Palembang (ANTARA News Sumsel) - Perkebunan karet di Tanah Air kini dalam ancaman luar biasa akibat serangan penyakit gugur daun (fusicoccum) yang telah menyebar sejak tahun lalu.
Kondisi ini membuat petani semakin terjepit, ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Kepala Dusun III Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, Sahbihis, mengatakan rata-rata petani di desanya kesulitan mengatasi serangan penyakit tanaman ini karena sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai cara mengatasinya.
Petani keheranan karena daun berjatuhan sebelum waktunya, dan adanya penurunan produksi getah.
"Kami tidak tahu kena penyakit apa, tapi rata-rata daunnya layu meranggas sampai habis dan kemudian pohonnya mati," kata Sahbihis.
Menghadapi situasi tersebut para petani sudah melaporkannya ke dinas terkait, tapi mendapatkan penyuluhan agar memupuk tanaman dan mengurangi intensitas penyadapan.
Pada saat bersamaan warga petani karet mengalami kesulitan dana karena harga karet sedang anjlok di kisaran Rp7.000 per kilogram sejak tahun 2013, sehingga belum mampu melakukan pemupukan.
Dari satu hektare lahan karet, petani mendapatkan pemasukan bersih berkisar Rp1.000.000 per bulan.
"Jika disuruh memupuk, rasanya sulit bagi kami. Jangankan ada masalah ini, petani saja sudah bertahun-tahun tidak memupuk tanaman karena harga jatuh. Begitu pula dengan mengurangi hari menyadap, itu artinya akan mengurangi pemasukan kami," kata dia.
Para petani terpaksa kehilangan tanaman karet yang mati terserang penyakit gugur daun ini seperti yang dialami Kirom Zainal, warga Desa Tambangan Kelekar, Kabupaten Muaraenim. Kebun karet seluas dua hektare miliknya, diketahui sudah tidak bisa disadap lagi sejak Februari 2018.
"Kami harap pemerintah dapat turun tangan mengatasi masalah ini. Kami ini sudah sulit oleh harga karet jatuh, kini tanaman kami diserang penyakit juga. Katanya bibit (beli di Balai Penelitian Sumbawa, red) yang kami tanam ini unggul ?" kata dia.
Penyakit gugur daun (fusicoccum) dinyakini telah memapar puluhan ribu hektare lahan karet di Tanah Air yang tersebar di tujuh provinsi sehingga menjadi ancaman luar biasa bagi kelangsungan pertanian karet Indonesia.
Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor Gede Wibawa pada saat berada di Palembang, Selasa 31 Juli, mengatakan, bahwa jika penyakit tanaman karet tersebut tidak diatasi dengan cepat maka bisa jadi Indonesia akan mengalami kejadian seperti Brasil yang hingga kini tidak bisa lagi menanam karet karena terkena penyakit "gugur daun Amerika Selatan" pada tahun 1998.
Gede Wibawa berada di Palembang mengikuti pertemuan 14 negara produsen karet terkait upaya mencari solusi mengatasi penyakit gugur daun pada karet.
Penyakit gugur daun ini terdeteksi pertama kali di perkebunan karet di Sumatera Utara pada 2016 kemudian dengan cepat menyebar ke kantong-kantong perkebunan karet terutama di Sumatera.
Akibatnya, pada 2018, Balai Penelitian memastikan bahwa penyakit gugur daun ini sudah tersebar di enam provinsi lainnya, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Faktor iklim, dan lemahnya daya tahan tanaman karet Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.
Kejadian ini cukup dimaklumi karena pada periode 2016, para petani masih dihadapkan persoalan rendahnya harga getah sehingga tidak melakukan pemupukan secara baik.
Selain itu pada 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat sehingga juga mempengaruhi proses fotosintesis tanaman.
Penyakit gugur daun ini disebabkan oleh sejenis cendawan yang menghasilkan racun. Penyebarannya melalui udara, sehingga ketika menyerang satu daun maka akan menyerang daun lainnya. "Dan ujung-ujungnya satu hamparan," kata Gede.
Bahkan lahan milik Pusat Penelitian Karet di Sumbawa, Kabupaten Banyuasin pun tidak luput dari serangan penyakit gugur daun ini yakni memapar lahan produktif seluas 905 hektare dari total 1500 hektare lahan yang tersedia.
