Jakarta (ANTARA) - Vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG), yang pertama kali digunakan pada tahun 1921, merupakan vaksinasi yang saat ini digunakan untuk pencegahan tuberkulosis (TB).
Meskipun efektif mencegah TB pada anak-anak dengan efikasi 60–80 persen, vaksin BCG tidak efektif melawan TB paru pada orang dewasa.
Karena itu, WHO merekomendasikan pengobatan obat untuk TB pada orang dewasa, dengan skema pengobatan enam bulan yang mencakup isoniazid dan rifampicin, ditambah dengan pyrazinamide dan ethambutol pada dua bulan pertama.
Namun, efek samping serius dari pengobatan ini, seperti hepatotoksisitas dan neuropati, sering menyebabkan pasien tidak patuh pada pengobatan, yang dapat mengakibatkan relaps infeksi dan pengembangan TB yang resisten obat.
Untuk mengatasi TB yang resisten obat, penelitian terus dilakukan untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pendek dan efektif.
Rifampicin, dengan potensi sterilisasi yang tinggi, terbukti menghilangkan bakteri yang persisten dan dosis tingginya dapat memperpendek durasi pengobatan.
Selain itu, WHO baru-baru ini memperkenalkan regimen pengobatan 6 bulan untuk pasien MDR/pre-XDR TB yang lebih tua dari 15 tahun, yang mencakup bedaquiline, pretomanid, linezolid, dan moxifloxacin.
Pendekatan baru dalam penyampaian obat, seperti terapi inhalasi, menawarkan keuntungan dosis yang lebih rendah, toksisitas yang berkurang, dan kepatuhan pasien yang lebih baik, dengan langsung menargetkan lokasi infeksi. Inovasi ini membuka harapan baru dalam memerangi TB, terutama TB yang resisten terhadap obat.
Mycobacterium tuberculosis, penyebab TB, memperlihatkan keefektifannya dalam menghindari respons imun bawaan dengan dosis infeksi yang sangat rendah, diperkirakan hanya sekitar tiga bakteri.
Sebelum ditelan oleh sel fagositik, bakteri TB berinteraksi dengan cairan lapisan alveolar, yang terdiri dari campuran kompleks lipid dan protein. Cairan ini memfasilitasi peningkatan penyerapan dan pembunuhan patogen oleh fagosit dan memiliki efek variatif terhadap interaksi dengan sel epitel alveolar.
Kekurangan surfaktan paru-paru, akibat penuaan atau merokok, meningkatkan replikasi TB dalam sel dan meningkatkan risiko pengembangan TB.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa antibodi IgM spesifik terhadap TB yang dihasilkan oleh vaksinasi dapat memberikan perlindungan, menandakan kemungkinan pengembangan vaksin yang mengganggu tahap awal infeksi dengan menghambat faktor virulensi atau mengubah interaksi makrofag secara fungsional.
Sel punca sebagai terapi TB
Dalam menghadapi tantangan global tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap obat-obatan dan pandemi coronavirus baru, disfungsi imun pada pasien TB dan kemunculan strain Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang resisten telah menjadi hambatan besar dalam pengendalian dan pencegahan TB.
Terapi yang ditujukan pada inang (HDT) muncul sebagai pendekatan baru, terutama dalam infeksi patogen kronis seperti TB, dengan tujuan untuk meningkatkan pengendalian infeksi dan meredakan inflamasi dengan mengatur respons imun inang, sehingga mengurangi kerusakan jaringan.
Sel punca mesenkimal (MSCs) telah menjadi pusat perhatian karena fungsinya yang kuat dalam mengatur imunitas dan kemampuan mereka untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak, menjadikannya kandidat ideal untuk penyakit kronis.
MSCs dapat mempengaruhi sistem imun tubuh melalui interaksi langsung antar-sel, produksi enzim, dan sitokin yang larut. Telah dilaporkan bahwa MSCs dapat meningkatkan fungsi sel T regulator (Tregs) dan sel Th2, menghambat pelepasan IFN-g oleh Th1, dan mengatur keseimbangan Th1/Th2 melalui sekresi PGE2.
