Menyambut kembalinya kepingan memori Indonesia dari Belanda

id Java Man,Artefak Indonesia,Repatriasi,Belanda

Menyambut kembalinya kepingan memori Indonesia dari Belanda

Pajangan berupa figurin dari era Kerajaan Majapahit di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023). ANTARA/Putu Indah Savitri

Jakarta (ANTARA) - Di balik dinding-dinding kokoh Museum Nasional Indonesia, tersimpan berbagai kisah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Bagai gravitasi, beragam pajangan berhasil menarik atensi.

Para pengunjung sesekali menghentikan langkah. Mereka meluangkan waktu barang sejenak untuk memahami deskripsi yang tercetak di atas plakat hitam masing-masing pajangan.

Sayangnya, kisah-kisah yang telah rampung ini masih rumpang.

Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Museum dan Cagar Budaya Ahmad Mahendra mengatakan bahwa warisan sejarah, seperti arca, prasasti, kitab-kitab, bahkan lukisan merupakan kepingan-kepingan memori Indonesia.

Benda bersejarah tersebut memegang peran penting untuk menyambung kisah dari masa ke masa.

Kisah yang ia maksud tidak sekadar riwayat hidup seorang tokoh, tetapi mencakup perkembangan karya seni, peradaban, hingga perilaku masyarakat. Oleh karena itu, 472 koleksi benda bersejarah Indonesia yang berhasil dipulangkan dari Belanda akan menjadi pelengkap dari kisah yang masih rumpang.


Pameran repatriasi

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Museum dan Cagar Budaya akan memajang 472 koleksi benda bersejarah yang berhasil dipulangkan dari Belanda.

Mahendra memperkirakan 472 koleksi tersebut akan tiba di Indonesia pada akhir Agustus 2023.

Museum Nasional menjadi rumah baru bagi 472 koleksi tersebut, termasuk pusaka Lombok. Mahendra menjelaskan pusaka Lombok akan disimpan di Museum Nasional guna menjamin keamanannya.

Terlebih, pusaka Lombok mencakup perhiasan berupa kalung, kotak perhiasan, hingga berlian. Benda bersejarah dengan wujud perhiasan rentan menjadi target kejahatan. Meskipun demikian, 472 pusaka tersebut akan dipamerkan di pameran repatriasi. Pameran repatriasi akan diselenggarakan pada November 2023. Pameran tersebut direncanakan berdurasi 1 bulan, bersamaan dengan peluncuran Museum dan Cagar Budaya.

Selain koleksi terbaru Museum Nasional, pameran repatriasi juga akan memamerkan keris Pangeran Diponegoro hingga arca Pradnyaparamita.

Kehadiran dua koleksi penting tersebut menunjukkan bahwa repatriasi telah berlangsung sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Ia merujuk pada kembalinya arca Pradnyaparamita dari Belanda ke Tanah Air pada Januari 1978.

Dalam rangka mempersiapkan peluncuran MCB dan memamerkan 472 koleksi terbaru, Mahendra memaparkan sejumlah persiapan yang telah dilakukan oleh pemerintah.

Salah satu persiapan tersebut adalah perubahan penataan koleksi di Museum Nasional. Mahendra ingin Museum Nasional menjadi museum yang mengisahkan perjalanan Indonesia sejak zaman migrasi Austronesia, Mongoloid, hingga mencapai masa kini. Terkait dengan perawatan koleksi, Mahendra juga akan memastikan teknis dan operasional di seluruh museum Indonesia mematuhi standar internasional. Bagi Mahendra, penting untuk memastikan tingkat keamanan hingga pengaturan suhu ruangan selaras dengan standar internasional.

Lebih lanjut, Museum dan Cagar Budaya akan memanfaatkan teknologi modern guna menarik minat generasi muda. Ia merujuk pada penggunaan hologram, immersive art, serta sarana interaktif lainnya yang dapat membuat pengunjung merasa terhanyut dalam atmosfer museum.

Melalui berbagai inovasi tersebut, ia berharap citra museum tak lagi terkesan kuno dan stagnan.