Saat ini tim peneliti sedang mendata luasan lahan yang terpapar. Sementara ini berdasarkan data dari perusahan-perusahaan perkebunan per Februari 2018 telah menyerang 22.000 hektare lahan. "Saya pastikan pasti lebih banyak lagi, karena perkebunan rakyat juga sudah terkena," kata dia.
Akibat dari penyakit tanaman ini, produksi getah karet Indonesia dipastikan mengalami penurunan 40-50 persen pada tahun ini.
Sebagai gambaran, lahan seluas 905 hektare di Sumbawa hanya menghasilkan 90 ton setiap panen dari seharusnya 180 ton. Padahal pada Juli-Agustus ini menjadi puncak panen getah karena memasuki puncak musim kemarau, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Sejauh ini, para peneliti telah menemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini yakni dengan menyemprotkan cairan pembasmi dengan cara pengasapan. Melalui cara ini, tanaman akan terpulihkan kembali dalam masa tiga bulan.
Namun, solusi ini juga dalam dilema karena saat ini harga karet sedang jatuh yakni Rp7.000 per kilogram sehingga akan semakin memberatkan bagi petani. Untuk satu hektare lahan dibutuhkan biaya 180 ribu untuk satu kali pengasapan menggunakan cairan hexsagonal, sementaranya idealnya untuk pemulihan dibutuhkan tiga kali.
"Nanti daunnya akan tumbuh lagi. Tapi meski difogging tetap saja masih dalam ancaman, seperti yang dialami Malaysia saat ini. Akan tetapi, yang terpenting bagi kami peneliti di seluruh dunia yakni bagaimana caranya bisa melahirkan jenis klon (bibit) yang unggul dari penyakit daun," kata dia.
Sementara itu, Peneliti di Pusat Penelitian Karet Sumbawa Tri Rapani Febbiyanti mengatakan kejadian penyebaran penyakit gugur daun di perkebunan karet di Indonesia ini terbilang sangat mengkhawatirkan karena terjadi secara "wabah" (outbreak) atau menjangkit hingga puluhan ribu hektare. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia yang juga sempat terkena tapi tidak dalam satu hamparan luas.
"Itulah kami mengumpulkan negara-negara produksen karet di dunia untuk mengatasi masalah ini. Kami ingin mengetahui bagaimana Malaysia mengatasinya, karena mereka bisa tidak outbreak, meski saat ini masih statusnya ancaman. Kami juga ingin mendengar solusi dari peneliti asal Pantai Gading yang menemukan pertama kali penyakit ini," kata dia.
Direktur Pusat Penelitian Karet Dr Karyudi (kanan) didampingi Project Team Leader ICCTF-USAID Sudaryanto memberikan penjelasan mengenai penggunaan teknologi komposit karet alam pada kanal blocking. (ANTARA News Sumsel/Dolly Rosana/Ang/18/)
Puluhan ilmuwan dari 14 negara berkumpul di Palembang, 31 Juli-1 Agustus 2018 dalam kegiatan lokakarya perlindungan tanaman ( International Plant Protection Workshop), di antaranya dari China, Jepang, Brasil, Pantai Gading, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Pertemuan yang diselenggarakan Pusat Penelitian Karet Indonesia dan International Rubber Development Board (IRRDB) diharapkan melahirkan solusi efektif atas persoalan ini, mengingat klon karet yang tahan terhadap penyakit gugur daun "RRIC 100" ternyata juga tidak tahan.
Bantu Petani
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane mengatakan serangan jamur ini berpotensi memangkas produksi karet nasional hingga 50 persen pada tahun 2018, atau bahkan 60 persen jika tidak segera diatasi.
Padahal, produksi karet nasional bergerak naik dalam tiga tahun terakhir, yakni 3,2 juta ton pada 2016, 3,6 juta ton pada 2017, dan ditargetkan menembus 3,7 juta ton pada 2018.
"Kami minta pemerintah segera menyelamatkan rakyat, tolong dibantu dengan penyuluhan dan pengobatan-pengobatan. Jangan sampai menimpa seluruh perkebunan karet kita," kata dia.
Seruan serupa juga disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy.
