak membantah bahwa potensi pertanian rawa lebak belum digarap secara optimal.
Ia mengemukakan, dari 300.000 hektare lahan rawa lebak hanya 206.568 hektare yang dijadikan lahan pertanian, dengan rincian 198.208 hektare melakukan satu kali penanaman dan 8.360 hektera lahan melakukan indeks penanaman dua kali dalam satu tahun.
Terkait penanaman satu kali ini, Ilfantria menjelaskan bahwa selama ini petani sawah rawa lebak di Sumatera Selatan sangat bergantung pada cuaca dan belum memiliki teknologi mempuni untuk mengatasinya.
Petani menunggu musim kemarau datang (berkurangnya genangan air) untuk menabur benih dan panen sebelum musim penghujan tiba (lahan sudah tergenang).
"Lantaran itu, pemerintah saat ini mendorong penerapan teknologi di pertanian sawa lebak, agar bisa meningkatkan indeks penanaman," kata dia.
Ketua Tim Peneliti Rawa Lebak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Mohammad Noor mengatakan pertanian rawa lebak memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan air sehingga pemanfaatannya menjadi lebih murah dan mudah.
Sehingga keandalannya terletak pada cara petani mengatur waktu tanam yang disesuaikan dengan kondisi naik dan turunnya permukaan air.
Kelebihan lainnya yakni memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim sehingga dapat mensubsitisusi hasil pertanian di saat musim kemarau melanda di bulan Juli, Agustus dan September.
Potensi kontribusi lahan rawa terhadap produksi beras nasional mencapai 14 persen atau 6-8 juta ton dengan tingkat produktivitas 4 ton per hektare GKG.
Selain itu, beras yang dihasilkan lahan rawa berkadar indeks glikemik rendah sehingga sangat baik dikonsumsi para penderita diabetik, dan juga mengandung "Fe" dan Selenium yang cukup tinggi yang sangat baik untuk pembentukkan sel darah merah.
Sementara itu kendala utama dari lahan rawa lebak adalah pada tingkat kesuburan yang rendah dan sifat kimia tanah yang cukup tinggi dan lamanya genangan air.
Mengingat kendala tersebut maka lahan lebak memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah karena sifat kimia tanah yang tinggi, sehingga sangat dibutuhkan teknologi untuk mengatasinya.
Menurutnya, pemerintah sudah menemukan sejumlah langkah inovasi menjadikan lahan rawa lebak ini sebagai lumbung pangan nasional, salah satunya pemupukan yang berimbang dengan teknologi pupuk hayati Biotara dan Biosuro yang sudah dilisensi oleh PT Pupuk Kaltim.
Selain itu, Teknologi Tabat Limpas untuk konservasi air di mana teknologi ini dikembangkan dari kearifan lokal masyarakat Bugis.
Sementara untuk benih, pihak Balitbangtan mengembangkan jenis padi unggul padi lahan tahan salin dan kemasaman tanah yakni jenis bibit Inpara di sejumlah wilayah, salah satunya di Sumsel yakni di Martapura dan Banyuasin.
Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik menilai, pemerintah jangan hanya terfokus pada pemupukan dan bibit, tapi juga memperhatikan kebutuhan sarana dan prasarana pertanian rawa lebak.
Pertanian rawa lebak ini masih banyak yang tidak memiliki manajemen pintu air, sehingga saat kemarau, air yang masuk di saat musim penghujan menjadi hilang begitu saja.
"Seharusnya, pemerintah membantu petani menyediakan sarana dan prasarananya, agar produksi padi tetap tinggi di saat musim kemarau," kata dia.
Menurutnya, persoalan ini harus menjadi perhatian karena berdasarkan penelitian belum lama ini diketahui bahwa pasokan air justru lebih berkurang karena terjadi penurunan muka air tanah.
"Akibat dipengaruhi cuaca, dan tingginya penyerapan air membuat muka air turun lebih banyak, jika 2014 hanya 1,5 meter tapi kini bisa dua meter," kata dia.
Butuh Teknologi
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Syakir mengatakan lahan rawa lebak berpotensi menyumbang 14 persen produksi beras nasional atau sekitar 6-8 juta ton.
Pada saat iklim normal, Indonesia memiliki lahan rawa seluas 564.200 hektare, sementara saat musim kemarau terjadi potensi penambahan lahan rawa seluas 237.700 hektare karena genangan air surut.
Dengan demikian, total lahan rawa yang bisa ditanami padi seluas 801.900 ha.
