Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu dunia menyambut lbaik "gencatan senjata" Amerika Serikat dan China yang meredam tensi perang dagang, tapi pada awal 2020 perekonomian global termasuk Indonesia kembali dihadapkan dengan tantangan lain yakni merebaknya virus Corona.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengumumkan darurat global virus Corona.

WHO melaporkan per 21 Februari 2020, jumlah kasus virus Corona atau COVID-19 itu secara global mencapai 76.769 kasus, 1.021 di antaranya merupakan kasus baru.

Dari jumlah itu, 75.569 kasus di antaranya ada di China yang merenggut nyawa 2.239 orang.

Virus yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada 31 Desember 2019 itu kini juga sudah menyebar di 26 negara dengan 1.200 kasus dan delapan orang meninggal dunia.

Masifnya penyebaran virus Corona ke sejumlah negara menyita perhatian lembaga keuangan dunia, salah satunya Dana Moneter Internasional (IMF).

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva ketika berbicara dalam forum Center for Global Development di Washington DC, AS, Kamis (30/01), menyebutkan dampak virus Corona diprediksi akan mempengaruhi triwulan pertama, khususnya perekonomian di China.

Apabila mencermati penyakit saluran pernafasan akut (SARS) yang terjadi pada periode 2002-2003, ekonom Bulgaria itu menyebut kasus saat ini diprediksi memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Meski begitu, Kristalina menyakini pertumbuhan ekonomi akan kembali seimbang.

Meski tidak menyebut secara spesifik terkait pengaruh virus Corona, IMF pada 20 Januari 2020 kembali mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global.

Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diproyeksi sebesar 3,3 persen.

Sementara itu, untuk 2019 dan 2021 masing-masing sebesar 2,9 persen dan 3,4 persen.

Jika dibandingkan dengan proyeksi yang dilakukan IMF pada Oktober 2019, angka proyeksi tersebut lebih rendah 0,1 persen untuk 2020 dan 0,2 persen lebih rendah untuk 2021.

Ekonomi Indonesia

Meski hingga saat ini belum ditemukan kasus virus mematikan itu di Tanah Air, namun dari sisi ekonomi, virus Corona menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.

Untuk itu, ekonom senior Chatib Basri mendorong pemerintah melakukan upaya penguatan dan mitigasi dari dalam negeri menghadapi dampak eksternal itu.

Ada pun sektor-sektor yang terganggu, lanjut dia, di antaranya perdagangan terkait ekspor dan impor serta pariwisata.

Menteri Keuangan RI 2013-2014 itu mengatakan apabila ketahanan ekonomi domestik Indonesia bisa dijaga, maka ekonomi RI diharapkan tetap bertumbuh atau setidaknya, tidak merosot.

Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu melakukan kalkulasi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI menyikapi dampak virus Corona.

Kalkulasi itu mencermati pola yang sama dari wabah penyakit SARS yang sempat melemahkan ekonomi China, negara yang menjadi salah satu mitra dagang utama RI.

Ia mengungkapkan pada kuartal pertama 2003 ketika SARS terjadi di China, pertumbuhan ekonomi negara itu turun dua persen dari 11 persen menjadi 9 persen.

Pertumbuhan ekonomi kembali naik pada kuartal kedua menjadi 10 persen dan kuartal selanjutnya tumbuh stabil.

Apabila dirata-rata, kata dia, selama satu tahun ketika terjadi SARS, pertumbuhan ekonomi China turun satu persen.

Ia menghitung setiap satu persen pertumbuhan ekonomi China diperkirakan berkontribusi kisaran 0,1-0,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam satu tahun.

Chatib memproyeksi jika pertumbuhan ekonomi China turun satu persen, bisa jadi pertumbuhan ekonomi RI berada pada kisaran 4,7-4,9 persen, katanya saat hadir dalam seminar publik terkait kartu pra kerja di Jakarta, Selasa (18/2).

Diversifikasi pasar selain China memang perlu dilakukan. Namun, Chatib Basri mengatakan diversifikasi itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena memerlukan sarana dan prasarana penunjang investasi.

Upaya yang perlu dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan mitigasi.

Sementara itu, langkah IMF yang merevisi pertumbuhan ekonomi dunia, juga dilakukan Bank Indonesia (BI).

Namun hasil revisi BI itu, angkanya masih lebih tinggi dibandingkan kalkulasi Chatib Basri.

BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun 2020 menjadi kisaran 5,0-5,4 persen dari sebelumnya 5,1-5,5 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan revisi perkiraan itu karena adanya penyebaran virus Corona yang dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Dalam menghadapi kondisi ini, Perry memastikan bank sentral itu akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait guna memperkuat sumber, struktur dan kecepatan pertumbuhan ekonomi.