MSCs dapat mengatur respons sel T dan mendorong polarisasi makrofag M1 ke M2 dengan mengekspresikan indoleamin 2,3-dioxygenase (IDO) dan mengaktifkan jalur sinyal CD39/CD73/adenosin. Efek MSCs ini juga terkait dengan kemampuan mereka untuk menghambat pematangan dan fungsi sel dendritik (DCs), serta mengaktivasi transformasi sel B menjadi sel B penghasil IL-10 (Breg), dengan IDO berperan dalam efek yang dimediasi oleh MSCs.
Selain itu, vesikel ekstraseluler (EVs) yang dikeluarkan oleh MSCs memiliki kemampuan imunomodulasi yang kuat. EVs dapat menurunkan respons Th1 in vitro, mengurangi jumlah sel Th17 dan sekresi IL-17, serta meningkatkan proporsi sel Treg.
EVs juga berpengaruh terhadap fungsi garis keturunan sel B dengan menghambat sekresi imunoglobulin. Dengan cara ini, MSCs dan EVs yang mereka keluarkan menawarkan janji sebagai terapi inovatif untuk TB, dengan potensi untuk meningkatkan pengendalian bakteri dan mengurangi kerusakan jaringan melalui modulasi luas pada berbagai sel sistem imun.
Strategi inovatif menaklukkan TB
Nanomedisin telah menunjukkan potensi besar dalam pengobatan tuberkulosis (TB), dengan kemampuan untuk meningkatkan ketersediaan hayati, menargetkan pengiriman obat ke lokasi infeksi, dan mengurangi durasi pengobatan.
Teknologi nanopartikel memungkinkan pengemasan obat anti-TB seperti rifampicin, isoniazid, dan pyrazinamide dalam matriks polimer, memfasilitasi pengiriman yang dikendalikan dan sistemik.
Studi telah menunjukkan bahwa administrasi nanomedisin secara subkutan atau oral pada model hewan meningkatkan penyerapan, distribusi, dan penghapusan bakteri dari organ yang terinfeksi tanpa toksisitas yang signifikan.
Nanopartikel juga berhasil digunakan dalam terapi inhalasi, mengantarkan obat langsung ke makrofag alveolar, lokasi utama tempat TB berada, dengan efikasi yang lebih tinggi dibandingkan rifampicin bebas.
Selain itu, penggunaan nanomedisin dan agen kimia seperti vitamin D, quercetin, dan asam ursolik dalam pengobatan TB menawarkan strategi baru untuk meningkatkan efikasi terapi dan mengurangi durasi pengobatan.
Nanopartikel yang dirancang untuk meningkatkan pengiriman obat dan penargetan situs infeksi menjanjikan peningkatan bioavailabilitas dan penurunan resistensi obat.
Agen kimia, di sisi lain, berpotensi meningkatkan respons imun tubuh terhadap Mtb dan mempercepat penurunan inflamasi, membuka jalan bagi pendekatan terapi adjuvan untuk meningkatkan hasil pengobatan TB.
Terobosan dalam imunoterapi, terapi sel, nanomedisin, dan penggunaan agen kimia menggarisbawahi pergeseran paradigma dalam perang melawan TB, menjanjikan strategi pengobatan yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan TB global.
Selain meningkatkan pengobatan TB, nanomedisin juga menawarkan solusi terhadap masalah resistensi obat melalui sifat antimikroba dari nanopartikel itu sendiri. Nanopartikel yang dimodifikasi dengan polimer seperti poly (dl-lactide-co-glycolide) (PLG) telah diuji untuk kemampuan mereka dalam merangsang respons antimikroba sel inang terhadap Mtb, menunjukkan peningkatan aktivitas antimikroba makrofag.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa nanopartikel yang dimanipulasi untuk menargetkan reseptor spesifik pada makrofag dapat meningkatkan aktivitas anti-TB, menawarkan strategi yang menjanjikan dalam mengembangkan intervensi terapeutik yang efektif terhadap TB yang resisten terhadap obat.
