Masjid Lautze jadi jembatan etnis Tionghoa mengenal Islam
Jakarta (ANTARA) - Didominasi dengan ornamen berwarna merah, kuning, dan hijau secara kasat mata orang tak akan menyadari bangunan yang terletak di Jalan Lautze nomor 87- 89, Pasar Baru, Jakarta Pusat merupakan masjid.
Literasi membenarkan bangunan itu Masjid Lautze yang didirikan oleh Yayasan Haji Karim Oei pada 1991.
Berbaur dengan bangunan ruko khas kawasan pecinan, Masjid Lautze tak memiliki kubah layaknya masjid di Indonesia.
Kental dengan nuansa oriental, Masjid Lautze pun diresmikan secara langsung oleh Presiden Ketiga RI BJ Habibie pada 1994 yang kala itu mengemban tugas sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat.
Sekilas terkesan sederhana dan terlihat biasa saja. siapa sangka rupanya bangunan yang tampak biasa itu menjadi saksi sekaligus menjembatani ribuan orang beretnis Tionghoa di Indonesia untuk mengenal Islam.
“Saat itu (masa saat Masjid Lautze diresmikan) kita mencoba menjadi jembatan. Di masa lalu masalah pembauran antara etnis masih sangat berisiko. Nah maka dihadirkan lah masjid ini untuk menuntaskan masalah pembauran sehingga bisa tercipta kerukunan meski antar etnis, antar suku, antar keyakinan,” kata Yusman Iriyansah, salah seorang pengurus Masjid Lautze menceritakan keberadaan masjid berusia 27 tahun itu.
Sejarah
Berdirinya Masjid Lautze tak terlepas dari sosok Oei Tjeng Hien atau kerap dikenal sebagai Karim Oei. Tokoh itu merupakan seorang pria berlatar belakang etnis Tionghoa dan memilih menjadi mualaf hingga akhirnya benar- benar mencintai dan mendedikasikan hidupnya untuk Tanah Air Indonesia.
Karim Oei bahkan menjadi tokoh kenamaan di Muhammadiyah di eranya, ia pun sempat bertanggung jawab atas operasional Masjid Agung Istiqlal sebagai pimpinan harian pada era 70-an.
Ketika Karim Oei menutup usia, maka untuk mengenang sosoknya yang berpengaruh didirikanlah sebuah badan hukum sosial bernama Yayasan Karim Oei oleh rekan sejawatnya termasuk salah satu pendirinya adalah Ali Karim Oei yang merupakan anak dari Kariem Oei.
Lokasi yang kini menjadi Masjid Lautze pun awalnya merupakan ruko sewaan yang menjadi kantor pertama beroperasinya Yayasan Karim Oei.
Dari yang awalnya berfungsi sebagai pusat informasi untuk warga Tionghoa mengenal Islam, lambat laun dorongan serta dukungan menghadirkan tempat ibadah di kawasan pecinan itu pun akhirnya tumbuh.
“Alhamdulillah dalam perkembangannya, pemilik ruko menawarkan kami untuk membeli gedung ini dibanding menyewa. Sempat kebingungan juga pengurus untuk cari donatur mendanai pembelian lokasi ini, namun akhirnya jawaban bantuan datang dari BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Dia beli rukonya dan dihibahkannya ruko ini kepada Yayasan Karim Oei,” kata Yusman menceritakan latar belakang pembangunan Masjid Lautze.
Pemilihan warna hingga bentuk Masjid Lautze yang terkesan mirip bangunan di kampung pecinan atau mengikuti ornamen Kelenteng rupanya memang dipilih pengurus Masjid Lautze agar warga beretnis Tionghoa yang baru mau mengenal Islam saat bertandang tidak merasa canggung.
Interior ruangan bagian dalam Masjid didominasi warna putih, setiap sisi tembok diberi ornamen lis kayu berwarna merah yang dibentuk menyerupai kubah.
Tidak hanya melakukan penyesuaian dari segi warna, berbagai ornamen khususnya kaligrafi dengan aksara Mandarin pun cukup banyak menghiasi bagian dalam gedung setinggi empat lantai itu.
Ornamen kaligrafi dengan aksara China itu didapatkan secara sporadis, ada yang merupakan hasil buah tangan dari pengunjung yang datang dan ada juga yang dibawa langsung oleh Ali Karim Oei.
Terbukti dengan penyesuaian yang dilakukan Masjid Lautze itu, semakin banyak warga Indonesia beretnis Tionghoa yang berkunjung mulai dari belajar mengenal Islam hingga memutuskan mengambil keputusan percaya pada ajaran Nabi Muhammad SAW itu sepenuhnya.
