Kegiatan modifikasi cuaca di Sumsel-Jambi segera berakhir
Palembang (ANTARA) - Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca di Sumatera Selatan dan Jambi segera berakhir pada Minggu (27/6) sejalan dengan semakin berkurangnya potensi awan di udara.
Program TMC merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang melibatkan TNI AU, BPBD, BMKG dan Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas untuk upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Koordinator Teknologi Modifikasi Cuaca dari Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi Purwadi mengatakan, berdasarkan hasil pengkajian dalam beberapa hari terakhir diketahui bahwa kelembaban udara semakin berkurang sehingga terbentuknya awan pun semakin sedikit.
Baca juga: Kabupaten OKI optimalkan 13 desa tangguh bencana cegah Karhutla
“Sesuai dengan rencana bahwa Minggu adalah hari terakhir setelah dilakukan selama 17 hari penyemaian garam di atas langit Sumsel dan Jambi,” kata Purwadi yang dijumpai di Posko TMC Sumsel-Jambi, Pangkalan TNI AU SMH, Palembang, Jumat.
Selama periode itu, 10-25 Juni 2021 setidaknya 13.600 kilogram garam sudah ditumpahkan ke awan yang berpotensi hujan.
Personel TNI AU menggunakan pesawat Cassa C-212 yang didatangkan dari Lanud Abdul Rachman Saleh Malang untuk menyemai garam ke awan.
“Dalam 15 hari itu, dilakukan 17 kali sorti dan hanya dua hari yang tidak terbang karena saat itu awan yang berpotensi hujan tidak ada. Setiap satu kali terbang pesawat membawa 800 kg garam,” kata dia.
Baca juga: Peneliti: Penurunan kebakaran hutan karena peran berbagai pihak
Untuk optimalnya kegiatan TMC ini, selain memanfaatkan informasi cuaca dari BMKG, tim juga bekerja sama dengan stasiun mini cuaca Automatic Weather System (AWS) yang dimiliki sejumlah perusahaan perkebunan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Diantaranya AWS milik perusahaan mitra APP Sinar Mas yakni PT Sumber Hijau Permai dan PT Tripupajaya di Kabupaten Banyuasin.
Tim memprioritaskan penyemaian garam di awan yang berlokasi di atas titik api (hotspot), di kawasan gambut yang sudah lama tidak mengalami hujan, dan di lokasi mana saja asalkan berpotensi hujan.
Namun, sebagian besar TMC dilakukan di atas kawasan gambut kering mengingat selama periode kegiatan ini tidak didapati hotspot.
Oleh karena itu TMC ini pun dipandang efektif untuk membantu peningkatan tinggi muka air gambut, yang mana diharapkan tetap berada di angka 40 cm di atas permukaan tanah.
Baca juga: Satu hektare lahan di OKU terbakar dampak kemarau
Selama pelaksanaan TMC ini, ia tak menyangkal tidak semuanya berjalan lancar. Pada pekan pertama, tim dihadapkan persoalan munculnya lapisan awan yang posisinya lebih tinggi dari awan yang berpotensi hujan sehingga menyulitkan penyemaian garam.
Kemudian pada pekan kedua, justru muncul angin di atas ketinggian 10.000 kaki, padahal awan yang berpotensi hujan justru berada pada ketinggian tersebut.
Terkait apakah TMC ini berhasil atau tidak, Purwadi mengatakan hal tersebut perlu dibuktikan secara ilmiah. Namun berdasarkan pengalaman pelaksanaan TMC dalam beberapa tahun terakhir maka diketahui mampu meningkatkan curah hujan rata-rata hampir 30 persen jika dibandingkan dengan secara alami. Sementara pada 2020, BPPT mendapatkan pesentase hingga 60 persen.
Sementara itu, Pilot pesawat Cassa 212 Kapten (Pnb) Chandra Ariwibowo yang dijumpai di Posko TMC mengatakan pelaksanaan TMC kali ini sudah menggunakan metode terbaru.
Ia yang mengikuti program TMC sejak 2015 ini mengatakan melalui metode baru tersebut membuat potensi hujan semakin besar.
Sebelumnya, penyemaian dilakukan di dalam awan yang berpotensi hujan, kesannya seperti menabrak awan. Kali ini sudah berbeda, penyemaian dilakukan dengan melihat arah angin juga, sehingga garam yang disemai diharapkan merata di awan, kata dia.
