Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) sebagai organisasi profesi beranggotakan pakar dan praktisi ilmu tanah mulai mempromosikan pentingnya menjaga kesehatan tanah untuk kelangsungan peradaban manusia.
Dengan kejadian bencana nasional ini, sekaligus momentum Hari Tanah Sedunia, kita diingatkan kembali bahwa tanah bukan sekadar media tanam, melainkan fondasi ekosistem dan penyangga kehidupan di Bumi.
Ketika tanah kehilangan fungsi hidrologi, fisik, dan biologisnya, maka risiko bencana meningkat dan pembangunan kehilangan pijakan dasarnya.
Kerusakan tanah
Berbagai bentuk kerusakan tanah dapat kita lihat. Pertama, menurunnya kemampuan tanah menahan air. Istilah ini dikenal sebagai water holding capacity (WHC). Fungsi ini paling penting, ketika kemampuan ini menurun, maka tanah tidak cukup mampu menahan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya segera hilang.
Dalam jumlah banyak memicu banjir, bahkan ikut membawa partikel tanah yang terbuka atau erosi. Laporan BRMP, Kementan menyebutkan selama kurun waktu 2020-2023, sekitar 52 persen daerah aliran sungai di Pulau Jawa mengalami penurunan infiltrasi lebih dari 30 persen. Artinya tanah telah kehilangan kemampuannya menahan air hujan.
Kedua, penurunan kemampuan tanah menahan air ini, terutama disebabkan oleh sifat fisik tanah yang sudah menurun. Bahan organik yang berfungsi sebagai bahan perekat tanah telah hilang.
Tanah dengan kandungan C-organik kurang 2 persen sudah sangat rendah kualitasnya, bahkan para pakar ilmu tanah menyebutnya sebagai tanah sakit. Hasil pemetaan C organik secara nasional menunjukkan lebih dari 60 persen lahan pertanian Indonesia memiliki C organik kurang 2 persen (BRMP, Kementan).
Penurunan kandungan bahan organik tanah ini disebabkan berbagai hal. Pertama, eksploitasi tanah secara berlebihan, tanpa adanya upaya konservasi terjadi di berbagai subsektor penggunaan lahan.
Kedua, terjadi alih fungsi lahan dari lahan bervegetasi rapat, seperti hutan menjadi lahan lebih terbuka, tegalan/ladang/huma tanpa konservasi. Vegetasi hutan ini bila tidak dikelola dengan baik akan kehilangan 30-70 persen bahan organiknya dalam kurun 20-50 tahun ke depan.
Data BPS menyebutkan dalam periode 2014-2023, secara umum terjadi penyusutan hutan, dan peningkatan non-hutan terutama perkebunan dan permukiman.
Global Forest Watch (2020–2024) mendata pada tahun 2020, hutan alam masih sekitar 94 juta ha atau hampir 50 persen luas daratan Indonesia, namun pada tahun 2024 hilang hingga 260 ribu ha, dan meningkatkan emisi sebesar 190 MtCO₂. Interaktif menunjukkan terjadi pergeseran dari hutan ke pertanian, terutama perkebunan.
Dalam kurun waktu tujuh tahun (2015-2022), data KLHK menyebutkan terjadi penyusutan hutan, terluas di Aceh 0,7 juta hektare, sedangkan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat masing-masing 39.864 ha dan 25.435 ha.
Demikian juga dengan badan air terjadi penyusutan terluas di Sumatera Utara 151.741 ha, diikuti Aceh 69.798 ha. Di sisi lain terdapat penambahan luas permukiman, di Sumatera Barat mencapai 401.843 ha, penambahan perkebunan di Aceh 573.020 ha dan penambangan 151.254 ha di Aceh.
Ketiga, minimnya pengembalian bahan organik ke tanah, seperti jerami yang seharusnya menjadi milik tanah setelah diambil hasilnya. Namun perkembangan teknologi dan tuntutan kebutuhan dewasa ini, banyak sekali jerami diangkut ke luar lahan untuk dimanfaatkan menjadi produk lain, sehingga bahan organik tanah, terutama lahan sawah, semakin terdegradasi.