Dengan meningkatkan ketersediaan hayati, mengurangi dosis, dan memperpanjang pelepasan obat, nanomedisin membuka harapan baru untuk mengeliminasi kekambuhan dan munculnya resistensi obat.
Imunoterapi hingga terapi sel
Penelitian terkini menyoroti potensi besar imunoterapi dan terapi sel dalam mengatasi TB, terutama TB yang resisten terhadap obat. Terobosan ini melibatkan penggunaan zat imunoaktif, termasuk sitokin seperti interferon, interleukin, dan faktor nekrosis tumor, serta antibodi dan peptida aktif kecil, yang semuanya berperan dalam menguatkan respons imun tubuh terhadap infeksi.
Di sisi lain, terapi sel menggunakan mesenchymal stem cells (MSCs) dan sel-sel imun khusus seperti γδ (gamma-delta) T-cells dan cytokine-induced killer (CIK) cells menawarkan harapan baru dalam memperbaiki kerusakan jaringan dan mengoreksi ketidakseimbangan imun yang disebabkan oleh TB kronis.
Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi terapi sel dengan pengobatan standar dapat meningkatkan kesembuhan dan mengurangi keparahan infeksi. Betapapun majunya teknologi, sinergi-kolaborasi multi-lintasdisipliner adalah kunci pemberantasan TB. Mari bersatu membasmi TB!
*) Penulis adalah dokter pengampu Telemedicine di SMA Negeri 13 Semarang, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar, Kandidat Doktor di IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, Ketua Komisi Kesehatan Ditlitka PPI Dunia, penulis puluhan buku misalnya berjudul: "The Art of Televasculobiomedicine 5.0" dan “Stem Cells Made Easy”, reviewer puluhan jurnal nasional dan internasional, trainer bersertifikasi BNSP)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terobosan terkini terapi tuberkulosis
Meskipun efektif mencegah TB pada anak-anak dengan efikasi 60–80 persen, vaksin BCG tidak efektif melawan TB paru pada orang dewasa.
Karena itu, WHO merekomendasikan pengobatan obat untuk TB pada orang dewasa, dengan skema pengobatan enam bulan yang mencakup isoniazid dan rifampicin, ditambah dengan pyrazinamide dan ethambutol pada dua bulan pertama.
Namun, efek samping serius dari pengobatan ini, seperti hepatotoksisitas dan neuropati, sering menyebabkan pasien tidak patuh pada pengobatan, yang dapat mengakibatkan relaps infeksi dan pengembangan TB yang resisten obat.
Untuk mengatasi TB yang resisten obat, penelitian terus dilakukan untuk mencari regimen pengobatan yang lebih pendek dan efektif.
Rifampicin, dengan potensi sterilisasi yang tinggi, terbukti menghilangkan bakteri yang persisten dan dosis tingginya dapat memperpendek durasi pengobatan.
Selain itu, WHO baru-baru ini memperkenalkan regimen pengobatan 6 bulan untuk pasien MDR/pre-XDR TB yang lebih tua dari 15 tahun, yang mencakup bedaquiline, pretomanid, linezolid, dan moxifloxacin.
Pendekatan baru dalam penyampaian obat, seperti terapi inhalasi, menawarkan keuntungan dosis yang lebih rendah, toksisitas yang berkurang, dan kepatuhan pasien yang lebih baik, dengan langsung menargetkan lokasi infeksi. Inovasi ini membuka harapan baru dalam memerangi TB, terutama TB yang resisten terhadap obat.
Mycobacterium tuberculosis, penyebab TB, memperlihatkan keefektifannya dalam menghindari respons imun bawaan dengan dosis infeksi yang sangat rendah, diperkirakan hanya sekitar tiga bakteri.
