Jakarta (ANTARA) -
Ia juga memaparkan, meskipun di dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru tidak ada peran organisasi profesi disebutkan, baik di dalam proses pendidikan maupun pelayanan, tetapi ini menjadi sebuah perhatian yang berkaitan dengan kesejawatan yang ada dalam profesi dokter.
“Peran-peran yang kita lakukan dalam konteks (perundungan) itu yang tertuang di kode etik kedokteran, dan apa yang ada dalam sumpah dokter, sehingga proses-proses seperti yang sudah dilakukan adalah bagian dari kita sebagai tugas organisasi profesi untuk melindungi sejawatnya,” tuturnya.
Ia juga menekankan bahwa setiap institusi pendidikan dokter dan dokter spesialis harus memiliki saluran siaga (hotline) yang terakses langsung kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai pengelola pendidikan, Kementerian Kesehatan, juga pada dekan di setiap fakultas kedokteran.
Adib juga menegaskan, apabila ada dokter residen yang menjadi korban, maka IDI siap menempuh advokasi agar mereka bisa tetap melanjutkan pendidikan spesialis.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah meluncurkan dua akses pelaporan praktik perundungan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Akses pertama melalui nomor aduan 0812-9979-9777 atau melalui website https://perundungan.kemkes.go.id untuk memutus rantai perundungan terhadap dokter residen.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Moh. Adib Khumaidi menegaskan bahwa perundungan di kalangan dokter bukanlah tradisi yang patut untuk dilanggengkan.
“Permasalahan perundungan ini bukan tradisi, kalau di dalam tradisi profesi, tidak ada di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran yang membenarkan perundungan. Jika ada hal-hal yang berkaitan dengan perundungan, maka yang harus kita tindak adalah oknum-oknumnya,” kata Adib pada konferensi pers yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Sabtu.
Ia berpesan kepada masyarakat, baik itu dari pihak pemangku kepentingan, media, maupun umum, apabila ada pelaporan terkait perundungan maka bisa disampaikan ke IDI melalui saluran siaga atau hotline yang sudah disediakan, baik melalui IDI maupun Kementerian Kesehatan.
“Kami akan menindak dengan tegas, jika benar ada informasi yang dilaporkan teman sejawat kami terkait dengan perundungan, itu bisa terkait dengan kode etik dan pidana umum,” kata dia.
Ia menegaskan, apabila ada oknum yang melakukan perundungan, maka IDI sudah tidak memiliki kewajiban untuk melindungi, karena sudah berkaitan dengan pelanggaran etik dan permasalahan kriminal, sehingga yang melakukan akan ditindak dengan tegas.
Ia juga memaparkan, meskipun di dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru tidak ada peran organisasi profesi disebutkan, baik di dalam proses pendidikan maupun pelayanan, tetapi ini menjadi sebuah perhatian yang berkaitan dengan kesejawatan yang ada dalam profesi dokter.
“Peran-peran yang kita lakukan dalam konteks (perundungan) itu yang tertuang di kode etik kedokteran, dan apa yang ada dalam sumpah dokter, sehingga proses-proses seperti yang sudah dilakukan adalah bagian dari kita sebagai tugas organisasi profesi untuk melindungi sejawatnya,” tuturnya.
Ia juga menekankan bahwa setiap institusi pendidikan dokter dan dokter spesialis harus memiliki saluran siaga (hotline) yang terakses langsung kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai pengelola pendidikan, Kementerian Kesehatan, juga pada dekan di setiap fakultas kedokteran.
Adib juga menegaskan, apabila ada dokter residen yang menjadi korban, maka IDI siap menempuh advokasi agar mereka bisa tetap melanjutkan pendidikan spesialis.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah meluncurkan dua akses pelaporan praktik perundungan untuk memberikan perlindungan kepada korban.
Akses pertama melalui nomor aduan 0812-9979-9777 atau melalui website https://perundungan.kemkes.go.id untuk memutus rantai perundungan terhadap dokter residen.