Keempat, terjadinya pemadatan tanah disebabkan penggunaan alat berat dan pengolahan lahan yang buruk. Hamza & Anderson (2005) melaporkan pemadatan tanah sekitar 0.5 g/cm3 akan menurunkan infiltrasi hingga 60 persen. Kelima, erosi dan kehilangan lapisan atas tanah (topsoil) yang menyimpan 50-90 persen bahan organik.
Kehilangan 1 cm topsoil berarti menghilangkan 100-200 ton tanah/ha dan menurunkan water holding capasity hingga 12 persen (Morgan, 2009).
Inilah yang paling ditakutkan para ilmuwan tanah, terkikisnya tanah akibat eksploitasi berlebih di lahan hutan, aktivitas penambangan, lahan-lahan dengan kemiringan tinggi, yang sangat membahayakan keberlanjutan sumber daya.
Bencana dipicu tanah yang tidak lagi sehat. BMKG melaporkan bahwa intensitas hujan ekstrem meningkat 20–30 persen dalam 10 tahun terakhir. Namun, curah hujan tinggi tidak otomatis menyebabkan bencana, jika tanah masih sehat. Persoalannya terletak pada kemampuan tanah menahan air yang kini menurun drastis.
Beberapa fenomena kunci sebagai berikut: satu, banjir dan genangan yang meluas. Banjir bukan sekadar soal kapasitas sungai, melainkan juga kemampuan tanah melalukan air ke dalam tanah (infiltrasi).
Di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang, laju infiltrasi menurun tajam akibat pemadatan tanah dan hilangnya ruang terbuka hijau. Tanah tidak lagi mampu menyerap air, memaksa air lari di permukaan, mempercepat limpasan, dan memicu banjir.
Dua, longsor di wilayah pegunungan. Badan Geologi mencatat lebih dari 2.000 kejadian tanah longsor setiap tahunnya dan terus meningkat, sebagian besar terjadi di wilayah dengan kemiringan curam dan tanah lapisan atas yang berbatu.
Perubahan vegetasi permukaan dan pembukaan lahan tanpa terasering/konservasi memperlemah struktur tanah, sehingga dengan mudah ambrol ketika jenuh air.
Tiga, kegagalan struktur infrastruktur. Ruas jalan ambles, pondasi bangunan retak, dan talud roboh adalah gejala klasik stabilitas tanah yang menurun. Banyak konstruksi dibangun tanpa audit geoteknik memadai, terutama di lokasi tanah gambut, rawa, atau liat ekspansif.
Faktor Tanah
Salah satu akar persoalan kejadian banjir bandang, tanah longsor akhir-akhir ini adalah tata ruang yang belum sepenuhnya berbasis sifat dan kemampuan tanah.
Banyak daerah menempatkan permukiman di bantaran sungai, perumahan di zona rawan longsor, industri di atas tanah lunak tanpa mitigasi geoteknik, dan kawasan resapan berubah menjadi permukiman padat.
Padahal regulasi terkait hal tersebut tersedia, namun banyak kita mengabaikannya dengan dalih tuntutan kebutuhan. Kebijakan ini sangat berbeda dengan negara lain, perencanaan tata ruang mensyaratkan soil-based land use planning, yaitu penataan ruang berbasis kemampuan dan kesesuaian tanah.
Pembukaan lahan di lereng perbukitan untuk pertanian, tanpa teknis konservasi, menyebabkan erosi akut dan memperbesar risiko erosi dan longsor.
Di Kalimantan dan Sumatra, pembukaan lahan gambut menyebabkan kerusakan permanen pada struktur tanah gambut, tanah mengalami subsiden 3–6 cm/tahun, serta meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran. Lahan gambut yang telah dikeringkan hampir tidak mungkin kembali pada kondisi ekologis awal.