Sebelum ditelan oleh sel fagositik, bakteri TB berinteraksi dengan cairan lapisan alveolar, yang terdiri dari campuran kompleks lipid dan protein. Cairan ini memfasilitasi peningkatan penyerapan dan pembunuhan patogen oleh fagosit dan memiliki efek variatif terhadap interaksi dengan sel epitel alveolar.
Kekurangan surfaktan paru-paru, akibat penuaan atau merokok, meningkatkan replikasi TB dalam sel dan meningkatkan risiko pengembangan TB.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa antibodi IgM spesifik terhadap TB yang dihasilkan oleh vaksinasi dapat memberikan perlindungan, menandakan kemungkinan pengembangan vaksin yang mengganggu tahap awal infeksi dengan menghambat faktor virulensi atau mengubah interaksi makrofag secara fungsional.
Sel punca sebagai terapi TB
Dalam menghadapi tantangan global tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap obat-obatan dan pandemi coronavirus baru, disfungsi imun pada pasien TB dan kemunculan strain Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang resisten telah menjadi hambatan besar dalam pengendalian dan pencegahan TB.
Terapi yang ditujukan pada inang (HDT) muncul sebagai pendekatan baru, terutama dalam infeksi patogen kronis seperti TB, dengan tujuan untuk meningkatkan pengendalian infeksi dan meredakan inflamasi dengan mengatur respons imun inang, sehingga mengurangi kerusakan jaringan.
Sel punca mesenkimal (MSCs) telah menjadi pusat perhatian karena fungsinya yang kuat dalam mengatur imunitas dan kemampuan mereka untuk mengganti atau memperbaiki jaringan yang rusak, menjadikannya kandidat ideal untuk penyakit kronis.
MSCs dapat mempengaruhi sistem imun tubuh melalui interaksi langsung antar-sel, produksi enzim, dan sitokin yang larut. Telah dilaporkan bahwa MSCs dapat meningkatkan fungsi sel T regulator (Tregs) dan sel Th2, menghambat pelepasan IFN-g oleh Th1, dan mengatur keseimbangan Th1/Th2 melalui sekresi PGE2.
MSCs dapat mengatur respons sel T dan mendorong polarisasi makrofag M1 ke M2 dengan mengekspresikan indoleamin 2,3-dioxygenase (IDO) dan mengaktifkan jalur sinyal CD39/CD73/adenosin. Efek MSCs ini juga terkait dengan kemampuan mereka untuk menghambat pematangan dan fungsi sel dendritik (DCs), serta mengaktivasi transformasi sel B menjadi sel B penghasil IL-10 (Breg), dengan IDO berperan dalam efek yang dimediasi oleh MSCs.
Selain itu, vesikel ekstraseluler (EVs) yang dikeluarkan oleh MSCs memiliki kemampuan imunomodulasi yang kuat. EVs dapat menurunkan respons Th1 in vitro, mengurangi jumlah sel Th17 dan sekresi IL-17, serta meningkatkan proporsi sel Treg.
EVs juga berpengaruh terhadap fungsi garis keturunan sel B dengan menghambat sekresi imunoglobulin. Dengan cara ini, MSCs dan EVs yang mereka keluarkan menawarkan janji sebagai terapi inovatif untuk TB, dengan potensi untuk meningkatkan pengendalian bakteri dan mengurangi kerusakan jaringan melalui modulasi luas pada berbagai sel sistem imun.
Strategi inovatif menaklukkan TB
Nanomedisin telah menunjukkan potensi besar dalam pengobatan tuberkulosis (TB), dengan kemampuan untuk meningkatkan ketersediaan hayati, menargetkan pengiriman obat ke lokasi infeksi, dan mengurangi durasi pengobatan.
Teknologi nanopartikel memungkinkan pengemasan obat anti-TB seperti rifampicin, isoniazid, dan pyrazinamide dalam matriks polimer, memfasilitasi pengiriman yang dikendalikan dan sistemik.
