Jakarta (ANTARA) - Sejatinya keberadaan undang-undang untuk mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat memperoleh kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
 
Tujuan itu juga menjadi latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di tengah derasnya perkembangan arus digitalisasi teknologi informasi, aturan hukum dipaksa untuk ikuti perkembangan zaman.

Undang-undang itu pun mengalami perubahan pertama kali pada tahun 2016. Perubahan itu disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE.

Setelah 6 tahun dari perubahan pertama, UU itu kembali dipaksa untuk direvisi karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan awal pembuatannya.

Bahkan, kata anggota DPR RI Romo Muhammad Syafi’I, peran UU ITE tidak mencapai fungsi hukum, yakni kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Hal itu terungkap dari sejumlah kesaksian para korban UU ITE. Yang paling digarisbawahi pada Pasal 27 dan Pasal 28.

Oleh karena itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI perlu segera memproses revisi UU ITE sesuai dengan koridor perundang-undangan sehingga fungsi hukum dari pembentukan UU itu dapat tercapai.

Baleg DPR RI telah menerima kunjungan para korban UU ITE yang tergabung dalam Paguyuban Korban UU (Paku ITE) di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (6/7). Para korban itu didampaingi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mendorong upaya revisi UU ITE.

Ketua Paku ITE Muhammad Arsyad pun berpendapat bahwa sekarang ini siapa pun dan dari kalangan mana pun bisa kena dan terancam UU ITE.

Mereka mendorong segera merevisi UU ITE setelah Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan surpres pada bulan Desember 2021. DPR diharapkan segera bentuk panitia kerja (panja) untuk mempercepat legislasi.

Wakil Ketua Baleg Willy Aditya memastikan revisi UU ITE telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Presiden telah berkirim surat presiden (surpes) dan segera ditindaklanjuti ke pimpinan.

Ketidakpastian Hukum

Belum adanya kepastian hukum atas kasus UU ITE dialami Siti Rubaidah, seorang ibu rumah tangga sekaligus mantan istri Wakil Wali Kota Magelang belum bisa bernapas lega walaupun pengadilan telah memutuskan bersalah sang suami atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan penjara 45 hari pada tahun 2017.

"Sampai suami saya divonis hingga hari ini, saya belum mendapatkan SP3 atas kasus saya," ungkap Siti Rubaidah.

Rubaidah menjelaskan kasus itu bermula saat suaminya melakukan KDRT pada tahun 2013. Dia lalu melaporkan kasus itu kepada pihak kepolisian. Namun, nahas, sang suami yang juga pejabat publik kala itu, melaporkan balik atas kasus pencemaran nama baik dengan pasal UU ITE.

Baca juga: Presiden pahami ada kegelisahan masyarakat terkait UU ITE
Ketika membuat pernyataan pers kepada media, ada anggapan Rubaidah melakukan pencemaran nama baik. Padahal, pelaporannya terkait dengan KDRT terbukti secara hukum di PN Magelang.

Walaupun KDRT telah terbukti, status tersangka untuk kasus UU ITE yang menjeratnya belum selesai. Hal itu sangat merugikannya sebagai warga negara dengan status hukum tidak jelas. Dia khawatir pada suatu saat, status hukum itu akan dipergunakan oleh para pihak yang tidak senang kepadanya.

Begitu pula yang menimpa Ramsia Tasruddin, dosen UIN Alauidn Makassar, hingga saat ini masih menunggu status kepastian hukumnya. Kasus UU ITE yang menjeratnya pada tahun 2017, belum mendapatkan titik terang. Dia ditetapkan tersangka sejak September 2019.

Kasusnya bermula dari percakapan grup WhatsApp (WA). Percakapan itu membahas penutupan salah satu laboratorium Radio Kampus Syiar UIN Alauddin oleh pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

Merasa tidak puas, salah seorang wakil dekan mengambil tangkapan layar diskusi grup dan melaporkannya ke Polres Gowa pada bulan Juni 2017. Akibatnya, 30 dosen diperiksa dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Polisi lalu menetapkan Ramsia sebagai tersangka pada bulan September 2019.

Ramsia mengungkapkan sudah empat kali pergantian kapolres dan empat kali pula surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) dari Polres Gowa dikirimkan ke kejaksaan. Semuanya ditolak karena dianggap belum lengkap. Akhirnya pada bulan Februari 2022, pihak kepolisian mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Sampai sekarang pelapor akan melakukan praperadilan, dan saya masih menunggu," kata Ramsia saat berkunjung ke Baleg DPR RI, Jakarta, Selasa (6/7).

Baca juga: Komnas HAM: Pelaku pencemaran nama baik tak boleh dipidana
Cerita lainnya disampaikan Stella Monica, konsumen produk kecantikan, yang dilaporkan salah satu klinik kecantikan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Laporan itu terkait dengan ulasan produk oleh Stella di media sosial.

Stella mengaku mengulas produk itu secara jujur karena sebagai konsumen yang merasa dirugikan. Namun, saat mengunggah di sosial media, Stella menegaskan tidak menyebutkan nama klinik itu.

