Kapten Pnb Chandra Ariwibowo, pemburu awan dari Skuadron 4

id karhutla,kebakaran hutan dan lahan,tmc,tmc sumsel,hujan,hujan buatan,tni au,pilot tni au,skadron 4,karhutla sumsel,lanud

Kapten Pnb Chandra Ariwibowo, pemburu awan dari Skuadron 4

Kapten Penerbang Chandra Ariwibowo memberikan intruksi ke co-pilot menjelang terbang untuk menjalankan program Teknologi Modifikasi Cuaca di Posko TMC Sumatera Selatan-Jambi, Pangkalan TNI AU Sri Mulyono Herlambang, di Palembang, Jumat (25/6). ANTARA/Dolly Rosana

Menjadi kebahagian tersendiri bagi saya, apalagi saat tiba di landasan ada hujan. Apa yang saya lakukan ternyata berguna bagi bangsa ini
Palembang (ANTARA) - Banyak faktor yang menentukan sukses atau tidaknya pelaksanaan penerapan teknologi modifikasi cuaca, yang bertujuan meningkatkan curah hujan di daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.

Bukan hanya sarana dan prasarananya tapi juga tak kalah penting sumber daya manusianya yang mampu menguasai teknologi dengan medan kerja di angkasa dengan wahana pesawat terbang. 

Oleh karena itu, kehadiran personel TNI AU dalam program TMC ini menjadi sangat penting karena mereka yang menjadi eksekutor untuk kegiatan penyemaian garam di awan.

Salah satu dari sekian banyak pengawak yang bergiat terkait teknologi modifikai cuaca ini adalah Kapten Penerbang Chandra Ariwibowo. Ia tak menyangkal bahwa hingga kini andrenalinnya tetap bergejolak setiap kali menerbangkan pesawat udara untuk melakukan TMC walau sudah mengikuti program ini sejak 2015.

“Ya namanya terbang ke udara pasti ada takut ini manusiawi sekali, apalagi ini sengaja menabrak awan,” kata dia, yang dijumpai di Pos Komando TMC Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, Pangkalan TNI AU Sri Mulyono Herlambang, Palembang, Jumat.

Pilot TNI AU kelahiran Sukoharjo, 6 Desember 1989 ini harus terbang di ketinggian 10.000 kaki dari permukaan laut karena umumnya awan yang berpotensi hujan berada di sana.

Baca juga: BPPT nilai pelaksanaan teknologi modifikasi cuaca di Sumsel berhasil

Berpegang pada informasi dari alat radar di pesawatnya, dia dapat mengetahui awan yang layak disemai atau tidak. Ada awan yang baru tumbuh, ada awan yang sudah tumbuh (aktif) dan ada awan yang sama sekali tidak berpotensi hujan.

Analisa dari ilmuwan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang turut terbang bersama dia juga menjadi referensi untuk memilih awan yang tepat untuk disemai. Harapannya, tak lain agar setelah disemai bisa terjadi hujan sehingga curah hujan akan meningkat di wilayah tersebut.

“Yang jelas, jika awan sudah penuh, ya jangan ditabrak. Itu isinya sudah air semua, tapi yang bagus itu awan yang sedang mau tumbuh,” kata perwira pertama TNI AU lulusan Akademi Angkatan Udara pada 2012 ini.

Setiap terbang, diaa menggunakan pesawat CASA NC-212i-400 Aviocar dengan membawa 800 kg garam serta didampingi lima pengawak, yakni seorang co-pilot, tiga teknisi dan seorang ilmuwan dari BPPT.

 
Prajurit TNI AU memasukkan garam ke pesawat yang akan melakukan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Pangkalan TNI AU SMH Palembang, Kamis (10/6). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)



Pesawat angkut ringan ini merupakan salah satu pesawat angkut TNI AU yang dapat dikerahkan untuk misi operasi militer perang dan operasi militer selain perang. Dengan ukuran yang "kompak", pesawat terbang buatan PT Dirgantara Indonesia itu dapat secara mudah dan efisien melaksanakan misi menyebar garam-garam pembentuk awan hujan di udara. 

Pesawat NC-212i-400 Skuadron Udara 4 itu didatangkan dari Pangkalan TNI AU Abdulrachman Saleh.

Menjalankan program TMC ini tentu menawarkan tantangan tersendiri bagi dia, karena dia menjadi pemburu awan, padahal jika menerbangkan pesawat komersil justru sebaliknya.

Selama memburu awan itu, setidaknya Ariwibowo dan tim berputar-putar di udara selama tiga jam karena wilayah jangkauan yakni dua provinsi sekaligus Sumsel dan Jambi.

Saat berada di udara, ayah dari dua anak ini hanya disuguhi pemandangan langit biru dengan awan putih dan menyilaukan. Jika tidak ada alat radar di pesawatnya maka mustahil baginya dapat mengetahui titik-titik awan yang aktif.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, metode penyemaian garam di awan pun turut berubah. Sebelumnya, penyemaian dilakukan di dalam awan yang berpotensi hujan, kesannya seperti menabrak awan. Kali ini ketika ada awan akan langsung didekati kemudian penyemaian garam akan mengikuti arah angin sehingga diharapkan garam menjadi lebih merata.

Walau demikian, semua tetap tidak mudah, seperti yang terjadi pada program TMC di Sumatera Selatan dan Jambi, pada 10 Juni-25 Juni 2021.

Baca juga: Kegiatan modifikasi cuaca di Sumsel-Jambi segera berakhir

Pada pekan pertama, tim dihadapkan persoalan munculnya lapisan awan yang posisinya persis berada di atas awan yang berpotensi hujan sehingga menyulitkan penyemaian garam.

Kemudian pada pekan kedua, justru muncul angin di atas ketinggian 10.000 kaki dari permukaan, padahal awan yang berpotensi hujan justru berada pada ketinggian tersebut.

Namun ia tetap bersyukur karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terbilang jauh lebih mudah karena sedang tidak ada kebakaran hutan dan lahan.

Pada 2015, dia sempat mondok hingga beberapa bulan di Sumatera Selatan untuk memperkuat Satgas Udara Karhutla. Saat itu, terjadi kebakaran hebat di Sumsel yang menghanguskan areal sekitar 700.000 Hektare.

Pada pagi hari, dia memodifikasi cuaca dan pada siang hari hingga sore hari membom air ke tanah yang dilakukan di saat udara dipenuhi kepulan asap.

Akan tetapi, rasa lelah itu seakan lenyap ketika hujan turun membasahi bumi. “Itu menjadi kebahagian tersendiri bagi saya, apalagi saat tiba di landasan ada hujan. Apa yang saya lakukan ternyata berguna bagi bangsa ini,” kata dia. 

Baca juga: Sumsel dan Jambi lakukan TMC semai 10 ton garam di udara