Jakarta (ANTARA) - Di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, upaya mencapai swasembada beras masih merupakan topik utama yang ingin dicapai sektor pertanian di Indonesia.

Pemerintah berusaha meningkatkan produksi padi di tengah tantangan perubahan iklim yang telah, sedang, dan terus terjadi. Di tengah upaya tersebut, pada tahun 2024, Indonesia masih mengimpor sekitar 4,52 juta ton beras.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, luas panen padi di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 10 juta hektare dengan total produksi mencapai 53 juta ton gabah kering giling (GKG).

Jika dikonversi menjadi beras dengan angka konversi 0,64, maka setara dengan 34 juta ton beras. Secara teoritis, dari angka tersebut dapat dihitung kebutuhan beras bangsa Indonesia dalam setahun.

Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 80 kg per tahun dan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 283,5 juta jiwa, maka diperkirakan kebutuhan beras Indonesia adalah 22,68 juta ton per tahun.

Hitungan ini menunjukkan bahwa produksi beras secara teoritis dapat memenuhi kebutuhan nasional.

Namun, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2024 mencapai 31,2 juta ton, yang berarti masih terdapat ketidaksesuaian antara angka produksi dan konsumsi.

Persoalannya adalah data BPS masih memiliki keterbatasan dan menggambarkan potensi produksi.

Dengan metode berbeda, yaitu analisis citra satelit, total lahan produksi padi pada tahun 2024 di Indonesia diperkirakan hanya mencapai 8,1 juta hektare.

Meskipun angka ini lebih kecil, secara potensial lahan padi di Indonesia masih dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah optimalisasi di lahan sawah yang ada saat ini.

 


Padi di India

Mari bandingkan produksi padi di India. Petani di India dan Indonesia menghadapi tantangan serupa, termasuk perubahan cuaca yang tidak menentu.

India saat ini sudah berswasembada beras dan bahkan berencana mengekspor 1 juta ton beras ke Indonesia tahun ini. India merupakan negara pengekspor beras terbesar di dunia dengan volume mencapai 9 juta ton pada tahun 2024.

Dengan populasi tertinggi di dunia sekitar 1,429 miliar jiwa atau lima kali populasi Indonesia, India mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.

Luasan panen padi India pada tahun 2022 mencapai 46 juta hektare, sementara produksi tahun 2023/2024 diperkirakan mencapai 138 juta ton.

Jika dibandingkan luas lahan padi per kapita, Indonesia sebenarnya memiliki luas yang lebih tinggi, yaitu 370 m² per kapita dibandingkan dengan 325 m² per kapita di India.

Sejak kemerdekaan pada tahun 1947, India sempat mengalami kekurangan pangan, tetapi kemudian mencapai swasembada beras pada tahun 1980-an. Keberhasilan ini dicapai melalui kebijakan pertanian strategis dan inovasi teknologi.


Revolusi Hijau pada tahun 1960-an yang memperkenalkan varietas unggul dan teknik bertani modern menjadi kunci transformasi sektor pertanian.

Selanjutnya, kebijakan pemerintah seperti menetapkan harga minimum, subsidi, dan insentif semakin menguatkan ekosistem pertanian India.

Peran koperasi petani yang didukung pemerintah juga membantu menjaga stabilitas harga dan distribusi hasil panen.

Liberalisasi ekonomi pada tahun 1990-an mendorong India semakin percaya diri di pasar beras global.

Subsidi pupuk, benih unggul, listrik, serta infrastruktur irigasi dan jalan memungkinkan minimalisasi kerugian pascapanen dan akses pasar yang lebih baik bagi petani.

Daerah India Selatan yang terkenal dengan tanah hitamnya (vertisol) telah dilengkapi dengan sarana irigasi, memungkinkan petani untuk bertanam tiga musim per tahun.

 


Banyak Opsi

Untuk meningkatkan produksi beras di tengah perubahan iklim, banyak opsi yang dapat dilakukan Indonesia dalam mengoptimalkan lahan yang ada.

Pembukaan lahan hutan memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim, meningkatkan emisi karbon, menurunkan keanekaragaman hayati, dan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.

Pemanfaatan teknologi presisi seperti satelit dan sensor IoT dapat membantu mengelola sumber daya secara efisien serta mengurangi dampak lingkungan.

Pengembangan varietas padi tahan iklim, bersama dengan peningkatan distribusi benih unggul, akan menjamin stabilitas produksi.

Selain itu, adopsi Pengelolaan Hama Terpadu dan penggunaan pupuk organik bersama pupuk anorganik mendukung kesehatan tanah.

Investasi dalam infrastruktur irigasi, penyimpanan, serta pengolahan yang lebih baik juga menjadi kunci penting.

Dukungan kebijakan yang kuat dan insentif keuangan bagi petani untuk mengadopsi teknologi baru dapat membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim secara lebih efektif, sekaligus meningkatkan produktivitas yang berkelanjutan.

Selain aspek teknis dan kebijakan, riset dan inovasi juga menjadi faktor penting dalam membangun ekosistem pertanian padi.

Pendidikan dan pelatihan bagi petani juga menjadi elemen kunci. Transfer pengetahuan mengenai teknik pertanian modern dan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dapat meningkatkan kapasitas petani dalam mengelola lahan mereka secara lebih produktif.

Integrasi teknologi digital, seperti aplikasi berbasis kecerdasan buatan untuk pemantauan lahan dan prediksi cuaca, dapat menjadi alat efektif dalam mendukung pengambilan keputusan petani.

Dengan membangun ekosistem pertanian padi yang lebih baik, Indonesia bukan mustahil dapat mencapai swasembada beras dengan mengoptimalkan  lahan pertanian yang telah ada.

Swasembada pangan bukan hanya sekadar target produksi, tetapi juga mencakup upaya membangun sistem pertanian dan manusia yang tangguh, inovatif, dan berkelanjutan guna memastikan ketahanan pangan bagi generasi mendatang.


*) Penulis adalah Pengajar di Sydney Institute of Agriculture, The University of Sydney, NSW 2006, Australia.


Pewarta : Prof Budiman Minasny PhD*)
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2025