Purwokerto (Antarasumsel.com) - Beberapa waktu belakangan, kasus antraks menyita kembali perhatian publik menyusul temuan penyakit tersebut di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penyakit tersebut banyak mendapat perhatian karena penyakit antraks bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ternak ke manusia.
Penyakit antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri gram positif berbentuk tangkai yang berukuran sekitar 1 x 6 mikrometer, kata Ketua Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Elly Tugiyanti.
Elly menambahkan bahwa penyakit antraks dapat menular secara kontak langsung, inhalasi, penetrasi pada kulit, dan infeksi pada plasenta.
Kejadian antraks sering kali dipengaruhi musim, iklim, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Selain itu, kasus antraks sering muncul di awal musim hujan ketika rumput sedang tumbuh.
"Hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada di tanah. Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen, spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, dan pH," kata Elly.
Dosen Fakuktas Peternakan Unsoed itu menjelaskan bahwa penularan antraks pada manusia terjadi bila manusia kontak langsung dengan spora antraks yang ada di dalam tanah, pada tanaman, ataupun produk-produk hewan yang terjangkit.
"Penularan juga terjadi melalui udara yang mengandung spora antraks dan gigitan vektor atau pembawa kuman antraks. Misalnya, lalat piteuk atau tabanus," katanya.
Pekerja di sektor pengolahan kulit atau pejagalan liar, menurut dia, juga rentan terhadap serangan penyakit ini.
Ia menyebutkan terdapat beberapa tipe antraks, yakni pertama, antraks kulit. Kulit biasanya terlihat melepuh, seperti luka bakar, disertai deman dan sakit kepala.
Kedua, antraks saluran pencernaan yang ditandai dengan rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, hingga muntah darah.
Ketiga, antraks paru-paru yang ditandai dengan gejala lesu, lemah, batuk, dan gangguan saluran pernafasan.
Selanjutnya, antraks meningitis, terjadi bila kuman telah menyerang otak, sakit kepala hebat, kejang, dan penurunan kesadaran.
Ia menambahkan bahwa darah hewan yang kontak dengan udara akan mudah berubah menjadi spora yang menyebar dan mengendap dalam tanah.
"Bahaya laten yang tersembunyi dalam tanah ini akan keluar menyerang bila lingkungan kondusif terhadap penyebaran ini. Air yang tergenang merupakan lingkungan yang cocok untuk bangkitnya bakteri antraks," katanya.
Sementara itu, Bacillus anthracis memiliki dua tahap dalam siklus hidupnya, yaitu fase vegetatif dan spora dan mempertahankan siklus hidupnya. Bacillus anthracis membentuk dua sistem pertahanan, yaitu spora dan kapsul.
"Dalam menginfeksi sel inangnya spora antraks mengeluarkan dua racun yaitu, 'edema toxin' dan 'lethal toxin'," katanya.
Keganasan bakteri dapat dimatikan jika dibakar dengan suhu tinggi karena bakteri ini tidak tahan dengan suhu tinggi.
"Bacillus anthracis dapat dicegah dengan vaksin dan dapat diobati dengan berbagai macam antibiotik," katanya.
Kerja Sama
Guna mencegah penyakit antraks, butuh kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari peternak, masyarakat secara umum, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Pertanian.
Peternak dan masyarakat, kata Elly, berperan penting dalam pelaporan sehingga perlu dibekali pengetahuan dan wawasan tentang penyakit antraks, gejala, dan cara penanggulangannya.
Untuk mencegah timbulnya penyakit antraks ataupun penyakit-penyakit zoonosis lainnya, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian harus rutin dalam melakukan penyuluhan.
"Gerakan ke bawah kementerian melalui dinas-dinas jangan hanya jika ada kasus, setelahnya tidak ada tindak lanjut," katanya.
Di samping itu, harus ada perhatian khusus bagi daerah-daerah endemi antraks atau penyakit zoonosis lainnya, terutama terhadap kebijakan perpindahan maupun penjualan ternak antardaerah atau wilayah.
Masyarakat harus membiasakan diri dengan pola hidup bersih dan sehat.
