Palembang (ANTARA) - Ahli ekosistem lahan gambut dari Universitas Jambi Dr Ir Asmadi menegaskan bahwa kebakaran lahan gambut bukan hanya menciptakan bencana asap, tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem yang sangat serius, termasuk meningkatnya risiko banjir Bandang dan rusaknya sumber daya alam di wilayah terdampak.
Hal tersebut ia tuangkan dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli pada persidangan atas gugatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan PT Bintang Harapan Palma (BHP) bergulir di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu.
Saksi ahli ini dihadirkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diketahui sebagai penggugat, untuk memberikan keterangan mengenai dampak ekologis yang ditimbulkan oleh karhutla di wilayah konsesi perusahaan tersebut yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
"Lahan gambut yang terbakar habis akan kehilangan bahan organik penting. Selain menimbulkan asap pekat yang sangat mengganggu kesehatan, kondisi ini juga memperburuk kualitas lingkungan hidup dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Para petani di sekitar area terdampak tidak akan bisa bercocok tanam, karena tanahnya sudah tidak subur lagi," ujar Asmadi pada persidangan yang dipimpin ketua Majelis hakim Raden Zaenal Arif, SH, MH.
Ia juga menambahkan bahwa karakteristik topografi Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki banyak cekungan dan danau alami membuat wilayah ini sangat rentan terhadap genangan dan banjir jika lahan gambutnya rusak.
"Lahan gambut itu berfungsi seperti spons. Ketika ia terbakar dan rusak, maka kemampuannya menyerap dan menyimpan air pun hilang, sehingga memperbesar potensi banjir," tambahnya.
Dr. Asmadi merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, serta PP Nomor 57 Tahun 2016 sebagai dasar regulasi yang mengatur perlindungan terhadap lahan gambut.
Ia menegaskan bahwa PT BHP, seharusnya memahami risiko besar membuka atau mengelola lahan gambut tanpa pendekatan yang ramah lingkungan.
"Lahan gambut yang telah kehilangan bahan organiknya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk kembali pulih. Ini bukan kerusakan sesaat. Ini adalah kerusakan jangka panjang yang dampaknya bisa dirasakan lintas generasi," tegasnya.
Selain kerusakan ekologis, dampak karhutla juga dirasakan secara langsung oleh masyarakat di sekitar wilayah konsesi PT BHP.
Asap pekat yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut telah mencemari udara dan mengganggu kesehatan warga, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
"Sangat berbahaya, apalagi bagi anak-anak yang sistem pernapasannya masih berkembang. Asap ini bisa memicu gangguan pernapasan serius, bahkan dalam jangka panjang bisa menimbulkan penyakit kronis," ujar Asmadi.
Dalam gugatannya, KLHK menuntut PT BHP untuk membayar ganti rugi sebesar Rp677 miliar lebih yang terdiri atas tiga komponen utama: biaya verifikasi, kerugian ekologis, dan kerugian ekonomi.
Adapun rincian gugatan KLHK sebagai berikut:
1. Biaya Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup sebesar Rp137.285.323
2. Kerugian Ekologis dengan total Rp472.246.185.034,50 yang mencakup berbagai aspek seperti:
- Penyimpanan air: Rp409.679.778.000,00
- Pengaturan tata air: Rp192.840.840,00
- Pengendalian erosi: Rp7.874.334.300,00
- Pembentuk tanah: Rp321.401.400,00
- Pendaur ulang unsur hara: Rp29.633.209.080,00
- Pengurai limbah: Rp2.796.192.180,00
- Keanekaragaman hayati: Rp17.355.675.600,00
- Sumber daya genetik: Rp2.635.491.480,00
- Pelepasan karbon (carbon release): Rp1.301.675.670,00
- Penurunan karbon (carbon reduction): Rp455.586.484,50
3. Kerugian ekonomi akibat penurunan nilai guna lahan dan hilangnya potensi hasil produksi pascakebakaran sebesar Rp205.371.843.480,10 .
Tak hanya menuntut ganti rugi, KLHK juga meminta majelis hakim menghukum PT BHP untuk melakukan pemulihan lingkungan di area terdampak.
Pemulihan ini mencakup rehabilitasi ekosistem dan langkah teknis lainnya guna mengembalikan fungsi ekologis lahan bekas terbakar.
Sebagai informasi, PT Bintang Harapan Palma merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Wilayah konsesi mereka berada di atas lahan gambut yang sangat mudah terbakar, terutama saat musim kemarau.
Dalam beberapa tahun terakhir, PT BHP dinilai pemerintah lalai dalam menerapkan sistem pencegahan karhutla serta dugaan penggunaan metode pembukaan lahan yang tidak ramah lingkungan.
Persidangan kasus gugatan KLHK terhadap PT BHP ini masih akan berlanjut dengan agenda mendengarkan keterangan dari ahli lainnya.