Untuk memulihkan daya dukung tanah, Indonesia membutuhkan regulasi yang lebih kuat dan implementasi yang tegas dan konsisten. Beberapa langkah kunci yang harus dilakukan. Pertama, zonasi risiko geologi dan tanah wajib masuk rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Analisis yang harus menjadi dasar mencakup kemampuan tanah, kesesuaian penggunaan, indeks stabilitas lereng, potensi liquifaksi, potensi penurunan tanah, tingkat erosi. Pemerintah daerah harus mewajibkan pemetaan detail, sebelum mengeluarkan izin pembangunan.
Kedua, audit daya dukung dan daya tampung lahan nasional. Hal ini penting untuk memastikan pembangunan sesuai sifat dan kemampuan tanah, menghindari penempatan fasilitas umum pada tanah berisiko, dan mendorong konservasi pada lahan rentan bencana dan kerusakan.
Ketiga, penerapan standar ketat dalam pembukaan lahan. Setiap pembukaan lahan harus memenuhi standar konservasi/terasering pada lahan miring, agroforestry pada wilayah berisiko erosi, larangan membuka lahan di kemiringan besar 40 persen, konservasi vegetatif minimal 30 persen tiap DAS, dan tidak mengganggu kandungan organik pada tanah gambut.
Keempat, integrasi kesehatan tanah sebagai indikator pembangunan nasional. FAO menekankan bahwa kesehatan tanah adalah dasar ketahanan pangan global. Indonesia perlu indikator nasional yang memantau kandungan bahan organik tanah, kestabilan agregat, keragaman mikrobiologi tanah, kapasitas infiltrasi. Indikator ini perlu masuk dalam RPJMN dan kebijakan pangan nasional.
Kelima, larangan tegas pemukiman di bantaran sungai. Bantaran dan sempadan sungai adalah bagian dari sistem hidrologi tanah. Tidak hanya untuk mengalirkan air, tetapi juga untuk meresapkan air ke dalam lapisan tanah. Tanpa ruang sempadan yang cukup, sungai kehilangan kapasitas hidrologisnya.
Momentum hari tanah
Hari Tanah Sedunia yang diperingati setiap 5 Desember selalu mengingatkan bahwa tanah adalah sumber daya yang lambat pulih, bahkan tidak bisa pulih di sebagiannya.
FAO memperkirakan 40 persen tanah dunia mengalami degradasi sedang hingga berat, termasuk tanah di kawasan tropis yang sangat rentan terhadap kerusakan. Indonesia tidak bisa menunda lagi perbaikan tata kelola tanah.
Jika tidak ada langkah tegas, maka bencana hidrometeorologi akan semakin intens, produktivitas pertanian akan menurun, infrastruktur akan terus mengalami kegagalan, dan jutaan penduduk akan terdampak.
Terakhir, tanah adalah fondasi kehidupan. Negara yang ingin membangun masa depan harus terlebih dahulu menjaga pijakan ekologisnya.
Dalam momentum Hari Tanah Sedunia ini, semua diingatkan bahwa pembangunan tanpa memperhitungkan kemampuan tanah adalah pembangunan yang rapuh.
Sudah saatnya Indonesia menempatkan ilmu tanah sebagai dasar penataan ruang, pembangunan, dan mitigasi bencana. Tanah bukan hanya aset alam, tetapi penyangga kesinambungan kehidupan bangsa.
*) Husnain, PhD adalah Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saatnya menata ruang berdasarkan ilmu tanah
Saatnya menata ruang berdasarkan ilmu tanah
Pengendara sepeda motor melewati jalan bekas longsor yang telah dibersihkan di Kelok 44, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, Sabtu (6/12/2025). Akses jalan darat dari Agam menuju Bukittinggi via Kelok 44 dan sebaliknya yang sempat tertimbun longsor sejak Rabu (26/11) kini telah berangsur normal dan bisa dilalui maksimal kendaraan roda empat setelah pemerintah daerah setempat menurunkan alat berat. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/nym. (ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN)