Ia mengatakan lahan rawa dapat ditanami varietas padi inpara seperti inpara 2, inpara 3 dan inpara 4 yang dapat menghasilkan lebih dari 6-7 ton jika didampingi oleh Balitbang sehingga pengelolaan lahan rawa optimal.
"Selama ini produksi padi nasional bertumpu pada ekosistem padi sawah, irigasi dan tadah hujan, namun saat kekeringan melanda akibat pengaruh El nino, rawa dapat berpotensi menjadi lumbung pangan," kata dia.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini gencar mempersiapkan dan memperlebar ekosistem pengembangan lahan padi yaitu padi tahan di musim kering, salah satunya padi inpara.
Sementara itu Kementerian Pertanian (Kemtan) menargetkan produksi beras pada panen raya Maret-April 2016 ini mencapai 14,52 juta ton.
Produksi itu belum termasuk produksi gabah kering giling (GKG) pada akhir Februari yang diperkirakan mencapai 5 juta ton GKG atau 3 juta ton beras.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Ilfantria di Palembang, Jumat, mengatakan, untuk mendukung target tersebut, Pemprov Sumsel akan mengajukan sebanyak 340 alat pompa air atau meningkat jika dibandingkan tahun ini yakni hanya 162 pompa yang disebar ke 17 kabupaten dan kota.
"Keterbatasan pompa air merupakan kendala yang sering dihadapi petani di saat kemarau, atas alasan inilah maka tahun ini diajukan kembali permohonan meminta bantuan alat pompa air. Kemungkinan pada Juli sudah bisa dibagikan setelah mendapatkan persetujuan pemerintah pusat," kata dia.
Ia mengemukakan, ketersediaan alat-alat pertanian dan infrastruktur penunjang menjadi perhatian pemerintah yang mengusung target swasembada beras pada 2017.
Sumsel menjadi perhatian karena menjadi provinsi yang telah surplus beras sebesar 1,3 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2014 atau masuk dalam lima provinsi di Indonesia yang produksinya surplus di atas satu juta ton.
Pada 2014, Sumsel memproduksi sebanyak 3,67 juta ton GKG dan tahun 2015 ini meningkat menjadi 4,9 juta ton GKG meski dihadapkan pada musim kemarau yang cukup panjang.
"Produksi padi tahun 2015 yang tercantum dalam angka ramalan I diperkirakan mencapai 4,11 juta ton GKG tapi justru meningkat menjadi 4,9 juta ton padi. Artinya, masih masuk target," kata dia.
Menurutnya, hal ini karena pertanian di Sumsel terdapat empat tipologi lahan yakni irigasi, tadah hujan, pasang surut, dan rawa lebak.
Sumsel masih memiliki 459.201 hektare lahan sawah yang ditanami satu kali dalam satu tahun dari total 781.000 hektare. Sedangkan, lahan sawah yang telah memanen dua kali hanya mencapai 162.243 hektare.
Selain itu keberadaan lahan rawa lebak menjadi keunggulan sendiri karena masih bisa berproduksi di saat kemarau karena terdapat tiga jenis yakni pematang, tengah, dan dalam.
"Di saat musim kemarau panjang melanda maka akan dimanfaatkan lahan rawa lebak dalam," kata dia.
Di tengah ketersediaan lahan yang semakin terbatas, pertanian rawa lebak dapat menjadi harapan sendiri untuk menjaga kedaulatan pangan dalam negeri.
Jika hanya bertumpu pada padi sawah saja maka diprediksi tidak akan mampu menopang laju permintaan yang semakin meningkat di masa datang akibat laju pertambahan jumlah penduduk.
Untuk itu, dibutuhkan semangat yang tinggi dari berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian rawa lebak ini yang dikenal memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah dan sifat kimia tanah yang tinggi, namun di satu sisi tahan perubahan iklim.
El Nino bahkan menjadi berkah tersendiri bagi pertanian rawa lebak karena membuat genangan air surut sehingga lahan bisa ditanami padi.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Ilfantria, mengatakan lahan rawa lebak ini masih bisa berproduksi karena terdapat tiga jenis tergantung dengan tinggi muka air yakni pematang, tengah, dan dalam.
Di saat musim kemarau panjang melanda, petani akan memanfaatkan lahan rawa lebak dalam karena lahan pematang dan tengah sudah kering.
