67 keluarga transmigran di Sumsel mengaku dianiaya

id Penganiayaan,Transmigran

67 keluarga transmigran di Sumsel mengaku dianiaya

Ilustrasi kekerasan,pemukulan, penganiayaan, kekerasan. (ANTARA/ Ridwan Triatmodjo)

Musi Rawas Utara (ANTARA News Sumsel) - Puluhan warga transmigrasi yang bermukim di Dusun V, Desa Air Bening, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, mengaku dianiaya warga setempat berinisial JS.

"Kami mendapat laporan dari warga transmigrasi, ada sekitar 67 kepala keluarga yang dianiaya, katanya yang menganiaya mereka itu warga sini, nama inisialnya JS," kata Kepala Desa Air Bening, Marsup di Musi Rawas Utara (Muratara), Minggu.

Sebagai pemerintah desa, pihaknya sudah mefasilitasi warga transmigrasi tersebut untuk melapor kepada aparat kepolisian maupun pemerintah Kabupaten Muratara, atas penganiayaan yang terjadi.

"Ini bentuknya laporan warga, kami sebagai pemerintah desa sudah memfasilitasi, mereka mau lapor polisi, kemarin kami siapkan kendaraan untuk mengantar mereka bertemu dengan Wakil Bupati Muratara," katanya.

Menurut Kepala Dusun V Desa Air Bening, Sungkrono mengatakan berdasarkan laporan dari warganya, bentuk penganiayaan yang dilakukan oleh JS tersebut adalah perampasan lahan milik warga, pembakaran rumah warga, serta pengusiran warga dari perkampungan.

"Laporan yang kami terima, JS ini sudah sangat meresahkan, warga diusirnya, rumahnya dibakar, lahan perkebunan milik warga dirampasnya, bahkan pengajian warga dibubarkan dan tidak boleh melaksanakan kegiatan keagamaan," ujar dia.

Sungkrono menjelaskan, warga transmigrasi dari Pulau Jawa datang ke Desa Air Bening awalnya direkrut oleh JS, dengan membayar uang Rp300 ribu dan mendapatkan satu paket lahan kosong yang masih hutan belantara, bekas lahan perusahaan PT Barito.

Lanjutnya, setelah warga menggarap lahan hingga menjadi kebun, JS justru ingin merebut kembali lahan yang sudah dibeli tersebut dan memaksa warga agar membayar uang Rp5 juta setiap paket lahan perkebunan.

Menurut salah seorang warga yang menjadi korban penganiayaan, GM membenarkan bahwa dirinya dan beberapa warga lainnya dipaksa membayar uang Rp5 juta atas lahan yang sudah digarapnya menjadi kebun.

"Tadinya kami beli satu paket Rp300 ribu, bentuknya masih hutan dan semak belukar, tapi setelah kami garap, kami disuruh bayar lima juta, kalau tidak, kebun kami mau diambilnya," ujar dia.

"Terus kami ada yang diusir, ada yang dibakar rumahnya, kebun kami dirampasnya, keluarga kami juga diancam, kami takut, kami minta perlindungan dari pemerintah karena kami tinggal dan mencari hidup di sini," tambahnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Muratara, Devi Suhartoni mengatakan, pengusiran terhadap warga transmigrasi merupakan perbuatan melanggar hukum, mereka juga warga Indonesia yang berhak mendapat perlindungan dan keamanan.

"Hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak boleh ada pengusiran, mau dari Jawa, dari Madura, Kalimantan, ‎kalau sudah tinggal di Muratara mereka warga Muratara, wajib kita lindungi," tegasnya.

Devi Suhartoni mengatakan, dirinya akan melaporkan kejadian itu kepada Bupati Muratara dan berkoordinasi dengan pihak kepolisian, serta meminta warga yang terzolimi agar membuat daftar siapa saja yang menjadi korban.

"Langkah pertama, kejadian ini akan saya laporkan dulu ke pak Bupati, nanti kami akan berkoordinasi dengan Kapolres Musi Rawas," kata Devi.

Dia mengaku terkejut dengan laporan warga transmigrasi dari Desa Air Bening tersebut, terutama terhadap keluhan warga yang dianiaya sampai mereka diusir, rumah mereka dibakar, lahan mereka dirampas dan dilarang melakukan kegiatan keagamaan.

"Saya sangat kaget jika sampai hak warga diambil‎‎, siapa pun orang di Muratara mau KTP Muratara atau tidak, jika sudah datang dan tinggal di Muratara, akan kami lindungi‎," tegasnya.