"Yang menyebutkan teman-temannya, yang mempunyai pengalaman sama," ujarnya.

Bahkan, kata dia, sebelum melakukan penilaian, dirinya sudah melakukan komplain berkali-kali ke klinik tersebut. Akan tetapi, tidak ada jawaban yang baik dari pihak klinik maupun dokternya.

Pada bulan Januari 2020, pihak klinik melayangkan surat somasi kedua kepada Stella, yang menuntut permohonan maaf melalui media massa di daerahnya. Selanjutnya, pada bulan Juni 2020, penyidik Polda Jawa Timur mendatangi dirinya dan membawa surat laporan dari klinik tersebut.

"Polisi langsung menyita handphone saya, tanpa meminta izin, dengan alasan, itu barang bukti yang dilakukan untuk mencemarkan nama baik klinik tersebut," jelasnya.

Selanjutnya, pada bulan Oktober 2020, Stella dinyatakan sebagai tersangka. Dengan penetapan itu, Stella mengaku tertekan secara psikologi hingga hampir bunuh diri.

Setelah melakukan proses persidangan selama 7 bulan, hakim pengadilan setempat memutuskan dia bebas dan tidak terbukti bersalah. Namun, dia menyayangkan jaksa penuntut umum melakukan kasasi atas putusan tersebut.

Ketidakadilan

Korban lainnya bernama Vivi Natalia. Dia dilaporkan pihak keluarga dengan UU ITE akibat persoalan utang piutang. Awalnya Vivi memberikan utang kepada keluarganya sebesar Rp450 juta.

Sampai waktu ditentukan, utang itu tidak kunjung dibayar. Upaya penagihan pun dilakukan dari bertemu langsung hingga melalui grup WA. Puncaknya Vivi menangih dan melampiaskan kekesalannya melalui media sosial Facebook.

Akibat postingan itu, Vivi lalu dilaporkan ke polisi. Dia merasa kesal karena sebagai korban utang piutang, dilaporkan lagi kasus pencemaran nama baik. Pascalaporan itu, Vivi melakukan upaya damai. Akan tetapi, upaya itu dianggap sebagai bentuk pemerasan kepada dirinya.

"Namun, persyaratan itu tidak dapat saya penuhi. Mereka meminta uang damai, per satu laporan sebesar dua miliar rupiah," ungkapnya.

Baca juga: Kenali info hoaks agar tak terjerat UU ITE
Upaya itu pun tidak mendapatkan titik temu. Akhirnya Vivi ditetapkan bersalah dengan vonis percobaan 2 tahun penjara. Di hadapan anggota DPR RI, Vivi merasa sangat tidak adil dengan adanya UU ITE.

"Sampai sekarang utang itu pun tidak dibayar," ujarnya.

Merasa tidak adil dalam UU ITE juga disampaikan Baiq Nuril. Seorang guru honorer yang dijerat Pasal 27 ayat (1) akibat pencemaran nama baik. Walaupun saat ini Nuril sudah menghirup udara bebas setelah mendapatkan amnesti dari Presiden RI.

Baiq Nuril menceritakan laporan kasusnya mulai 2015. Pada tahun 2016 dia ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 2 bulan 3 hari pada tahun 2017. Pada bulan Juli 2017, dia dinyatakan bebas oleh PN Mataram. Jaksa penuntut umum melakukan banding dan kasasi.

Mahkamah Agung menerima kasasi dari jaksa. Nuril pun melakukan upaya peninjauan kembali (PK) namun ditolak MA. Nuril diputus bersalah dengan ancaman hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.

"Saya menjadi korban pelecehan seksual secara verbal dan dijerat UU ITE," katanya menegaskan.

Korban lainnya Sadli Saleh, jurnalis asal Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Dia merasa tidak adil setelah tulisannya sebagai karya jurnalistik yang diakui Dewan Pers dilaporkan kepada pihak kepolisian.

Menurut dia, karya jurnalistik tidak dapat dikriminalisasi. Jika ada pihak-pihak merasa tidak puas, dapat melalui mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Oleh penegak hukum, aturan itu dilewati. Saya divonis 2 tahun penjara," ungkapnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatiah Maulidiyanti menjelaskan bahwa kasus dengan jeratan UU ITE terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Organisasi SafeNet mencatat 52 persen peningkatan rasa takut di tengah masyarakat untuk menyatakan pendapat akibat undang-undang itu.

Bahkan, Fatiah saat ini menjadi tersangka oleh UU ITE atas kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan seorang menteri. Menurut dia, kasusnya lebih mengarah ke ranah politik kekuasaan.

Semua korban menaruh harapan terkait dengan revisi UU ITE, khususnya beberapa pasal yang dianggap tidak bermanfaat. Pasal itu pun memberikan persepsi di publik bahwa siapa pun bisa kena UU ITE.

Baca juga: Mahfud MD: Hanya korban dapat melakukan laporan dalam revisi UU ITE
Editor : Kliwon
 

Pewarta : Fauzi
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024