Bukti nyata toleransi
Hingga awal 2021 tercatat sudah sekitar 1.500 warga etnis Tionghoa yang memantapkan hati untuk menjadi mualaf dan membacakan kalimat syahadat di Masjid Lautze.
Guna memperluas penyebaran informasi mengenai Islam, Masjid Lautze pun memiliki cabang di daerah lainnya. Misalnya seperti di daerah Bandung, Jawa Barat tepatnya di Jalan Tamblong terdapat Masjid Lautze 2.
Sementara untuk di wilayah lainnya yaitu Tangerang Selatan terdapat Masjid Al Muhajirin Lautze tepatnya di sektor 6/7 Gading Serpong yang lokasinya lebih dekat dengan perumahan warga.
“Kita usahakan memfasilitasi orang yang mau mengenal Islam, misalnya di masjid- masjid yang terhubung dengan Masjid Lautze. Kita ya tidak tertutup khusus satu etnis saja tapi terbuka, tanpa ada paksaan bagi siapa pun yang datang,” ujar Yusman.
Meski berawal sebagai pusat informasi pengenalan agama Islam bagi warga Tionghoa, namun rupanya lambat laun Masjid Lautze menjadi lokasi pembelajaran toleransi antar warga.
Contohnya pada saat pelaksanaan Halal Bi Halal di masa lebaran sebelumnya adanya pandemi COVID-19, Masjid Lautze menggandeng pemeluk agama lainnya untuk bersilaturahmi mengisi kegiatan lewat seni musik hingga seni tari.
Berangkat dari kabar itu akhirnya makin banyak orang yang tertarik untuk melihat dan merasakan langsung beribadah di Masjid Lautze.
Banyak wisatawan yang berakhir mengikuti Ceramah Mingguan (Cermin) untuk mengenal ajaran- ajaran kebaikan yang ditanamkan lewat Islam di Masjid Lautze karena tidak adanya batasan terkait latar belakang pengunjung.
Tidak sedikit warga dari Amerika, Australia, hingga Jepang sengaja datang ke Masjid Lautze untuk belajar hingga memutuskan menjadi mualaf.
Berangkat dari cita-cita awal mengenalkan Islam kepada warga beretnis Tionghoa di era 90-an, kini Masjid Lautze sudah berkembang dan melebihi ekspektasi menjadi jembatan penghubung bagi warga dunia mengenal ajaran Islam.
Literasi membenarkan bangunan itu Masjid Lautze yang didirikan oleh Yayasan Haji Karim Oei pada 1991.
Berbaur dengan bangunan ruko khas kawasan pecinan, Masjid Lautze tak memiliki kubah layaknya masjid di Indonesia.
Kental dengan nuansa oriental, Masjid Lautze pun diresmikan secara langsung oleh Presiden Ketiga RI BJ Habibie pada 1994 yang kala itu mengemban tugas sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat.
Sekilas terkesan sederhana dan terlihat biasa saja. siapa sangka rupanya bangunan yang tampak biasa itu menjadi saksi sekaligus menjembatani ribuan orang beretnis Tionghoa di Indonesia untuk mengenal Islam.
“Saat itu (masa saat Masjid Lautze diresmikan) kita mencoba menjadi jembatan. Di masa lalu masalah pembauran antara etnis masih sangat berisiko. Nah maka dihadirkan lah masjid ini untuk menuntaskan masalah pembauran sehingga bisa tercipta kerukunan meski antar etnis, antar suku, antar keyakinan,” kata Yusman Iriyansah, salah seorang pengurus Masjid Lautze menceritakan keberadaan masjid berusia 27 tahun itu.
Sejarah
Berdirinya Masjid Lautze tak terlepas dari sosok Oei Tjeng Hien atau kerap dikenal sebagai Karim Oei. Tokoh itu merupakan seorang pria berlatar belakang etnis Tionghoa dan memilih menjadi mualaf hingga akhirnya benar- benar mencintai dan mendedikasikan hidupnya untuk Tanah Air Indonesia.
Karim Oei bahkan menjadi tokoh kenamaan di Muhammadiyah di eranya, ia pun sempat bertanggung jawab atas operasional Masjid Agung Istiqlal sebagai pimpinan harian pada era 70-an.
Ketika Karim Oei menutup usia, maka untuk mengenang sosoknya yang berpengaruh didirikanlah sebuah badan hukum sosial bernama Yayasan Karim Oei oleh rekan sejawatnya termasuk salah satu pendirinya adalah Ali Karim Oei yang merupakan anak dari Kariem Oei.
