Merawat dan memuliakan lahan gambut

id karhutla,kebakaran hutan dan lahan,karhutla sumsel,bpbd,gambut,lahan gambut,peneliti,icraf Oleh Dolly Rosana

Merawat dan memuliakan lahan gambut

Tim Manggala Agni memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Pulau Semembu, Indralaya Utara, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Senin (5/8/2019). (ANTARA FOTO/Ahmad Rizki Prabu/Adm/wpa)

Sejauh ini banyak lembaga pemerintah yang mengeluarkan data terkait gambut, namun diakui data tersebut tidak terkelola dengan baik
Palembang (ANTARA) - Tanah gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral karena setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180-600 mg karbon.

Jika dibandingkan dengan tanah mineral yang hanya mampu menyimpan 5-80 mg maka tak bisa ditampik betapa peran gambut dalam menjaga ekosistem lingkungan.

Bahkan di daerah tropis, karbon yang disimpan olah tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral.

Namun, kemampuan hebat gambut itu kini berada dalam ancaman di tengah isu perubahan iklim. Jika tak arif dalam memanfaatkan 22,2 juta hektare areal gambutnya, terkait fungsi lindung dan budidaya maka Indonesia akan menghadapi bencana lingkungan yang tak terkendali.

Sejumlah petani di Desa Simpang Heran, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, binaan perusahaan hutan tanam industri PT Bumi Andalas Permai membuka lahan tanpa membakar untuk mulai menerapkan sistem pertanian padi organik.

Ketua Kelompok Tani Wono Tirto, Sugeng Riyanto mengatakan dirinya tergugah menjalankan pertanian padi organik lantaran ingin mengembalikan kondisi lahan mengingat sudah terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Lahan milik Sugeng sudah tak subur sehingga ia berpikir perlu dipulihkan dengan melalukan pertanian organik.

“Ini sebenarnya belum benar-benar organik, baru semi organik, mungkin beberapa tahun ke depan memang benar-benar lepas dari zat kimia,” kata Sugeng.

Melalui pertanian organik yang dilakukannya di lahan 2 Hektare (Ha) miliknya sejak setahun terakhir, Sugeng dapat menekan penggunaan pupuk kimia.

Baca juga: Menyusun standarisasi penanganan karhutla

Ia pun mampu memproduksi sekitar 4 ton Gabah Kering Giling per Hektare, seperti halnya pertanian konvensional di daerahnya.

Lantaran dapat menekan biaya produksi, sejumlah petani di daerahnya pun mulai tertarik mengikuti jejaknya walau awalnya enggan karena tak mau ribet.

Saat ini setidaknya ada 10 petani di kampungnya yang mulai tertarik menerapkan sistem pertanian organik.

Demi semakin menekan biaya, Sugeng menginisiasi membuat pupuk kompos bersama sehingga dapat memastikan ketersediaan pupuk organik. “Saat ini bisa dikatakan tidak ada lagi petani yang buka lahan dengan cara membakar di tempat kami. Setelah pakai semprotan herbisida, kami menggunakan handtractor untuk buka lahan,” kata dia.

Rencana perlindungan

Provinsi Sumatera Selatan saat ini tengah menyusun dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) dengan melibatkan multipihak untuk mengelola 1,4 juta hektare lahan gambut di daerah tersebut.

Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Regina Ariyanti mengatakan pemprov sudah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk menyusun dokumen ini dengan payung hukum berupa SK Gubernur Sumsel.

Untuk membuat perencanaan dalam mengelola lahan gambut ini dibutuhkan data yang menyeluruh.

Sejauh ini banyak lembaga pemerintah yang mengeluarkan data terkait gambut, namun diakui data tersebut tidak terkelola dengan baik termasuk di lingkup pemerintahan.

Karena itu, data-data yang sudah dibuat sedemikian rupa tidak dapat bermuara pada implementasi di lapangan.