Sumatera Selatan yang menopang 30 persen produksi karet nasional tentunya sangat khawatir atas kejadian ini. Luas perkebunan karet di Sumsel mencapai 1,3 juta hektare dengan produksi rata-rata sebanyak 1,1 juta ton getah per tahun.
Kontribusi Sumsel sebesar 30,04 persen dari produksi nasional ini tentunya sangat mencolok jika dibandingan Sumut (13,31 persen), Riau (10,29 persen), Jambi (8,38 persen), Kalimantan Barat (7,49 persen), Kalimantan Selatan (5,3 persen), dan provinsi lainnya (25,19 persen).
Oleh karena itu, Gapkindo Sumsel berharap pemerintah harus melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan perkebunan karet Indonesia, terutama di daerah sentra produksi getah.
"Di Sumsel ini, luas perkebunan karet milik rakyat itu mencapai 70 persen. Artinya, yang saat ini terjepit itu benar-benar petani rakyat. Kami minta pemerintah segera memberikan bantuan nyata, seperti pupuk dan penyemprotan hama gratis. Jika tidak dibantu, bisa jadi mereka tidak mau lagi menanam karet," kata Alex.
Ia mengungkapkan, saat ini saja petani karet di Sumsel sudah banyak yang beralih menjadi pekebun sayuran atau petani padi sejak harga getah anjlok di pasaran.
"Bisa jadi, karena tanaman karetnya sudah mati. Mereka tidak mau lagi menanam karet. Ini menjadi ancaman luar biasa, dan tidak bisa dipandang sebelah mata," kata Alex.
Surono, petani karet dan sayur mayur di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Muaraenim, Sumatera Selatan, tidak menyangkal ucapan Ketua Gakindo Sumsel itu. Saat ini dirinya sudah mengalihkan satu hektare lahan karetnya ke kebun sayur.
"Tinggal satu hektare lagi untuk tanaman karet, dan ini pun sudah terkena hama sejak Maret. Saya pun berpikir untuk menjadikannya kebun sayur juga," kata dia.
Serangan penyakit gugur daun pada perkebunan karet Tanah Air ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika berkaca dengan Brazil yang tidak bisa lagi menanam karet akibat penyakit ini, Indonesia sudah sepatutnya mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengatasinya karena asib ribuan petani sedang di ujung tanduk. (D019)
Surono, petani karet Desa Sigam Kayal Sari Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, menabur pupuk di sekitar tanaman karetnya, Minggu (29/4). (ANTARA News Sumsel/Dolly Rosana/Ang/18/)
Kondisi ini membuat petani semakin terjepit, ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Kepala Dusun III Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, Sahbihis, mengatakan rata-rata petani di desanya kesulitan mengatasi serangan penyakit tanaman ini karena sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai cara mengatasinya.
Petani keheranan karena daun berjatuhan sebelum waktunya, dan adanya penurunan produksi getah.
"Kami tidak tahu kena penyakit apa, tapi rata-rata daunnya layu meranggas sampai habis dan kemudian pohonnya mati," kata Sahbihis.
Menghadapi situasi tersebut para petani sudah melaporkannya ke dinas terkait, tapi mendapatkan penyuluhan agar memupuk tanaman dan mengurangi intensitas penyadapan.
Pada saat bersamaan warga petani karet mengalami kesulitan dana karena harga karet sedang anjlok di kisaran Rp7.000 per kilogram sejak tahun 2013, sehingga belum mampu melakukan pemupukan.
Dari satu hektare lahan karet, petani mendapatkan pemasukan bersih berkisar Rp1.000.000 per bulan.
"Jika disuruh memupuk, rasanya sulit bagi kami. Jangankan ada masalah ini, petani saja sudah bertahun-tahun tidak memupuk tanaman karena harga jatuh. Begitu pula dengan mengurangi hari menyadap, itu artinya akan mengurangi pemasukan kami," kata dia.
Para petani terpaksa kehilangan tanaman karet yang mati terserang penyakit gugur daun ini seperti yang dialami Kirom Zainal, warga Desa Tambangan Kelekar, Kabupaten Muaraenim. Kebun karet seluas dua hektare miliknya, diketahui sudah tidak bisa disadap lagi sejak Februari 2018.