Akselerasi belanja

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ketika memaparkan kinerja APBN Januari 2020 di Jakarta, Rabu (19/2) menyebutkan pemerintah melakukan kebijakan stimulus belanja untuk menjaga perekonomian tetap pada arahnya dan momentum pertumbuhan ekonomi nasional juga terjaga.

Stimulus yang dilakukan melalui percepatan belanja yang mendorong padat karya dan stimulus belanja.

Percepatan belanja yang mendorong padat karya di antaranya dilakukan melalui percepatan pencairan belanja modal dan bantuan sosial.

Sementara itu, untuk stimulus belanja di antaranya dilakukan melalui kartu sembako yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dan kartu pra kerja yang ditujukan bagi pencari kerja.

Menkeu menambahkan untuk program kartu pra kerja, pemerintah menganggarkan Rp10 triliun yang menyasar sekitar dua juta pencari kerja.

Dengan adanya pelatihan dalam program tersebut maka diharapkan pencari kerja terserap dunia usaha dengan dibekali keahlian dan keterampilan yang pada akhirnya dapat mendorong daya beli masyarakat.

Untuk belanja bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana desa, pemerintah mulai tahun ini juga mempercepat transfer yang langsung menuju rekening sekolah dan rekening desa.

Menkeu lebih lanjut memaparkan per Januari 2020, realisasi belanja negara telah mencapai Rp139,83 triliun atau sekitar 5,5 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.

Realisasi itu terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp71,44 triliun dan realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp68,39 triliun.

Kemudian realisasi belanja modal mencapai Rp1,86 triliun, penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) telah menjangkau 9,02 juta rumah tangga sasaran dengan dana yang disalurkan Rp7,06 triliun.

Program Kartu Sembako juga telah disalurkan kepada 15,05 juta rumah tangga dengan dana yang tersalurkan sebesar Rp1,80 triliun.

Selain itu, program Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang telah disalurkan kepada 2.382 mahasiswa dan 66.952 siswa dengan alokasi dana sebesar Rp100,3 miliar.

Di bidang kesehatan, penyaluran Penerima Bantuan Iuran-Jaminan Kesehatan Nasional (PBI-JKN) yang menjangkau 96,0 juta jiwa dengan dana yang disalurkan Rp4,03 triliun.

Selanjutnya untuk bidang infrastrukur, hingga Januari 2020 sudah terbangun 14,54 km jalan dengan alokasi dana sebesar Rp22,8 miliar dan pembangunan jembatan sepanjang 9,3 meter.

Selain itu terdapat realisasi dana pembangunan bendungan yang sudah mencapai Rp1,27 triliun hingga akhir Januari 2020.

Stimulus perekonomian melalui belanja produktif itu diharapkan memberikan dampak berganda lebih besar kepada masyarakat.

Insentif pariwisata

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menambahkan pemerintah juga akan memberikan insentif sektor pariwisata yang perhitungannya segera difinalkan.

Insentif itu, kata dia, dalam bentuk diskon kepada para penumpang di dalam rangka mencapai tujuan wisata dan insentif untuk agen perjalanan wisata mancanegara yang bisa membawa wisatawan ke Indonesia.

Adanya insentif itu tentunya diharapkan membawa angin segar bagi pelaku industri pariwisata.

Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Elly Hutabarat mengaku pelaku industri tetap optimistis meski virus Corona merebak.

Buktinya, pelaku industri khusus biro perjalanan wisata tetap melakukan penjualan paket wisata melalui ajang pameran yang diadakan di Jakarta, 21-23 Februari 2020.

Meski sempat dihantui keraguan akibat wabah virus Corona, namun Elly mengaku pelaku industri tetap jalan terus karena jika berhenti, maka roda perekonomian bisa saja terpuruk.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mendorong agar pola kebijakan belanja seharusnya lebih wajar dan merata di setiap periode dari awal hingga akhir tahun.

Dengan begitu, penumpukan realisasi belanja pemerintah yang terjadi akhir tahun bisa dihindari.

Belanja modal dan bantuan sosial diberdayakan dan menjadi prioritas yang diharapkan menjadi bantalan untuk keberlanjutan pembangunan dan antisipasi pelemahan daya beli masyarakat.

Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah bukan hanya seberapa cepat belanja negara dikeluarkan, akan tetapi seberapa efektif dan seberapa besar dampak belanja yang timbul terhadap pembangunan atau pertumbuhan ekonomi Indonesia.



 

Pewarta : Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024