Balikpapan (ANTARA) - Calon Presiden RI Ganjar Pranowo berharap pedagang kedelai dan pengrajin tahu tempe harus lebih banyak diperhatikan, karena Indonesia tengah menghadapi persoalan ketersediaan kedelai.
"Kedelai kita punya masalah yang serius karena memang produktivitas kita kurang," ujar Ganjar setelah mengunjungi Pasar Baru Klandasan Ilir, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa.
"Minimal kalau kita harus melakukan impor ya tidak terlalu banyak," sambungnya.
Dalam kunjungannya ke Pasar Baru, mantan Gubernur Jawa Tengah itu sempat berdialog dengan Jazuli, pedagang tempe asal Pekalongan, Jateng.
Ia meminta Ganjar bila terpilih sebagai presiden berani melakukan intervensi atas impor kedelai. Pasalnya, impor yang terlalu bebas terhadap kedelai dapat membuat harga melambung karena tidak ada ketentuan batas atas harga.
Untuk itu, Ganjar menegaskan bahwa Pemerintah dapat melakukan intervensi lebih agar mereka yang membuat tahu tempe bisa mendapatkan perhatian khusus.
Untuk diketahui, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang impor komoditas kedelai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 2,32 juta ton atau senilai 1,63 miliar dolar AS.
Rata-rata impor kedelai Indonesia per tahunya mencapai 2 juta—2,5 juta ton. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Andriko Noto Susanto mengakui petani enggan menanam bahan baku tempe ini karena beberapa faktor.
Salah satu penyebabnya adalah karena harganya tidak sekompetitif dengan komoditas pangan lainnya seperti padi, cabai, bawang merah hingga jagung.
“Yang jadi penyebab kedelai tidak berkembang di Indonesia adalah harganya yang tidak kompetitif dibandingkan kalau dia menanam jagung atau padi. Misalnya semua ditanam 1 hektare, itu harganya kalah jadi makanya petani sangat rasional dan lebih memilih menanam padi dan jagung,” ungkap Andriko di Jakarta, Rabu (22/11).
"Kedelai kita punya masalah yang serius karena memang produktivitas kita kurang," ujar Ganjar setelah mengunjungi Pasar Baru Klandasan Ilir, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa.
"Minimal kalau kita harus melakukan impor ya tidak terlalu banyak," sambungnya.
Dalam kunjungannya ke Pasar Baru, mantan Gubernur Jawa Tengah itu sempat berdialog dengan Jazuli, pedagang tempe asal Pekalongan, Jateng.
Ia meminta Ganjar bila terpilih sebagai presiden berani melakukan intervensi atas impor kedelai. Pasalnya, impor yang terlalu bebas terhadap kedelai dapat membuat harga melambung karena tidak ada ketentuan batas atas harga.
Untuk itu, Ganjar menegaskan bahwa Pemerintah dapat melakukan intervensi lebih agar mereka yang membuat tahu tempe bisa mendapatkan perhatian khusus.
Untuk diketahui, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang impor komoditas kedelai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 2,32 juta ton atau senilai 1,63 miliar dolar AS.
Rata-rata impor kedelai Indonesia per tahunya mencapai 2 juta—2,5 juta ton. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Andriko Noto Susanto mengakui petani enggan menanam bahan baku tempe ini karena beberapa faktor.
Salah satu penyebabnya adalah karena harganya tidak sekompetitif dengan komoditas pangan lainnya seperti padi, cabai, bawang merah hingga jagung.
“Yang jadi penyebab kedelai tidak berkembang di Indonesia adalah harganya yang tidak kompetitif dibandingkan kalau dia menanam jagung atau padi. Misalnya semua ditanam 1 hektare, itu harganya kalah jadi makanya petani sangat rasional dan lebih memilih menanam padi dan jagung,” ungkap Andriko di Jakarta, Rabu (22/11).