Jakarta (ANTARA) - Saat kuliah di Bandung, aku pernah terdesak oleh masalah perut. Lapar.
Karena kiriman belum datang. Kiriman orang tua mestinya cukup. Karena manajemen buruk, akhirnya ludes sebelum waktunya.
Subuh itu aku shalat sangat khusyuk, biasanya kesiangan atau malah bolong. Saat itu aku berdoa dengan cara menagih. Aku pikir kalau Tuhan itu Maha Besar, mosok nggak sanggup membayarkan tagihan yang remeh ini. Gengsi dong.
Dan yang aku sebut menagih adalah mengungkit-ungkit peristiwa belasan tahun silam.
"Tuhan. Engkau pasti ingat waktu ibuku masih mengajar di SD, ibuku mendapati seorang muridnya yang sering pingsan karena perutnya kosong. Sejak itu ibuku menyuruh anak itu tiap pagi sarapan di rumahku sebelum ke sekolah. Kalau itu kebaikan, sekaranglah saat yang paling tepat buat Engkau untuk membalasnya. Kalau Kau ingin aku lebih beriman, sekaranglah kesempatan yang terbaik".
Aku merasa Tuhan sudah terpojok dengan doaku itu, maka siangnya aku pun melangkah tenang ke warteg terdekat untuk menyambut jawaban Tuhan. Aku pesan nasi satu porsi lebih dan disiram kuah gratisan serta lauknya kripik tempe.
Semua berjalan seperti biasa. Tak ada tanda-tanda bakal terjadi sesuatu yang dramatis seperti dalam sinetron TV.
Keringat dingin mulai menetes. Kulihat wajah-wajah di dekatku, semuanya sedang lahap. Tak ada wajah malaikat yang diutus Tuhan membayar tagihan makananku.
Yang kutangkap adalah wajah seorang tentara yang matanya langsung galak dan tak sengaja mataku menabrak matanya. Sepertinya pangkatnya rendahan, makanya suka pamer kekuatan.
Dia sampai mendekatkan duduknya ke arahku.
Dia menanyaiku dengan suara yang dipaksakan berat dan menakutkan. "Heh! Orang mana kamu?!" gertaknya.
Untuk menyebut kota asalku Pemalang, pasti banyak yang tidak tahu. Pemalang itu kota kecil yang sangat biasa dan tak punya apa-apa untuk dikenal. Maka kujawab saja, "Jawa Tengah".
"Jawa Tengah? Kota mana?" kejarnya lagi. "Kabupaten Pemalang", jawabku gemetar. "Kecamatan?" Busyet dia masih ngejar lagi.
"Kecamatan Petarukan," jawabku tambah bingung.
"Desanya mana?" tanyanya lagi lebih meneror.
"Desa Serang," jawabku pasrah. Mendengar nama desaku, dia menatap mataku menyelidik.
Lalu matanya berpindah melihat ke piringku. Sehembusan nafas ia bangkit meninggalkanku.
Huff. Aku lega tak terjadi apa-apa. Aku tak berani melirik-lirik dia lagi. Dalam hati aku ngedumel. "Tuhan, kalau tak mau ngutus malaikat, jangan ngutus setanlah. Biasa aja, dong."
Braaakk! Asem, tentara itu lagi, duduk di sebelahku. Tapi, wajahnya mulai melunak.
"Hus. Kowe Serang-e ngendi? Anakke sapa?" tanya dia dengan suara yang kontras dengan sebelumnya. Lembut dan nyeduluri, bahkan kini dia ngomong Jawa ngapak semedok-medoknya.
Kawan, kalau kau sebatang kara di rantau, maka ketemu orang yang sebahasa denganmu itu rasanya kayak Lebaran.
Aku seperti pulang dan mendengar tetanggaku sedang berisik sambil cari kutu. Aku seperti terdampar ke suasana pagi di-soundtrack-i penyiar radio dangdut yang medok. Aku bahkan seperti mencium bau pesing tanah bekas anak-anak kampungku kencing.
Dan suara "brakk" tadi adalah suara mangkuk berisi opor ayam yang diletakkan agak tergesa di atas meja.
Mangkuk itu kini bergeser ke arahku begitu aku menyebut nama orangtuaku. "Nih, dimakan. Ora usah mbayar".
Hahahaha... Aku seperti mendengar malaikat ketawa-tawa. "Baru dikasih lapar sedikit aja udah berani nagih Tuhan, berani memojokkan Tuhan. Rasaiiin loe!"
Bekas Murid Ibuku
Tentara itu lalu memperkenalkan jika dia adalah bekas murid ibuku. "Aku disik murid ibumu". Matanya berkaca-kaca menerawang jauh menghindari tatapan langsung.
"Ibumu galak. Tapi kalau nggak galak, mungkin banyak yang gak lulus, termasuk aku. Yang khas dari ibumu, sebelum mulai pelajaran selalu bertanya ke murid-muridnya, sapa yang belum makan?"
"Aku salah satu murid yang selalu kelaparan kalau ke sekolah, untung ada ibumu". Dia tak kuat juga akhirnya menyeka matanya.
"Warteg iki duwekku. Usaha sampingan kecil-kecilan. Kalau kamu lapar makanlah di sini. Tidak usah sungkan. Anggaplah aku kepanjangan tangan ibumu".
Angin Bandung yang dingin seketika menghangat. Kurasakan kasih sayang ibuku menembus melampaui ratusan kilometer, Pemalang - Bandung. Menyuapi anaknya yang sedang lapar.
Sejak itu kami langsung dekat. Seperti saudara lama yang baru saling menemukan. Dia, seterusnya menjadi pelindungku selama di Bandung.
Maha Penolong
Dan Tuhan? Ternyata gampang sekali terpojok oleh kebaikan yang dilakukan makhluknya. Tak tega untuk tidak menolong siapa pun yang dalam dirinya bersemayam kebaikan.
Satu kebaikan balas seribu kebaikan
Seperti hari itu dan seterusnya, aku memanen kebaikan yang pernah ibuku tanam belasan tahun silam, meski hanya sekedar memberi makan.
Aku teringat akan firman Tuhan dalam surah Al-Baqarah ayat 261,
"Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, (ia) bagaikan (menebar) sebutir benih (sebutir benih itu) menumbuhkan tujuh tangkai, dan dalam tiap-tiap tangkai tumbuh 100 butir."
Masya Allah. Allah tidak akan melupakan kepada umatnya yang selalu berbuat baik kepada siapa pun.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabb-mu (Allah) Maha Pemalu. Maha Dermawan.
Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa memohon kebaikan dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikan kedua tangan hamba-Nya itu dalam keadaan hampa.”
(HR. Ahmad 5/438)
Selalu, tidak ada kebaikan yang sia sia..., kawan. Masya Allah.
*) Ahmad Mukhlis Yusuf adalah Executive Coach dan pendamping perubahan, serta Direktur Utama Perum LKBN ANTARA (2007-2012).