Padahal, ia tak menyangkal, seperti lembaga sosial kemasyarakatan World Agroforestry (Icraf) yang sudah 10 tahun di Sumsel, sudah banyak menyimpan data terkait gambut.

Begitu juga dengan Bappeda yang mempunyai data geofasial, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki data gambut, baik gambut dengan fungsi sebagai hutan lindung dan sebagai areal budidaya.

Untuk itu, dalam penyusunan RPPEG ini dibutuhkan kreativitas para multi pihak sehingga dokumen ini benar-benar dapat diimplementasikan di kawasan gambut.

Baca juga: Kabupaten Banyuasin gali isu strategis pengelolaan gambut
Terpenting, bagaimana RPPEG ini dapat masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

RPPEG ini juga menjadi penting karena pada tahun ini, Sumsel akan merevisi dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

Oleh karena itu penyusunan RPPEG pada 2022 ini dinilai sangat tepat karena Sumsel pada 2023 akan dirampungkan RPJMD dan pada 2024 akan dirampungkan RPJMN.

Terkait dokumen RPPEG ini untuk tingkat provinsi sudah menuntaskan bab I hingga bab III yang berisikan pendahuluan, isu strategis, dan pengelolaan ekosistem gambut atau sekitar 70 persen dari pekerjaan.

Sementara yang baru memulai yakni penyusunan RPPEG tingkat kabupaten, yang mana dua kabupaten terpilih yakni Banyuasin dan Ogan Komering Ilir karena memiliki areal gambut terluas.
Petugas menunjukkan produk hiasan kepala tanjak yang terbuat dari daun purun milik Pokmas Tani Mawar Desa Menang Raya Kabupaten Ogan Komering Ilir pada Pameran Hasil Kegiatan Restorasi Gambut Sumsel, di Palembang Indah Mall, Sumsel, Sabtu (27/11/2021). (ANTARA FOTO/Feny Selly/hp)




Penyusunan RPPEG ini merupakan mandat dari pemerintah pusat melalui Kepmen LHK No 246 tahun 2022 tentang RPPEG Nasional 2020-2049, yang mana pemerintah kabupaten diminta membuat hal serupa paling lambat pada 2023.

“Selama ini daerah tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan gambut, dengan adanya RPPEG ini diharapkan dapat menjadi kekuatan sendiri bagi kami di daerah,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten OKI Aris Panani.

RPPEG ini nantinya dapat dijadikan rujukan Pemkab OKI untuk membuat peraturan daerah (perda), seperti yang akan dilakukan di tingkat provinsi.

Saat ini proses penyusunan RRPEG Kabupaten OKI sedang memasuki fase kedua yakni menggali isu strategis terkait gambut.

Begitu pula dengan Kabupaten OKI yang dipilih karena memiliki area gambut terluas (1,03 juta Hektare atau 49,3 persen dari total areal di Sumsel) dan KHG terbesar (8 KHG).

Dalam penyusunan RPPEG ini pemerintah melibatkan lembaga sosial kemasyarakatan Icraf, Forum Daerah Aliran Sungai, Gapki, perusahaan dan akademisi.

Peneliti Icraf Arga Panduwijaya mengatakan proses penyusunan dokumen RPPEG di tingkat provinsi telah mendekati finalisasi, sementara untuk Kabupaten OKI dan Banyuasin baru mencapai 30 persen yang ditargetkan selesai pada 2023.

Icraf dalam hal ini berperan dalam mengawal agar RPPEG yang dihasilkan benar-benar dapat diimplementasikan untuk jangka panjang. Seperti kali ini, kami menggali isu sosial, ekonomi dan lingkungan terkait gambut, kata dia.

Baca juga: Kabupaten OKI susun rencana perlindungan gambut
Arga Pandiwijaya, Peneliti Geoinformatik Icraf Indonesia menambahkan penggalian isu strategis perlu mengedepankan kondisi di Banyuasin yang dirasa penting, mendasar dan mendesak, baik dalam jangka menengah hingga panjang.