"Kami harap pemerintah dapat turun tangan mengatasi masalah ini. Kami ini sudah sulit oleh harga karet jatuh, kini tanaman kami diserang penyakit juga. Katanya bibit (beli di Balai Penelitian Sumbawa, red) yang kami tanam ini unggul ?" kata dia.
Penyakit gugur daun (fusicoccum) dinyakini telah memapar puluhan ribu hektare lahan karet di Tanah Air yang tersebar di tujuh provinsi sehingga menjadi ancaman luar biasa bagi kelangsungan pertanian karet Indonesia.
Direktur Pusat Penelitian Karet Bogor Gede Wibawa pada saat berada di Palembang, Selasa 31 Juli, mengatakan, bahwa jika penyakit tanaman karet tersebut tidak diatasi dengan cepat maka bisa jadi Indonesia akan mengalami kejadian seperti Brasil yang hingga kini tidak bisa lagi menanam karet karena terkena penyakit "gugur daun Amerika Selatan" pada tahun 1998.
Gede Wibawa berada di Palembang mengikuti pertemuan 14 negara produsen karet terkait upaya mencari solusi mengatasi penyakit gugur daun pada karet.
Penyakit gugur daun ini terdeteksi pertama kali di perkebunan karet di Sumatera Utara pada 2016 kemudian dengan cepat menyebar ke kantong-kantong perkebunan karet terutama di Sumatera.
Akibatnya, pada 2018, Balai Penelitian memastikan bahwa penyakit gugur daun ini sudah tersebar di enam provinsi lainnya, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung. Faktor iklim, dan lemahnya daya tahan tanaman karet Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.
Kejadian ini cukup dimaklumi karena pada periode 2016, para petani masih dihadapkan persoalan rendahnya harga getah sehingga tidak melakukan pemupukan secara baik.
Selain itu pada 2015 terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat sehingga juga mempengaruhi proses fotosintesis tanaman.
Penyakit gugur daun ini disebabkan oleh sejenis cendawan yang menghasilkan racun. Penyebarannya melalui udara, sehingga ketika menyerang satu daun maka akan menyerang daun lainnya. "Dan ujung-ujungnya satu hamparan," kata Gede.
Bahkan lahan milik Pusat Penelitian Karet di Sumbawa, Kabupaten Banyuasin pun tidak luput dari serangan penyakit gugur daun ini yakni memapar lahan produktif seluas 905 hektare dari total 1500 hektare lahan yang tersedia.
Saat ini tim peneliti sedang mendata luasan lahan yang terpapar. Sementara ini berdasarkan data dari perusahan-perusahaan perkebunan per Februari 2018 telah menyerang 22.000 hektare lahan. "Saya pastikan pasti lebih banyak lagi, karena perkebunan rakyat juga sudah terkena," kata dia.
Akibat dari penyakit tanaman ini, produksi getah karet Indonesia dipastikan mengalami penurunan 40-50 persen pada tahun ini.
Sebagai gambaran, lahan seluas 905 hektare di Sumbawa hanya menghasilkan 90 ton setiap panen dari seharusnya 180 ton. Padahal pada Juli-Agustus ini menjadi puncak panen getah karena memasuki puncak musim kemarau, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Sejauh ini, para peneliti telah menemukan solusi untuk mengatasi persoalan ini yakni dengan menyemprotkan cairan pembasmi dengan cara pengasapan. Melalui cara ini, tanaman akan terpulihkan kembali dalam masa tiga bulan.
Namun, solusi ini juga dalam dilema karena saat ini harga karet sedang jatuh yakni Rp7.000 per kilogram sehingga akan semakin memberatkan bagi petani. Untuk satu hektare lahan dibutuhkan biaya 180 ribu untuk satu kali pengasapan menggunakan cairan hexsagonal, sementaranya idealnya untuk pemulihan dibutuhkan tiga kali.
"Nanti daunnya akan tumbuh lagi. Tapi meski difogging tetap saja masih dalam ancaman, seperti yang dialami Malaysia saat ini. Akan tetapi, yang terpenting bagi kami peneliti di seluruh dunia yakni bagaimana caranya bisa melahirkan jenis klon (bibit) yang unggul dari penyakit daun," kata dia.
