Cerita Kaka Slank melintasi hutan Papua dari udara

id kaka slank,berita sumsel, berita palembang, antara palembang

Cerita Kaka Slank melintasi hutan Papua dari udara

Kaka Slank (kanan) dan perwakilan anak muda berprestasi Papua Yokbet Merauje (kiri) saat ikuti monitoring dari udara tutupan hutan dari Merauke hingga Jayapura pada Rabu (22/9/2021). (ANTARA/Virna P Setyorini)

ila-gilaan sih. Tergantung manusia Indonesia-nya mau enggak mempertahankan sisa-sisa hutan Indonesia

Jakarta (ANTARA) - "Karena hutan lebih 'life', lebih hidup, lebih mencerminkan kehidupan". Itulah hutan dalam benak Kaka.

Hutan bukan hanya sekadar tutupan rapat pepohonan pada sebuah bentang alam. Triliunan kehidupan ada di dalamnya, ujar vokalis grup band Slank tersebut, mencoba menggambarkan betapa riuhnya hutan dibanding sebuah perkotaan.

Pria kelahiran Jakarta, 47 tahun lalu itu tentu bukan tidak ada alasan menyebut angka triliunan. Boleh jadi ada yang tertawa mendengarnya, karena tidak banyak orang yang sadar, bahwa memang bukan hanya manusia, satwa dan tumbuhan saja yang hidup di muka Bumi.

Entah berapa jumlah mikroorganisme yang hidup di balik setiap lembar daun di dalam hutan, di aliran air sungai, di tanah, di daun-daun kering yang berserakan di lantai hutan, di pesisir dan laut, di air rawa dan gambut, atau di setiap satwa liar yang hidup di dalam hutan. Ukurannya yang begitu mungil, tidak kasatmata, membuat manusia "lupa" ada makhluk lain yang hidup bersama mereka bahkan sejak miliaran tahun lalu.

Bakteri, fungi, alga mikroskopik, protozoa, dan terkadang virus juga ada yang memasukkannya sebagai mikroorganisme yang kerap bersentuhan dengan makhluk hidup lainnya seperti manusia. Banyak yang memberi manfaat, meski ada pula yang justru memunculkan penyakit.

Kaka merasakan pengalaman baru, mengikuti monitoring tutupan hutan dari udara bersama Yayasan EcoNusa pada Rabu (22/9). Rutenya sangat istimewa, melintasi sisi timur Papua dari Merauke hingga Jayapura, dengan jarak penerbangan dari Bandar Udara Internasional Mopah Merauku ke Bandar Udara Internasional Sentani Jayapura sejauh 661 kilometer (km) atau 411 mil.

Ia tidak sendiri dalam penerbangan itu, ditemani seorang perwakilan kaum muda Papua dengan sederet prestasi, Yokbet Merauje. Monitoring hutan dengan menggunakan pesawat 208B Grand Caravan tersebut mulai sekitar pukul 12.30 WIT.

Pesawat berkapasitas maksimal 13 penumpang yang diisi hanya 10 orang termasuk pilot dan co-pilot tersebut terbang rendah di awal penerbangan, melintasi hutan dan lahan di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel. Begitu riuh Kaka dan Yokbet yang akrab disapa Yoke mengomentari hamparan tutupan hutan lebat berwarna hijau gelap.

Sensasinya tentu berbeda melihat secara langsung hutan Papua yang masih alami dari ketinggian, sambil merasakan embusan angin kencang saat jendela belakang pesawat Cessna itu dibuka. Keduanya terlihat bersemangat.

Namun vokalis grup band Slank yang mempunyai nama lengkap Akhadi Wira Satriaji itu cukup kaget saat ada bagian di mana sejauh mata memandang yang terlihat hanya pohon-pohon kelapa sawit yang ditanam beraturan. Terlihat terkejut lalu sedih menyadari betapa banyak dan luasnya hutan Papua yang telah berganti hamparan perkebunan monokultur di sana.

Padahal, hanya beberapa saja dari puluhan konsesi perkebunan kelapa sawit di Papua yang dilewati saat monitoring itu. Jika melihat peta spasial EcoNusa dan berdasarkan data dari Bappeda Provinsi Papua, setidaknya ada tiga konsesi perkebunan kelapa sawit dalam kawasan food estate di Merauke dilewati, selain juga dua perkebunan kelapa sawit yang letaknya berbatasan dengan Papua Nugini, serta ada pula yang berdekatan dengan dan tumpang tindih wilayah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Boven Digoel yang dilewati.