Selama TMC berlangsung, Chandra mengatakan tidak menemukan kendala berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena kali ini tidak ada kepulan asap di udara.
Program TMC merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang melibatkan TNI AU, BPBD, BMKG dan Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas untuk upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Koordinator Teknologi Modifikasi Cuaca dari Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi Purwadi mengatakan, berdasarkan hasil pengkajian dalam beberapa hari terakhir diketahui bahwa kelembaban udara semakin berkurang sehingga terbentuknya awan pun semakin sedikit.
Baca juga: Kabupaten OKI optimalkan 13 desa tangguh bencana cegah Karhutla
“Sesuai dengan rencana bahwa Minggu adalah hari terakhir setelah dilakukan selama 17 hari penyemaian garam di atas langit Sumsel dan Jambi,” kata Purwadi yang dijumpai di Posko TMC Sumsel-Jambi, Pangkalan TNI AU SMH, Palembang, Jumat.
Selama periode itu, 10-25 Juni 2021 setidaknya 13.600 kilogram garam sudah ditumpahkan ke awan yang berpotensi hujan.
Personel TNI AU menggunakan pesawat Cassa C-212 yang didatangkan dari Lanud Abdul Rachman Saleh Malang untuk menyemai garam ke awan.
“Dalam 15 hari itu, dilakukan 17 kali sorti dan hanya dua hari yang tidak terbang karena saat itu awan yang berpotensi hujan tidak ada. Setiap satu kali terbang pesawat membawa 800 kg garam,” kata dia.
Baca juga: Peneliti: Penurunan kebakaran hutan karena peran berbagai pihak
Untuk optimalnya kegiatan TMC ini, selain memanfaatkan informasi cuaca dari BMKG, tim juga bekerja sama dengan stasiun mini cuaca Automatic Weather System (AWS) yang dimiliki sejumlah perusahaan perkebunan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Diantaranya AWS milik perusahaan mitra APP Sinar Mas yakni PT Sumber Hijau Permai dan PT Tripupajaya di Kabupaten Banyuasin.
Tim memprioritaskan penyemaian garam di awan yang berlokasi di atas titik api (hotspot), di kawasan gambut yang sudah lama tidak mengalami hujan, dan di lokasi mana saja asalkan berpotensi hujan.
Namun, sebagian besar TMC dilakukan di atas kawasan gambut kering mengingat selama periode kegiatan ini tidak didapati hotspot.
Oleh karena itu TMC ini pun dipandang efektif untuk membantu peningkatan tinggi muka air gambut, yang mana diharapkan tetap berada di angka 40 cm di atas permukaan tanah.
Baca juga: Satu hektare lahan di OKU terbakar dampak kemarau
Selama pelaksanaan TMC ini, ia tak menyangkal tidak semuanya berjalan lancar. Pada pekan pertama, tim dihadapkan persoalan munculnya lapisan awan yang posisinya lebih tinggi dari awan yang berpotensi hujan sehingga menyulitkan penyemaian garam.
Kemudian pada pekan kedua, justru muncul angin di atas ketinggian 10.000 kaki, padahal awan yang berpotensi hujan justru berada pada ketinggian tersebut.
Terkait apakah TMC ini berhasil atau tidak, Purwadi mengatakan hal tersebut perlu dibuktikan secara ilmiah. Namun berdasarkan pengalaman pelaksanaan TMC dalam beberapa tahun terakhir maka diketahui mampu meningkatkan curah hujan rata-rata hampir 30 persen jika dibandingkan dengan secara alami. Sementara pada 2020, BPPT mendapatkan pesentase hingga 60 persen.
Sementara itu, Pilot pesawat Cassa 212 Kapten (Pnb) Chandra Ariwibowo yang dijumpai di Posko TMC mengatakan pelaksanaan TMC kali ini sudah menggunakan metode terbaru.
Ia yang mengikuti program TMC sejak 2015 ini mengatakan melalui metode baru tersebut membuat potensi hujan semakin besar.
Sebelumnya, penyemaian dilakukan di dalam awan yang berpotensi hujan, kesannya seperti menabrak awan. Kali ini sudah berbeda, penyemaian dilakukan dengan melihat arah angin juga, sehingga garam yang disemai diharapkan merata di awan, kata dia.
Selama TMC berlangsung, Chandra mengatakan tidak menemukan kendala berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena kali ini tidak ada kepulan asap di udara.