Karena potensi lahan tersebut, Sumsel yang memiliki sekitar 300.000 hektare lahan rawa lebak dapat menjaga produksi pada meski dilanda El Nino `hebat` pada 2015. Para prakirawan cuaca di dunia memperkirakan fenomena cuaca El Nino tahun 2015 ini terkuat selama yang tercatat sejarah, atau lebih hebat dibadingkan 1986 - 1988.
Hal ini dapat terlihat dari produksi padi Sumsel 2015 yakni mencapai 4.259.104 ton GKG atau berhasil menyumbang 1,8 juta ton beras kebutuhan beras nasional. Sedangkan pada 2016 dicanangkan dapat menyumbang lebih dari 2 juta ton.
Meski berhasil meningkatkan produksi padi, tapi Ilfantria tidak membantah bahwa potensi pertanian rawa lebak belum digarap secara optimal.
Ia mengemukakan, dari 300.000 hektare lahan rawa lebak hanya 206.568 hektare yang dijadikan lahan pertanian, dengan rincian 198.208 hektare melakukan satu kali penanaman dan 8.360 hektera lahan melakukan indeks penanaman dua kali dalam satu tahun.
Terkait penanaman satu kali ini, Ilfantria menjelaskan bahwa selama ini petani sawah rawa lebak di Sumatera Selatan sangat bergantung pada cuaca dan belum memiliki teknologi mempuni untuk mengatasinya.
Petani menunggu musim kemarau datang (berkurangnya genangan air) untuk menabur benih dan panen sebelum musim penghujan tiba (lahan sudah tergenang).
"Lantaran itu, pemerintah saat ini mendorong penerapan teknologi di pertanian sawa lebak, agar bisa meningkatkan indeks penanaman," kata dia.
Ketua Tim Peneliti Rawa Lebak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Mohammad Noor mengatakan pertanian rawa lebak memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan air sehingga pemanfaatannya menjadi lebih murah dan mudah.
Sehingga keandalannya terletak pada cara petani mengatur waktu tanam yang disesuaikan dengan kondisi naik dan turunnya permukaan air.
Kelebihan lainnya yakni memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim sehingga dapat mensubsitisusi hasil pertanian di saat musim kemarau melanda di bulan Juli, Agustus dan September.
Potensi kontribusi lahan rawa terhadap produksi beras nasional mencapai 14 persen atau 6-8 juta ton dengan tingkat produktivitas 4 ton per hektare GKG.
Selain itu, beras yang dihasilkan lahan rawa berkadar indeks glikemik rendah sehingga sangat baik dikonsumsi para penderita diabetik, dan juga mengandung "Fe" dan Selenium yang cukup tinggi yang sangat baik untuk pembentukkan sel darah merah.
Sementara itu kendala utama dari lahan rawa lebak adalah pada tingkat kesuburan yang rendah dan sifat kimia tanah yang cukup tinggi dan lamanya genangan air.
Mengingat kendala tersebut maka lahan lebak memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah karena sifat kimia tanah yang tinggi, sehingga sangat dibutuhkan teknologi untuk mengatasinya.
Menurutnya, pemerintah sudah menemukan sejumlah langkah inovasi menjadikan lahan rawa lebak ini sebagai lumbung pangan nasional, salah satunya pemupukan yang berimbang dengan teknologi pupuk hayati Biotara dan Biosuro yang sudah dilisensi oleh PT Pupuk Kaltim.
Selain itu, Teknologi Tabat Limpas untuk konservasi air di mana teknologi ini dikembangkan dari kearifan lokal masyarakat Bugis.
Sementara untuk benih, pihak Balitbangtan mengembangkan jenis padi unggul padi lahan tahan salin dan kemasaman tanah yakni jenis bibit Inpara di sejumlah wilayah, salah satunya di Sumsel yakni di Martapura dan Banyuasin.
Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik menilai, pemerintah jangan hanya terfokus pada pemupukan dan bibit, tapi juga memperhatikan kebutuhan sarana dan prasarana pertanian rawa lebak.
Pertanian rawa lebak ini masih banyak yang tidak memiliki manajemen pintu air, sehingga saat kemarau, air yang masuk di saat musim penghujan menjadi hilang begitu saja.
"Seharusnya, pemerintah membantu petani menyediakan sarana dan prasarananya, agar produksi padi tetap tinggi di saat musim kemarau," kata dia.
Menurutnya, persoalan ini harus menjadi perhatian karena berdasarkan penelitian belum lama ini diketahui bahwa pasokan air justru lebih berkurang karena terjadi penurunan muka air tanah.
