Pulau Kemaro dan para pemburu harta karun

id pulau kemaro,pemburu harta karun,sungai musi,benda bersejarah

Pulau Kemaro dan para pemburu harta karun

Warga menunjukkan perhiasan emas yang diduga peninggalan masa kerajaan Melayu kuno atau Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (28/10/2021). Perhiasan emas tersebut ditemukan warga di dasar Sungai Musi. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Tangan yang menjadi mata, membedakan mana logam mana batu atau sampah. Bila dirasa itu logam kalau ukurannya kecil dimasukkan ke saku celana, bila ukurannya cukup besar diikatkan ke tubuh
Sumatera Selatan (ANTARA) - Pulau Kemaro, merupakan pulau destinasi wisata yang berjarak sembilan kilometer dari pusat Kota Palembang, Sumatera Selatan. Belakangan kawasan  itu menjadi perbincangan karena menyimpan tradisi unik seputar aktivitas masyarakat setempat.

Di pulau delta kecil seluas 79 hektare (Ha), yang juga menjadi tempat persemayaman terakhir putri Sriwijaya dan berdampingan dengan Pagoda sembilan lantai Klenteng Hok Tjing Rio, itu ternyata menjadi tempat bermukimnya para keluarga yang memproklamirkan diri sebagai pemburu harta karun di Sungai Musi.

Salah satunya Budiman (30) yang mengaku sudah empat tahun terjun dalam aktivitas perburuan harta karun di sana. Bahkan, menurutnya, keahlian itu didapat dari Bak Hamid (58)--ayahnya--yang sejak tahun 2009 menjadi penyelam menyusuri Sungai Musi untuk mencari harta karun.

Selama kurun waktu tersebut, Budiman dan rekan-rekan terbilang sukses mengumpulkan pelbagai harta benda kuno peninggalan prasejarah seperti keramik, uang logam, dan bahkan perhiasan emas.

Pemburuan harta

Kamis pagi (28/10) cuaca cukup cerah, Budiman bersama lima orang anggota timnya termasuk Bak Hamid memulai perjalanan dengan mengendarai ketek--perahu mesin--sewaan. Mereka menyisiri sisi barat Pulau Kemaro.

Perjalanan yang mereka tempuh kali ini tak lebih dari 20 menit, dan mereka tiba di satu titik yang diyakini tertimbun benda-benda berharga zaman kerajaan, jangkar perahu pun dijatuhkan.

Dengan cekatan Budiman menyiapkan peralatannya, ia menutup wajahnya menggunakan masker terbuat dari kaca, kayu, dan karet lalu terhubung selang oksigen.

Persiapan itu dibantu oleh rekannya, Baddarudin, yang bertugas sebagai porter pemantau sekaligus mengatur tekanan udara pada tabung yang dijadikan sumber oksigen Budiman. Setelah semua siap, Budiman pun memulai penyelaman.

Rekan yang menunggu dari atas kapal duduk termangu seraya melempar joran pancing. Dalam benak mereka berharap Budiman berhasil keluar ke permukaan sungai sedalam 17 - 25 meter tersebut dan membawa sekantung perhiasan.

Baca juga: Pemburu benda peninggalan Kerajaan Sriwijaya gunakan "metal detektor"

Setelah sekitar dua jam menyelam, Budiman muncul kembali ke permukaan air. Ia menarik nafas terengah-engah seraya menjulurkan tangan yang langsung disambut dengan sambutan sukacita oleh rekan-rekannya.

Tampak di saku celana jinsnya terlihat barang-barang yang ia temukan dari dasar sungai. Melihat itu pun Badaruddin dan rekan lainnya tampak gembira. Mereka tak sabar menunggu untuk mengetahui yang ditemukan.

Satu per satu barang temuan dikeluarkan dari saku celana, Budi berhasil mendapatkan empat pecahan keramik dan satu unit mata tombak sepanjang jengkalan tanggan pria dewasa, tapi kali ini mereka belum menemukan emas.

“Itu cukuplah, masih bisa dijual meski harganya terbilang murah, paling tinggi Rp100 ribu per buahnya oleh penadah,” kata Budiman.

Bertaruh nyawa

Menurutnya, bukan perkara yang mudah untuk bisa mendapatkan benda berharga dari dasar Sungai Musi. Sebab, arus di bawah mengalir deras dan pandangan sangat gelap, lampu senter yang biasa digunakan nelayan tidak bisa menembus gelapnya dasar sungai.

Selain itu di sana juga sangat lah dingin, jadi kondisinya sangat berbeda dengan apa yang ada di permukaan yang kelihatan tenang.