Sementara itu, Peneliti di Pusat Penelitian Karet Sumbawa Tri Rapani Febbiyanti mengatakan kejadian penyebaran penyakit gugur daun di perkebunan karet di Indonesia ini terbilang sangat mengkhawatirkan karena terjadi secara "wabah" (outbreak) atau menjangkit hingga puluhan ribu hektare. Kondisi ini berbeda dengan Malaysia yang juga sempat terkena tapi tidak dalam satu hamparan luas.
"Itulah kami mengumpulkan negara-negara produksen karet di dunia untuk mengatasi masalah ini. Kami ingin mengetahui bagaimana Malaysia mengatasinya, karena mereka bisa tidak outbreak, meski saat ini masih statusnya ancaman. Kami juga ingin mendengar solusi dari peneliti asal Pantai Gading yang menemukan pertama kali penyakit ini," kata dia.
Pertemuan yang diselenggarakan Pusat Penelitian Karet Indonesia dan International Rubber Development Board (IRRDB) diharapkan melahirkan solusi efektif atas persoalan ini, mengingat klon karet yang tahan terhadap penyakit gugur daun "RRIC 100" ternyata juga tidak tahan.
Bantu Petani
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane mengatakan serangan jamur ini berpotensi memangkas produksi karet nasional hingga 50 persen pada tahun 2018, atau bahkan 60 persen jika tidak segera diatasi.
Padahal, produksi karet nasional bergerak naik dalam tiga tahun terakhir, yakni 3,2 juta ton pada 2016, 3,6 juta ton pada 2017, dan ditargetkan menembus 3,7 juta ton pada 2018.
"Kami minta pemerintah segera menyelamatkan rakyat, tolong dibantu dengan penyuluhan dan pengobatan-pengobatan. Jangan sampai menimpa seluruh perkebunan karet kita," kata dia.
Seruan serupa juga disampaikan Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K Eddy.
Sumatera Selatan yang menopang 30 persen produksi karet nasional tentunya sangat khawatir atas kejadian ini. Luas perkebunan karet di Sumsel mencapai 1,3 juta hektare dengan produksi rata-rata sebanyak 1,1 juta ton getah per tahun.
Kontribusi Sumsel sebesar 30,04 persen dari produksi nasional ini tentunya sangat mencolok jika dibandingan Sumut (13,31 persen), Riau (10,29 persen), Jambi (8,38 persen), Kalimantan Barat (7,49 persen), Kalimantan Selatan (5,3 persen), dan provinsi lainnya (25,19 persen).
Oleh karena itu, Gapkindo Sumsel berharap pemerintah harus melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan perkebunan karet Indonesia, terutama di daerah sentra produksi getah.
"Di Sumsel ini, luas perkebunan karet milik rakyat itu mencapai 70 persen. Artinya, yang saat ini terjepit itu benar-benar petani rakyat. Kami minta pemerintah segera memberikan bantuan nyata, seperti pupuk dan penyemprotan hama gratis. Jika tidak dibantu, bisa jadi mereka tidak mau lagi menanam karet," kata Alex.
Ia mengungkapkan, saat ini saja petani karet di Sumsel sudah banyak yang beralih menjadi pekebun sayuran atau petani padi sejak harga getah anjlok di pasaran.
"Bisa jadi, karena tanaman karetnya sudah mati. Mereka tidak mau lagi menanam karet. Ini menjadi ancaman luar biasa, dan tidak bisa dipandang sebelah mata," kata Alex.
Surono, petani karet dan sayur mayur di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Muaraenim, Sumatera Selatan, tidak menyangkal ucapan Ketua Gakindo Sumsel itu. Saat ini dirinya sudah mengalihkan satu hektare lahan karetnya ke kebun sayur.
"Tinggal satu hektare lagi untuk tanaman karet, dan ini pun sudah terkena hama sejak Maret. Saya pun berpikir untuk menjadikannya kebun sayur juga," kata dia.
Serangan penyakit gugur daun pada perkebunan karet Tanah Air ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika berkaca dengan Brazil yang tidak bisa lagi menanam karet akibat penyakit ini, Indonesia sudah sepatutnya mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengatasinya karena asib ribuan petani sedang di ujung tanduk. (D019)