"Akibat dipengaruhi cuaca, dan tingginya penyerapan air membuat muka air turun lebih banyak, jika 2014 hanya 1,5 meter tapi kini bisa dua meter," kata dia.
Butuh Teknologi
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Syakir mengatakan lahan rawa lebak berpotensi menyumbang 14 persen produksi beras nasional atau sekitar 6-8 juta ton.
Pada saat iklim normal, Indonesia memiliki lahan rawa seluas 564.200 hektare, sementara saat musim kemarau terjadi potensi penambahan lahan rawa seluas 237.700 hektare karena genangan air surut.
Dengan demikian, total lahan rawa yang bisa ditanami padi seluas 801.900 ha.
Ia mengatakan lahan rawa dapat ditanami varietas padi inpara seperti inpara 2, inpara 3 dan inpara 4 yang dapat menghasilkan lebih dari 6-7 ton jika didampingi oleh Balitbang sehingga pengelolaan lahan rawa optimal.
"Selama ini produksi padi nasional bertumpu pada ekosistem padi sawah, irigasi dan tadah hujan, namun saat kekeringan melanda akibat pengaruh El nino, rawa dapat berpotensi menjadi lumbung pangan," kata dia.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini gencar mempersiapkan dan memperlebar ekosistem pengembangan lahan padi yaitu padi tahan di musim kering, salah satunya padi inpara.
Sementara itu Kementerian Pertanian (Kemtan) menargetkan produksi beras pada panen raya Maret-April 2016 ini mencapai 14,52 juta ton.
Produksi itu belum termasuk produksi gabah kering giling (GKG) pada akhir Februari yang diperkirakan mencapai 5 juta ton GKG atau 3 juta ton beras.
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel Ilfantria di Palembang, Jumat, mengatakan, untuk mendukung target tersebut, Pemprov Sumsel akan mengajukan sebanyak 340 alat pompa air atau meningkat jika dibandingkan tahun ini yakni hanya 162 pompa yang disebar ke 17 kabupaten dan kota.
"Keterbatasan pompa air merupakan kendala yang sering dihadapi petani di saat kemarau, atas alasan inilah maka tahun ini diajukan kembali permohonan meminta bantuan alat pompa air. Kemungkinan pada Juli sudah bisa dibagikan setelah mendapatkan persetujuan pemerintah pusat," kata dia.
Ia mengemukakan, ketersediaan alat-alat pertanian dan infrastruktur penunjang menjadi perhatian pemerintah yang mengusung target swasembada beras pada 2017.
Sumsel menjadi perhatian karena menjadi provinsi yang telah surplus beras sebesar 1,3 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2014 atau masuk dalam lima provinsi di Indonesia yang produksinya surplus di atas satu juta ton.
Pada 2014, Sumsel memproduksi sebanyak 3,67 juta ton GKG dan tahun 2015 ini meningkat menjadi 4,9 juta ton GKG meski dihadapkan pada musim kemarau yang cukup panjang.
"Produksi padi tahun 2015 yang tercantum dalam angka ramalan I diperkirakan mencapai 4,11 juta ton GKG tapi justru meningkat menjadi 4,9 juta ton padi. Artinya, masih masuk target," kata dia.
Menurutnya, hal ini karena pertanian di Sumsel terdapat empat tipologi lahan yakni irigasi, tadah hujan, pasang surut, dan rawa lebak.
Sumsel masih memiliki 459.201 hektare lahan sawah yang ditanami satu kali dalam satu tahun dari total 781.000 hektare. Sedangkan, lahan sawah yang telah memanen dua kali hanya mencapai 162.243 hektare.
Selain itu keberadaan lahan rawa lebak menjadi keunggulan sendiri karena masih bisa berproduksi di saat kemarau karena terdapat tiga jenis yakni pematang, tengah, dan dalam.
"Di saat musim kemarau panjang melanda maka akan dimanfaatkan lahan rawa lebak dalam," kata dia.
Di tengah ketersediaan lahan yang semakin terbatas, pertanian rawa lebak dapat menjadi harapan sendiri untuk menjaga kedaulatan pangan dalam negeri.
Jika hanya bertumpu pada padi sawah saja maka diprediksi tidak akan mampu menopang laju permintaan yang semakin meningkat di masa datang akibat laju pertambahan jumlah penduduk.
Untuk itu, dibutuhkan semangat yang tinggi dari berbagai pihak untuk mengembangkan pertanian rawa lebak ini yang dikenal memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah dan sifat kimia tanah yang tinggi, namun di satu sisi tahan perubahan iklim.