Bagi Mahendra, seluruh museum di Indonesia adalah rumah bagi kepingan memori bangsa ini.


Memaknai kembalinya kepingan memori

Sebanyak 472 pusaka yang semula terkurung di Negeri Tulip, tak lama lagi tiba di Tanah Air. Koleksi benda bersejarah tersebut merupakan visualisasi dari berbagai narasi yang tertuang di dalam buku-buku sejarah.

Bagi Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, hanya Indonesia yang bisa memaknai koleksi-koleksi tersebut. Di Belanda, berbagai cincin yang dijarah dari kerajaan-kerajaan di Indonesia hanya menjadi pajangan.

Tak ada ikatan psikologis maupun historis yang menggambarkan betapa berharganya cincin-cincin tersebut.

Padahal, lanjut Hilmar, bagi masyarakat Indonesia, cincin-cincin tersebut pernah melingkari jemari tokoh-tokoh ternama. Hal yang serupa juga terkandung pada peninggalan lainnya, seperti keris, gelang, kalung, bahkan karya sastra.

Hilmar mencontohkan pusaka Lombok. Pusaka tersebut diambil oleh Belanda melalui serangan ke Istana Cakranegara. Serangan tersebut menewaskan sekitar 2.000 orang, sebelum berujung pada pengambilan harta oleh Belanda.

Kembalinya pusaka Lombok melambangkan keberhasilan Indonesia merebut sejarah yang sempat dijarah.

“Meskipun ini tidak bisa menyelesaikan luka sejarah,” ujar Hilmar.

Di sisi ilmiah, Hilmar mengatakan bahwa kembalinya pusaka ini tidak mengubah kurikulum sejarah secara signifikan. Namun, pengembalian ini dapat memperkaya kajian para arkeolog.

Pusaka tersebut dapat menjadi sarana untuk mengembangkan penelitian mengenai teknologi masa lalu.

Sayangnya, terdapat sebuah masterpiece yang hingga saat ini tak kunjung pulang dari Belanda.

Sebuah mahakarya yang menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan situs temuan prasejarah.

Mahakarya yang menjadi penghubung evolusi antara manusia prasejarah dengan manusia modern. Mahakarya tersebut adalah Java Man.


“Manusia Jawa” yang tak kunjung pulang

Hilmar menjelaskan dalam kesepakatan antara Indonesia dengan Belanda, terdapat klausul yang menyatakan Belanda sepakat mengembalikan benda-benda yang diperoleh dengan cara-cara ilegal.

Adapun cara-cara ilegal tersebut meliputi perampasan, penjarahan, pengambilan tanpa izin, dan lain-lain.

Sedangkan, Java Man berasal dari penggalian arkeologis. Bagi Belanda, Java Man tidak diperoleh dengan cara ilegal. Hal ini yang mengakibatkan Java Man tak kunjung kembali ke Tanah Air.

Meskipun demikian, Hilmar menyampaikan bahwa Indonesia telah sukses memasukkan klausul lain.

Klausul tersebut menyatakan bahwa benda-benda yang dikembalikan oleh Belanda bukan hanya benda-benda yang diperoleh dengan cara-cara ilegal, melainkan benda-benda yang memiliki arti penting bagi Indonesia.

Java Man, kata dia, sangat penting karena menjadi penghubung evolusi antara manusia prasejarah dengan manusia modern.

Java Man bukan sekadar artefak. Java Man merupakan mahakarya, terlebih bagi Indonesia yang merupakan salah satu situs temuan prasejarah dunia.

Hilmar mengatakan Indonesia berhak untuk mengakses Java Man secara langsung tanpa harus bertolak melintasi benua.

Ia yakin Belanda akan menyetujui argumen tersebut dan mengembalikan Java Man ke Indonesia.

Perjalanan pemerintah masih panjang. Kisah ini pun masih rumpang.

Namun, sementara pemerintah berjuang untuk mengumpulkan tiap keping yang terpisah, adalah kewajiban masyarakat Indonesia untuk terus belajar dari sejarah.