"Cuci tangan dengan sabun sebelum makan, cuci sayuran atau buah-buahan, masak daging sampai matang, dan untuk daerah endemi hindari kontak langsung dengan bahan makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai terkena antraks serta peternak rutin melakukan vaksinasi pada ternaknya," kata Elly.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara terus menyosialisasikan bahaya penyakit antraks kepada masyarakat yang ada di wilayah tersebut.
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Banjarnegara Singgih Haryono mengatakan bahwa pihaknya telah menyosialisasikan hal itu di Pasar Hewan Tambakan. Selanjutnya, akan menyasar Pasar Hewan Purwonegoro, Wanayasa, kelompok tani ternak, dan para petani pemilik ternak.
Pasar hewan dipilih sebagai lokasi sosialisasi karena merupakan pintu masuk lalu lintas ternak dari luar daerah ke Banjarnegara.
"Sosialisasi berupa penyebaran brosur kepada para pedagang dan juga penyemprotan disinfektan di seputaran pasar hewan," katanya.
Sampai saat ini, kata dia, penyakit antraks belum masuk ke wilayah Banjarnegara. Namun, hal ini tidak dapat menjadi jaminan sebab distribusi lalu lintas ternak sangat terbuka.
Selain itu, kata Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Perikanan Banjarnegara Siti Maechasoh, populasi ternak sapi di Banjarnegara mencapai 32.000 ekor.
"Tentu sulit untuk melakukan tindakan pencegahan ini satu per satu karena keterbatasan petugas dan sarana yang ada sehingga sosialisasi kepada masyarakat dapat menjadi upaya efektif," katanya.
Jika ada hewan yang positif terkena antraks, kata Siti Maechasoh, hewan tersebut dengan radius tertentu dilarang keluar daerah guna mencegah perluasan cakupan penyakit.
Hewan ternak yang terkena setelah ditangani oleh petugas, lanjut dia, akan dikubur, kemudian pada radius tertentu dari titik kematian akan dilakukan penelitan kondisi hewan ternak dan dilakukan penyemprotan disinfektan.
Penyakit tersebut banyak mendapat perhatian karena penyakit antraks bersifat zoonosis, yaitu menular dari hewan ternak ke manusia.
Penyakit antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang merupakan bakteri gram positif berbentuk tangkai yang berukuran sekitar 1 x 6 mikrometer, kata Ketua Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Elly Tugiyanti.
Elly menambahkan bahwa penyakit antraks dapat menular secara kontak langsung, inhalasi, penetrasi pada kulit, dan infeksi pada plasenta.
Kejadian antraks sering kali dipengaruhi musim, iklim, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Selain itu, kasus antraks sering muncul di awal musim hujan ketika rumput sedang tumbuh.
"Hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada di tanah. Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen, spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, dan pH," kata Elly.
Dosen Fakuktas Peternakan Unsoed itu menjelaskan bahwa penularan antraks pada manusia terjadi bila manusia kontak langsung dengan spora antraks yang ada di dalam tanah, pada tanaman, ataupun produk-produk hewan yang terjangkit.
"Penularan juga terjadi melalui udara yang mengandung spora antraks dan gigitan vektor atau pembawa kuman antraks. Misalnya, lalat piteuk atau tabanus," katanya.
Pekerja di sektor pengolahan kulit atau pejagalan liar, menurut dia, juga rentan terhadap serangan penyakit ini.
Ia menyebutkan terdapat beberapa tipe antraks, yakni pertama, antraks kulit. Kulit biasanya terlihat melepuh, seperti luka bakar, disertai deman dan sakit kepala.
Kedua, antraks saluran pencernaan yang ditandai dengan rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, hingga muntah darah.
Ketiga, antraks paru-paru yang ditandai dengan gejala lesu, lemah, batuk, dan gangguan saluran pernafasan.
Selanjutnya, antraks meningitis, terjadi bila kuman telah menyerang otak, sakit kepala hebat, kejang, dan penurunan kesadaran.
Ia menambahkan bahwa darah hewan yang kontak dengan udara akan mudah berubah menjadi spora yang menyebar dan mengendap dalam tanah.