Pesawat kemudian meninggi saat mendekati wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang, menghindari jajaran Pegunungan Jayawijaya yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Lanskap pegunungan tertinggi di Indonesia itu terkadang sedikit terlihat dari celah-celah awan gelap yang menyelimutinya.

Jendela pesawat yang sebelumnya dibuka lebar sudah tertutup rapat, tidak terasa lagi embusan angin kencang masuk dalam pesawat. Suasana menjadi sunyi, tidak ada yang bersuara, hanya mesin dan propeler pesawat saja yang bising.

Hutan Papua dan Papua Nugini terlihat pekat, rapat, tanpa celah dari atas sana. Hanya sesekali terlihat landasan pacu yang dikelilingi hutan lebat di wilayah Pegunungan Bintang dan tampak mungil dari ketinggian jika dilihat dengan mata telanjang.

Sekitar pukul 15.30 WIT, saat melewati Keerom, lanskap pegunungan berganti dengan dataran lebih rendah. Kembali terlihat perkebunan kelapa sawit yang kali ini usia tegakannya tampak lebih tua dan sebagian seperti tidak terawat.

Tidak sebanyak di Merauke dan Boven Digoel, namun cukup luas. Pemandangan sama terlihat saat mendekati Jayapura, jajaran pohon-pohon kelapa sawit yang tersusun beraturan juga terlihat dengan banyak daunnya sudah menguning dan mengering.

Pesawat Cessna itu akhirnya mendarat mulus di landasan pacu Bandar Udara Internasional Sentani di Jayapura sekitar pukul 16.10 WIT.

Kata Kaka dan Yoke

Komentar Kaka dan Yokbet yang akrab disapa Yoke hampir senada. Terbang rendah di atas hutan dan lahan Papua menjadi pengalaman pertama yang membuka mata mereka bagaimana kondisi terkini hutan di Tanah Papua.

"Gila-gilaan sih. Tergantung manusia Indonesia-nya mau enggak mempertahankan sisa-sisa hutan Indonesia, gitu. Kita enggak cuma ngomong Papua deh, ngomong yang di Sumatera, yang di Kalimantan yang masih ada sisa walau enggak sebanyak yang di Papua tapi masih ada sisa di sana," kata Kaka saat ditanya tanggapannya soal alih fungsi hutan untuk perkebunan monokultur yang baru dilihatnya.

Kaka lantas balik bertanya,"Tapi balik lagi ke manusia Indonesia-nya. Mau enggak mempertahankan itu, mau enggak masih punya hutan?"

Menurut dia, bisa saja masyarakat Indonesia memilih untuk tidak ingin lagi memiliki hutan, membabat habis lalu dijadikan kota semua. Namun secara pribadi dirinya memilih untuk tetap memiliki hutan, karena lebih mencerminkan kehidupan ketimbang perkotaan.

Hutan Papua menjadi "paru-paru" terakhir Indonesia. Sebuah kewajiban bagi masyarakat Indonesia untuk menyelamatkan hutan-hutan yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan, dan menjaga apa yang ada di Papua.

"Maksudnya bukan buat aku sih, buat anak cucu. Enggak 'fair' kalau kita tidak menyisakan hutan kepada mereka untuk mereka pelajari," kata Kaka.

Ia lantas kembali bertanya apakah Indonesia benar-benar sudah tidak berkecukupan menghasilkan pangan dari lahan pertanian dan perkebunan yang sudah ada, sehingga perlu membuka hutan lagi untuk food estate.

"Pertanyaannya, memang kurang? Ya itu sih, kalau memang butuh lumbung pangan ya aku pikir ada lokasi lain yang lebih enggak se-miris kalau hutan Papua harus 'dikorbanin'," ujar dia.