Banyuasin menggunakan kerangka kerja DPSIR untuk dapat merumuskan isu strategis. Langkah penyusunan selanjutnya adalah konsultasi publik, untuk dapat menyelenggarakan dialog multipihak, mendapatkan masukan serta saran dari berbagai pemangku kepentingan agar isu strategis tersusun secara komprehensif.

Banyuasin sebagai salah satu kabupaten yang memiliki lahan gambut terluas di Sumatera Selatan (dengan luasan 0,563 juta hektare atau 26,92 persen) sepatutnya memiliki RPPEG untuk mendorong pemanfaatan gambut yang lebih baik, mencegah terjadinya kerusakan dan menjamin kelestarian fungsi ekosistem gambut.

Karhutla

Hasil penelitian yang dilakukan salah seorang periset di Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan mengungkapkan nilai kerugian kebakaran lahan gambut mencapai Rp269 juta per hektare.

Kepala Bidang Perlindungan Konservasi SDM Ekosistem Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Safrul Yunardy mengatakan penelitian yang dilakukannya itu juga menunjukkan bahwa masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan hingga mencapai 59 persen, kemudian perusahaan 27 persen dan pemerintah 14 persen.

Ia mengatakan tak hanya kerugian dari sisi nominal, karhutla di areal gambut juga menyebabkan kerusakan lingkungan terutama dengan berkurangnya cadangan karbon di dalam tanah.

Ini karena lahan gambut itu 99,94 persen berada di bawah permukaan tanah dan hanya 0,06 persen di atas permukaan tanah. Dalam 13 jam, berdasarkan hasil risetnya didapati sebanyak 1.500 hektare terbakar padahal awalnya hanya ada empat hotspot.

Atas dasar perhitungan ini maka sejatinya, karhutla itu tak boleh terjadi karena kerugian yang diderita demikian luar biasa, baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Baca juga: Sherpa G20 perluas pembahasan isu degradasi lahan mencakup bakau dan gambut
Bahkan, ia menyatakan bahwa keberhasilan dalam mencegah karhutla itu sama hal dengan keberhasilan dalam mencegah masyarakat untuk menjadi miskin.

Oleh karena itu, persoalan karhutla ini tak bisa dipandang sebelah mata dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak, apalagi Sumsel memiliki sekitar 1 juta hektare areal gambut.

Hal ini menjadi tantangan sendiri terutama di daerah yang ‘langganan’ mengalami karhutla setiap tahunnya.

“Mengapa ini selalu terjadi berulang, ya karena gambut itu sejatinya tidak boleh kering. Harus basah terus,” ujar dia.

Air di dalam kawasan gambut jika dibiarkan saja maka dalam waktu tujuh hari akan kembali ke sungai, namun dengan dibuatkan sistem kanalisasi maka membuat air tertahan di lokasi yang dikehendaki.

Kami mengamati sendiri pada sebuah lokasi terbakar pada 2019. Karena tidak dilakukan pembasahan pasca terbakar, terjadi kebakaran lagi di tempat yang sama, kata dia.

Hingga kini Sumsel masih belum lepas dari intaian kebakaran hutan dan lahan setelah sempat mengalami kejadian hebat pada 2015 yang menghanguskan setidaknya 700 ribu hektare.

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan mencatat hingga kini ada 67 persen wilayah itu masih masuk kategori kerawanan tinggi karhutla dari total luas daerah tersebut yang mencapai 91 ribu kilometer persegi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Selatan mencatat lahan seluas 472,07 hektare hangus terbakar sejak Januari-Mei 2022 di Sumatera Selatan.

Lahan yang terbakar tersebut lebih luas daripada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2021 lalu. Artinya, upaya merawat dan memuliakan gambut ini Indonesia berpacu dengan bencana karhutla, tinggal lagi siapa yang tertinggal.
Baca juga: Sumsel hadapi tantangan perubahan iklim
Baca juga: Penelitian: Nilai kerugian kebakaran gambut Rp269 juta per hektare



 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merawat dan memuliakan gambut