Mataram (ANTARA) - Akademisi hukum pidana dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Taufan Abadi, Rabu, mengatakan korban begal yang membunuh pelaku begal tidak dapat dikenai hukuman pidana karena tindakannya masuk dalam kategori pembunuhan terpaksa.

Hal itu dikatakan Taufan menanggapi peristiwa pembunuhan dua pelaku begal di Lombok Tengah pada Minggu (10/4) dini hari oleh korban begal berinisial S (34), yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.

"Secara singkat, kasus pembunuhan terhadap dua pelaku begal oleh korban S mengarah pada alasan pemaaf, sehingga tidak dapat dikenakan pidana," kata Taufan dalam keterangan tertulis yang diterima di Mataram, Rabu.

Dengan alasan tersebut, lanjutnya, perbuatan S dapat dinyatakan bersalah, namun perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh S. Hal itu merujuk pada ketentuan hukum pidana Pasal 48 tentang Daya Paksa (overmacht) dan Pasal 49 KUHP tentang Pembelaan Terpaksa (noodweer).

Dalam Pasal 48 KUHP disebutkan barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana; kemudian Pasal 49 KUHP terdapat dua ayat yang mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (noodweer).

Pada ayat 1 disebutkan barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Selanjutnya, pada ayat 2 disebutkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

"Pertanyaannya, dalam kasus S, mana yang dapat dikenakan? Daya paksa pada Pasal 48 atau pembelaan terpaksa pada Pasal 49? Untuk menjawab itu, maka tentu perlu merunut unsur daya paksa atau pembelaan terpaksa," jelasnya.

Namun dalam ketentuan Pasal 48 dan Pasal 49 KUHP, lanjutnya, tidak ada penjelasan atau uraian lebih lanjut tentang keadaan seperti apa; sehingga unsur daya paksa dapat diterapkan dalam fakta.

Untuk menjangkau pemaknaan Pasal 48 maupun Pasal 49, katanya, dapat meninjau aspek teoritis maupun penjelasan dalam Memorie Van Toelichting (penjelasan KUHP). Daya paksa (Pasal 48), dapat digariskan sebagai perbuatan yang dilakukan karena pengaruh atau tekanan dari luar, sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.

Sementara pembelaan terpaksa di Pasal 49 ayat 1 harus berupa pembelaan, yang terlebih dahulu harus ada hal memaksa sebelum perbuatan, seperti serangan atau ancaman serangan.

Sedangkan kondisi pada Pasal 49 ayat 2, apabila pembelaan terpaksa itu reaksinya keterlaluan, tidak seimbang lagi dengan sifat serangan, sehingga membuat dirinya tidak normal karena perasaan terguncang jiwanya.

"Terguncang jiwanya ini misalnya seperti rasa takut, bingung dan marah," tukasnya.

Dari pemaparan tersebut, Taufan melihat kasus itu dapat memenuhi kategori keduanya, baik daya paksa atau pembelaan terpaksa. Pertimbangannya, tambahnya, melihat kejadian pada malam hari dan peran begal yang dilakukan oleh orang berpengalaman dengan jumlah empat orang.

"Sehingga, apabila itu dapat dibuktikan dengan fakta lain, seperti pemaksaan fisik atau psikis, maka sudah sepatutnya korban S tidak dipidana," ucapnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa. Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karena faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan, sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.

Jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu, maka ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu serangan korban S menyebabkan kematian karena guncangan jiwa. Itu semua harus dibuktikan oleh polisi dan dibantu ahli psikologis, menurutnya.

"Tetapi menurut saya hal ini sulit karena faktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang," katanya.

Namun, jika ada fakta senjata yang digunakan adalah senjata korban S sendiri, maka pelaku begal tidak menimbulkan bahaya langsung. Selain itu, ada peluang atau cara lain untuk melarikan diri menghindari bahaya, sehingga hal itu dapat dipertimbangkan dalam penerapan pidana dengan memberikan pengurangan.

"Jadi dalam hal ini polisi harus betul-betul cermat dan teliti dalam menelusuri fakta. Mereka tidak punya kewenangan untuk memutuskan masuk dalam kategori overmachtnoodweer, atau tidak; melainkan keputusan itu nantinya ada di tangan hakim pengadilan," ujarnya.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024