Budiman hanya bisa melakukan dengan cara meraba-raba pasir dan sampah sungai menggunakan jemarinya sehingga tak jarang ia pun terluka.

“Tangan yang menjadi mata, membedakan mana logam mana batu atau sampah. Bila dirasa itu logam kalau ukurannya kecil dimasukkan ke saku celana, bila ukurannya cukup besar diikatkan ke tubuh,” kata dia. Terbayang betapa peliknya perjuangannya untuk mendapatkan benda-benda berharga dengan kondisi tersebut.

Pecahan keramik berupa mangkuk, piring, atau gerabah merupakan benda yang paling sering ditemukan oleh mereka.

Dari temuan tersebut tidak semuanya dihargai murah, karena pengepul memiliki penilaian yang tergantung dengan kelangkaan, umur dan motifnya. “Paling mahal bisa mencapai Rp10 juta,” cetusnya.

Emas Sungai Musi

Seperti yang dialami Wisnu (44) pemilik dari ketek sewaan Budiman, ia menyimpan koin-koin kuno China, manik-manik diduga berlian dan yang paling berharga cincin, anting, dan potongan perhiasan berbahan emas.

“Ada masih saya simpan cincin emas dengan simbol agama Budha yang utuh. Didapatkan tiga tahun silam. Sudah banyak yang menawar, tapi tidak cocok dengan harga,” cetus cukong para pemburu harta tersebut.

Menurut dia, karena penemuan tersebutlah yang menyebabkan saat ini hampir seluruh masyarakat setempat beralih profesi menjadi pemburu harta karun.

Sebelumnya, sekitar tahun 1970-an, masyarakat setempat merupakan nelayan, pencari balok kayu dan pencari besi tua. Saat ini sedikitnya ada 15 kapal yang aktif beroperasi, satu di antaranya adalah milik Wisnu.

Diyakini saking banyaknya harta yang tersimpan di dasar Sungai Musi, sebagian pemburu harta karun bahkan menggunakan cara lain mendapatkan harta. Mereka menyedot pasir dari dasar Sungai Musi menggunakan mesin pompa sederhana, lalu pasir itu "dilimbang" (direndam dalam air untuk memisahkan pasir dengan benda lainnya).

Baca juga: Masyarakat Pulau Kemaro Kota Palembang kembangkan wisata kampung air

“Dari Pasir yang seukuran kerikil dikumpulkan, memisahkan pasir dengan serbuk emas, kemudian direndam ke dalam air merkuri. Setiap satu gram emas dihargai Rp500 ribu oleh ke penadah,” cetus Supriadi anggota tim pemburu harta karun.

Ia menerangkan, dari penjualan emas mereka bisa mendapatkan uang senilai Rp3-5 juta setiap bulannya. Meskipun memang pelimbangan tidak selalu berhasil setiap harinya.

Respons pemerintah

Dinas Kebudayaan Kota Palembang melalui Kepala Bidang Cagar Budaya dan Permuseuman, Rudi Indrawan, di Palembang, Sabtu, mengatakan, isu harta karun di Sungai Musi yang disinyalir merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya sudah sejak dulu tersedar dan menjadi perhatian pihaknya.

Kembali marak diperbincangkan sekitar beberapa tahun terakhir setelah penyelam menemukan patung Buddha dan perhiasan emas dan permata.

“Beberapa dijual dengan harga yang sangat tidak layak dengan nilai sejarah dari harta tersebut, bila memang benar itu peninggalan sejarah,” kata dia.

Merespons supaya tidak terjadi penghilangan benda bersejarah, Pemerintah Kota Palembang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Cagar Budaya.

Di dalamnya mengatur pihak yang menemukan harta peninggalan yang bernilai sejarah dilarang untuk menjual atau mengelolanya secara sembarang dan melaporkan penemuan kepada pihak dinas.

“Sesuai dengan bunyi perda tersebut, bila ada harus diserahkan (dinas) kebudayaan, lalu kompensasinya akan diatur dalam regulasi,” ujarnya

Sampai saat ini, menurutnya, belum ada temuan benda peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Mayoritas benda yang ditemukan seperti yang disimpan di Museun Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam berupa keramik mangkuk, guci, piring, alat tukar uang logam tembaga.

“Saat ini sedang berkoordinasi dengan tim ahli arkeologi dan ahli cagar budaya memastikan terkait keberadaan harta benda dari Sungai Musi tersebut,” tandasnya.
Baca juga: Palembang matangkan konsep penataan Pulau Kemaro
Baca juga: Pemkot Palembang undang investor garap Pulau Kemaro