Studi telah menunjukkan bahwa administrasi nanomedisin secara subkutan atau oral pada model hewan meningkatkan penyerapan, distribusi, dan penghapusan bakteri dari organ yang terinfeksi tanpa toksisitas yang signifikan.
Nanopartikel juga berhasil digunakan dalam terapi inhalasi, mengantarkan obat langsung ke makrofag alveolar, lokasi utama tempat TB berada, dengan efikasi yang lebih tinggi dibandingkan rifampicin bebas.
Selain itu, penggunaan nanomedisin dan agen kimia seperti vitamin D, quercetin, dan asam ursolik dalam pengobatan TB menawarkan strategi baru untuk meningkatkan efikasi terapi dan mengurangi durasi pengobatan.
Nanopartikel yang dirancang untuk meningkatkan pengiriman obat dan penargetan situs infeksi menjanjikan peningkatan bioavailabilitas dan penurunan resistensi obat.
Agen kimia, di sisi lain, berpotensi meningkatkan respons imun tubuh terhadap Mtb dan mempercepat penurunan inflamasi, membuka jalan bagi pendekatan terapi adjuvan untuk meningkatkan hasil pengobatan TB.
Terobosan dalam imunoterapi, terapi sel, nanomedisin, dan penggunaan agen kimia menggarisbawahi pergeseran paradigma dalam perang melawan TB, menjanjikan strategi pengobatan yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan TB global.
Selain meningkatkan pengobatan TB, nanomedisin juga menawarkan solusi terhadap masalah resistensi obat melalui sifat antimikroba dari nanopartikel itu sendiri. Nanopartikel yang dimodifikasi dengan polimer seperti poly (dl-lactide-co-glycolide) (PLG) telah diuji untuk kemampuan mereka dalam merangsang respons antimikroba sel inang terhadap Mtb, menunjukkan peningkatan aktivitas antimikroba makrofag.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa nanopartikel yang dimanipulasi untuk menargetkan reseptor spesifik pada makrofag dapat meningkatkan aktivitas anti-TB, menawarkan strategi yang menjanjikan dalam mengembangkan intervensi terapeutik yang efektif terhadap TB yang resisten terhadap obat.
Dengan meningkatkan ketersediaan hayati, mengurangi dosis, dan memperpanjang pelepasan obat, nanomedisin membuka harapan baru untuk mengeliminasi kekambuhan dan munculnya resistensi obat.
Imunoterapi hingga terapi sel
Penelitian terkini menyoroti potensi besar imunoterapi dan terapi sel dalam mengatasi TB, terutama TB yang resisten terhadap obat. Terobosan ini melibatkan penggunaan zat imunoaktif, termasuk sitokin seperti interferon, interleukin, dan faktor nekrosis tumor, serta antibodi dan peptida aktif kecil, yang semuanya berperan dalam menguatkan respons imun tubuh terhadap infeksi.
Di sisi lain, terapi sel menggunakan mesenchymal stem cells (MSCs) dan sel-sel imun khusus seperti γδ (gamma-delta) T-cells dan cytokine-induced killer (CIK) cells menawarkan harapan baru dalam memperbaiki kerusakan jaringan dan mengoreksi ketidakseimbangan imun yang disebabkan oleh TB kronis.
Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi terapi sel dengan pengobatan standar dapat meningkatkan kesembuhan dan mengurangi keparahan infeksi. Betapapun majunya teknologi, sinergi-kolaborasi multi-lintasdisipliner adalah kunci pemberantasan TB. Mari bersatu membasmi TB!
*) Penulis adalah dokter pengampu Telemedicine di SMA Negeri 13 Semarang, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar, Kandidat Doktor di IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, Ketua Komisi Kesehatan Ditlitka PPI Dunia, penulis puluhan buku misalnya berjudul: "The Art of Televasculobiomedicine 5.0" dan “Stem Cells Made Easy”, reviewer puluhan jurnal nasional dan internasional, trainer bersertifikasi BNSP)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terobosan terkini terapi tuberkulosis