Jakarta (ANTARA) - Dewan Pengawas KPK menyebut tidak akan menganulir surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap pemegang saham dan pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
"Hasil evaluasi kami nanti tidak akan menganulir SP3 itu," kata Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Pada tanggal 31 Maret 2021, KPK mengeluarkan SP3 pertama sejak lembaga penegak hukum itu berdiri untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun.
"Di dalam ketentuan memang pimpinan akan buat laporan ke Dewas KPK itu satu minggu setelah diterbitkannya SP3, kemarin sore memang baru kami terima," tambah Tumpak.
Alasan penerbitan SP3 tersebut, menurut pimpinan KPK, adalah untuk memberikan kepastian hukum.
"Saya belum bisa memberikan tanggapan tentang SP3. Kami akan pelajari terlebih dahulu," kata Tumpak.
Kepastian hukum tersebut, menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, perlu setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) KPK terhadap putusan kasasi mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung pada tanggal 16 Juli 2020.
PK itu diajukan KPK karena pada tanggal 9 Juli 2019 setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Padahal, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 24 September 2018 telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan, pada tanggal 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar.
"Kami bukan pihak yang turut dalam memutuskan SP3 itu, bukan. Kami hanya menerima laporan dari pimpinan KPK karena baru kemarin kami terima sore belum ada waktu juga kami pelajarinya," kata Tumpak.
Penghentian penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.
Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK paling lambat 1 minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.
Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
"Hasil evaluasi kami nanti tidak akan menganulir SP3 itu," kata Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Pada tanggal 31 Maret 2021, KPK mengeluarkan SP3 pertama sejak lembaga penegak hukum itu berdiri untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun.
"Di dalam ketentuan memang pimpinan akan buat laporan ke Dewas KPK itu satu minggu setelah diterbitkannya SP3, kemarin sore memang baru kami terima," tambah Tumpak.
Alasan penerbitan SP3 tersebut, menurut pimpinan KPK, adalah untuk memberikan kepastian hukum.
"Saya belum bisa memberikan tanggapan tentang SP3. Kami akan pelajari terlebih dahulu," kata Tumpak.
Kepastian hukum tersebut, menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, perlu setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) KPK terhadap putusan kasasi mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung pada tanggal 16 Juli 2020.
PK itu diajukan KPK karena pada tanggal 9 Juli 2019 setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Padahal, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 24 September 2018 telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan, pada tanggal 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar.
"Kami bukan pihak yang turut dalam memutuskan SP3 itu, bukan. Kami hanya menerima laporan dari pimpinan KPK karena baru kemarin kami terima sore belum ada waktu juga kami pelajarinya," kata Tumpak.
Penghentian penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun.
Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK paling lambat 1 minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.
Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.