"Bahaya laten yang tersembunyi dalam tanah ini akan keluar menyerang bila lingkungan kondusif terhadap penyebaran ini. Air yang tergenang merupakan lingkungan yang cocok untuk bangkitnya bakteri antraks," katanya.
Sementara itu, Bacillus anthracis memiliki dua tahap dalam siklus hidupnya, yaitu fase vegetatif dan spora dan mempertahankan siklus hidupnya. Bacillus anthracis membentuk dua sistem pertahanan, yaitu spora dan kapsul.
"Dalam menginfeksi sel inangnya spora antraks mengeluarkan dua racun yaitu, 'edema toxin' dan 'lethal toxin'," katanya.
Keganasan bakteri dapat dimatikan jika dibakar dengan suhu tinggi karena bakteri ini tidak tahan dengan suhu tinggi.
"Bacillus anthracis dapat dicegah dengan vaksin dan dapat diobati dengan berbagai macam antibiotik," katanya.
Kerja Sama
Guna mencegah penyakit antraks, butuh kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari peternak, masyarakat secara umum, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Pertanian.
Peternak dan masyarakat, kata Elly, berperan penting dalam pelaporan sehingga perlu dibekali pengetahuan dan wawasan tentang penyakit antraks, gejala, dan cara penanggulangannya.
Untuk mencegah timbulnya penyakit antraks ataupun penyakit-penyakit zoonosis lainnya, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian harus rutin dalam melakukan penyuluhan.
"Gerakan ke bawah kementerian melalui dinas-dinas jangan hanya jika ada kasus, setelahnya tidak ada tindak lanjut," katanya.
Di samping itu, harus ada perhatian khusus bagi daerah-daerah endemi antraks atau penyakit zoonosis lainnya, terutama terhadap kebijakan perpindahan maupun penjualan ternak antardaerah atau wilayah.
Masyarakat harus membiasakan diri dengan pola hidup bersih dan sehat.
"Cuci tangan dengan sabun sebelum makan, cuci sayuran atau buah-buahan, masak daging sampai matang, dan untuk daerah endemi hindari kontak langsung dengan bahan makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai terkena antraks serta peternak rutin melakukan vaksinasi pada ternaknya," kata Elly.
Sosialisasi Antraks
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara terus menyosialisasikan bahaya penyakit antraks kepada masyarakat yang ada di wilayah tersebut.
Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Banjarnegara Singgih Haryono mengatakan bahwa pihaknya telah menyosialisasikan hal itu di Pasar Hewan Tambakan. Selanjutnya, akan menyasar Pasar Hewan Purwonegoro, Wanayasa, kelompok tani ternak, dan para petani pemilik ternak.
Pasar hewan dipilih sebagai lokasi sosialisasi karena merupakan pintu masuk lalu lintas ternak dari luar daerah ke Banjarnegara.
"Sosialisasi berupa penyebaran brosur kepada para pedagang dan juga penyemprotan disinfektan di seputaran pasar hewan," katanya.
Sampai saat ini, kata dia, penyakit antraks belum masuk ke wilayah Banjarnegara. Namun, hal ini tidak dapat menjadi jaminan sebab distribusi lalu lintas ternak sangat terbuka.
Selain itu, kata Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Perikanan Banjarnegara Siti Maechasoh, populasi ternak sapi di Banjarnegara mencapai 32.000 ekor.
"Tentu sulit untuk melakukan tindakan pencegahan ini satu per satu karena keterbatasan petugas dan sarana yang ada sehingga sosialisasi kepada masyarakat dapat menjadi upaya efektif," katanya.
Jika ada hewan yang positif terkena antraks, kata Siti Maechasoh, hewan tersebut dengan radius tertentu dilarang keluar daerah guna mencegah perluasan cakupan penyakit.
Hewan ternak yang terkena setelah ditangani oleh petugas, lanjut dia, akan dikubur, kemudian pada radius tertentu dari titik kematian akan dilakukan penelitan kondisi hewan ternak dan dilakukan penyemprotan disinfektan.