Sementara Yokbet atau yang biasa disapa Yoke mengatakan sebagai anak Papua baru kali ini melihat lebih jelas dengan mata kepala sendiri kondisi dan persoalan hutan Papua dari udara dengan pesawat yang terbang rendah. Kebakaran hutan hingga alih fungsi hutan dan lahan untuk perkebunan monokultur,

"Perasaannya tuh campuran sebenarnya, lihat hutan lebat belum disentuh sama sekali ada perasaan senang. Tapi ada beberapa masalah yang saya lihat juga secara langsung itu yang membuat saya 'ni sa po hati macam ta belah sedikit'," kata Yoke merasa hatinya terbelah mengetahui kondisi hutan Papua yang sudah banyak beralih fungsi.

Ia merasa banyak anak-anak Papua belum terlalu peduli dengan kondisi hutannya mungkin karena belum pernah melihat secara langsung kondisinya secara langsung. Namun dirinya percaya, mereka akan peduli dan melihat dengan baik persoalannya.

Benahi tata kelola

CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar mengatakan hasil monitoring tutupan hutan dan lahan yang dilakukan dari Merauke, Boven Digoel, Keerom hingga Jayapura tersebut harapannya dapat membantu evaluasi perizinan konsesi di Papua.

Dari monitoring berjam-jam dari udara tersebut, menurut dia, melintasi wilayah-wilayah yang akan tumpang tindih dengan proyek food estate, perluasan perkebunan kelapa sawit yang dialokasikan untuk Merauke saja hingga dua juta hektare. Terbayang jika semua hutan alam yang masih baik tadi dibuka maka emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan akan sangat besar.

Sekali pun wilayah yang dilewati jarang terlihat rumah, namun ia menegaskan itu bukan lahan kosong, sudah ada pemiliknya yakni masyarakat adat. Jadi jika hutan itu beralih fungsi maka mereka akan kehilangan sumber-sumber mata pencahariannya.

Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sana, menurut dia, sudah untung besar-besaran dari kayunya saja. Tapi belum tentu juga hak-hak masyarakat adat di Merauke dan Boven Digoel dapat terpenuhi dan mereka mendapat manfaatnya.

Masyarakat asli di sana sebenarnya sudah memiliki kecukupan pangan dari hutan. Jadi, menurut Bustar, lumbung pangan yang akan dibangun di Merauke tidak akan berimplikasi banyak terhadap ekonomi masyarakat di sana, belum lagi masalah budaya di mana mereka belum siap untuk bekerja di perkebunan seperti saudara-saudara mereka di Jawa dan pulau-pulau lainnya.

"Yang kita mau, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali untuk membuka hutan-hutan Merauke yang alami ini. Dan memikirkan ulang pola yang akan dikembangkan untuk Orang Asli Papua," ujar dia.

Dengan tidak berlanjutnya kebijakan moratorium sawit, artinya hutan-hutan di Merauke hingga Boven Digoel yang termonitor tadi, menurut Bustar, akan masuk daftar tunggu utama yang akan dialihfungsikan selanjutnya. Padahal kondisi tata kelola perkebunan sawit saat ini menimbulkan banyak kerugian negara.

Beralihnya HPH di Papua menjadi perkebunan kelapa sawit justru, menurut dia, menjadi pertanda kebangkrutan hutan di Indonesia sehingga mudah dikonversi. Karenanya evaluasi perizinan sawit menjadi salah satu hal utama untuk menyelamatkan hutan di Papua, mengingat banyak sekali yang didapat dengan cara tidak baik, dan ada pula yang tidak tergarap dengan baik sehingga menimbulkan kerugian negara yang besar.

"Moratorium menjadi penting, tapi yang lebih penting bagaimana menjalankan isi dari moratorium itu. Karena isi dari moratorium itu perbaikan tata kelola. Artinya kalau moratorium terus tapi enggak 'ngapa-ngapain' ya sama saja," ujar dia, mengingat hingga kebijakan Moratorium Sawit berakhir hanya pemerintah Provinsi Papua Barat yang melakukan evaluasi perizinan untuk perkebunan sawit.

Maka moratorium sawit hendaknya dilakukan berbasis hasil, bukan waktu. Sampai evaluasi perizinannya selesai, tata kelola sawit sudah benar, baru moratorium bisa dibuka.

Ibarat kata, tidak bisa buka kran sambil perbaiki pipa. Pastikan dulu pipa tidak bocor kiri dan kanan, baru kran dapat dibuka kembali, sehingga air yang bermanfaat dapat keluar maksimal untuk kebaikan Indonesia.