Lokasi yang kini menjadi Masjid Lautze pun awalnya merupakan ruko sewaan yang menjadi kantor pertama beroperasinya Yayasan Karim Oei.
Dari yang awalnya berfungsi sebagai pusat informasi untuk warga Tionghoa mengenal Islam, lambat laun dorongan serta dukungan menghadirkan tempat ibadah di kawasan pecinan itu pun akhirnya tumbuh.
“Alhamdulillah dalam perkembangannya, pemilik ruko menawarkan kami untuk membeli gedung ini dibanding menyewa. Sempat kebingungan juga pengurus untuk cari donatur mendanai pembelian lokasi ini, namun akhirnya jawaban bantuan datang dari BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Dia beli rukonya dan dihibahkannya ruko ini kepada Yayasan Karim Oei,” kata Yusman menceritakan latar belakang pembangunan Masjid Lautze.
Pemilihan warna hingga bentuk Masjid Lautze yang terkesan mirip bangunan di kampung pecinan atau mengikuti ornamen Kelenteng rupanya memang dipilih pengurus Masjid Lautze agar warga beretnis Tionghoa yang baru mau mengenal Islam saat bertandang tidak merasa canggung.
Interior ruangan bagian dalam Masjid didominasi warna putih, setiap sisi tembok diberi ornamen lis kayu berwarna merah yang dibentuk menyerupai kubah.
Tidak hanya melakukan penyesuaian dari segi warna, berbagai ornamen khususnya kaligrafi dengan aksara Mandarin pun cukup banyak menghiasi bagian dalam gedung setinggi empat lantai itu.
Ornamen kaligrafi dengan aksara China itu didapatkan secara sporadis, ada yang merupakan hasil buah tangan dari pengunjung yang datang dan ada juga yang dibawa langsung oleh Ali Karim Oei.
Terbukti dengan penyesuaian yang dilakukan Masjid Lautze itu, semakin banyak warga Indonesia beretnis Tionghoa yang berkunjung mulai dari belajar mengenal Islam hingga memutuskan mengambil keputusan percaya pada ajaran Nabi Muhammad SAW itu sepenuhnya.
Bukti nyata toleransi
Hingga awal 2021 tercatat sudah sekitar 1.500 warga etnis Tionghoa yang memantapkan hati untuk menjadi mualaf dan membacakan kalimat syahadat di Masjid Lautze.
Guna memperluas penyebaran informasi mengenai Islam, Masjid Lautze pun memiliki cabang di daerah lainnya. Misalnya seperti di daerah Bandung, Jawa Barat tepatnya di Jalan Tamblong terdapat Masjid Lautze 2.
Sementara untuk di wilayah lainnya yaitu Tangerang Selatan terdapat Masjid Al Muhajirin Lautze tepatnya di sektor 6/7 Gading Serpong yang lokasinya lebih dekat dengan perumahan warga.
“Kita usahakan memfasilitasi orang yang mau mengenal Islam, misalnya di masjid- masjid yang terhubung dengan Masjid Lautze. Kita ya tidak tertutup khusus satu etnis saja tapi terbuka, tanpa ada paksaan bagi siapa pun yang datang,” ujar Yusman.
Meski berawal sebagai pusat informasi pengenalan agama Islam bagi warga Tionghoa, namun rupanya lambat laun Masjid Lautze menjadi lokasi pembelajaran toleransi antar warga.
Contohnya pada saat pelaksanaan Halal Bi Halal di masa lebaran sebelumnya adanya pandemi COVID-19, Masjid Lautze menggandeng pemeluk agama lainnya untuk bersilaturahmi mengisi kegiatan lewat seni musik hingga seni tari.
Berangkat dari kabar itu akhirnya makin banyak orang yang tertarik untuk melihat dan merasakan langsung beribadah di Masjid Lautze.
Banyak wisatawan yang berakhir mengikuti Ceramah Mingguan (Cermin) untuk mengenal ajaran- ajaran kebaikan yang ditanamkan lewat Islam di Masjid Lautze karena tidak adanya batasan terkait latar belakang pengunjung.
Tidak sedikit warga dari Amerika, Australia, hingga Jepang sengaja datang ke Masjid Lautze untuk belajar hingga memutuskan menjadi mualaf.
Berangkat dari cita-cita awal mengenalkan Islam kepada warga beretnis Tionghoa di era 90-an, kini Masjid Lautze sudah berkembang dan melebihi ekspektasi menjadi jembatan penghubung bagi warga dunia mengenal ajaran Islam.