Jakarta (Antarasumsel.com) - Ada Santosa Amin di balik suara cempreng Spongebob Squarepants pada awal 2000-an.
Spongebob
bukan satu-satunya tokoh yang “dihidupkan” oleh Santos, panggilan akrab
dubber tersebut. Dalam kurun delapan tahun terakhir, dia dipercaya
mengisi suara Suneo dalam kartun Jepang Doraemon.
Begitu
pula suara Ryuzo Tanokura dari serial Oshin yang tayang ulang beberapa
tahun silam, Elmo dari Sesame Street, narator di Chibi Maruko Chan,
Popeye, Li Syaoran dalam Cardcaptor Sakura dan Sang Hyeok dalam drama
Korea Winter Sonata.
Namun sekian banyak karakter, ternyata Spongebob Squarepants menyisakan kesan mendalam.
“Proses kastingnya tidak biasa,” kata Santos pada ANTARA di kediamannya beberapa waktu lalu.
Awalnya
tokoh Spongebob diisi oleh orang lain, namun pihak Nickelodeon rupanya
tidak puas setelah satu episode selesai disulih suara.
Santos
pun diminta untuk kasting dadakan dan hanya punya waktu sekian jam
untuk menciptakan suara semirip mungkin dengan tokoh spons kuning ikonik
versi asli.
“Jam 12 malam saya dipanggil untuk kasting, besok harus tayang,” katanya.
Tantangan
mengisi suara Spongebob Squarepantas adalah dialog yang harus diucapkan
dengan kecepatan tinggi. Santos juga kerap harus merangkum dialog yang
panjang agar sesuai dengan durasi Spongebob membuka mulut sehingga
terdengar selaras.
“Kalau menuruti terjemahan
sesungguhnya panjang banget. Kadang lipsync sedikit, padahal kalimatnya
panjang karena bahasa Inggris kan berbeda dengan Indonesia.”
Selain
itu, dialog Spongebob berisi lelucon yang harus dipahami sebelum
membuat penonton tertawa. Ia dituntut untuk menyampaikan dalam bahasa
Indonesia tanpa mengurangi kelucuan dan esensi lelucon tersebut.
“Spongebob
itu film cerdas yang harus mikir. Makanya penerjemah juga harus cerdas,
kadang joke luar negeri dan Indonesia beda, tapi bagaimana caranya biar
bisa sampai ke penonton di sini.”
Ketertarikannya
di dunia suara sudah disadari sejak masih belia. Santos senang meniru
suara penyiar radio, pembawa acara berita, iklan hingga film yang
berseliweran di televisi. Bahkan dialog film yang berkesan pun
dihapalnya di luar kepala.
“Saya suka mendengarkan Dunia Dalam Berita, lalu meniru suara tokoh-tokoh, misalnya Harmoko,” katanya.
Sandiwara
radio membuat imajinasi Santos berkembang. Ia menghidupkan kisah yang
hanya dituturkan lewat suara itu melalui khayalannya.
“Saya mendengarkan sandiwara radio, jadi mengkhayal sendiri, sampai saya dandan seperti pendekar, dialog-dialognya saya hafal.”
Belajar seumur hidup
Variasi suara adalah daya tarik seorang dubber. Santos pun selalu menambah “koleksi suara” dengan mendengarkan berbagai suara.
Latar belakang di bidang teater membantunya mengembangkan variasi lewat sumber suara hingga cara pengucapan.
Misalnya suara Barney yang besar berasal dari perut.
Suara
yang bersumber dari dada bisa menghasilkan suara menawan— ia
menyebutnya “suara ganteng” — yang cocok untuk karakter pria menawan
atau mengisi narasi.
Mengeluarkan suara dari
leher bisa menghasilkan bunyi geraman atau serak yang cocok untuk
karakter monster atau tokoh menyeramkan.
“Suara
kecil yang lembut, kayak suara anak kecil, sumbernya dari mulut,” imbuh
salah satu pemeran dalam pentas teater “Terdakwa”.
Memperbanyak koleksi suara harus terus dilakukan meskipun ia sudah malang melintang di dubbing.
“Dubber harus fleksibel dan menguasai semua suara, itu daya jualnya,” kata pria yang sudah jadi dubber selama dua dekade itu.
Santos
punya keinginan untuk memasukkan unsur Indonesia di setiap sulih suara.
Prinsipnya adalah tidak mengikuti secara persis versi aslinya, tetapi
menyesuaikannya dengan Indonesia.
“Kebanyakan
dubber terbawa dengan intonasi atau tekanan asli dari video yang ia
dubbing,” kata pria yang juga aktif menjadi narator.
Oleh
karena itu, Santos menyelipkan kata-kata dari percakapan sehari-hari
agar hasil sulih suaranya terdengar lebih alami selayaknya orang-orang
Indonesia sedang berbicara.
Karakter Suneo adalah kesempatan untuk mengeksplorasi dialog agar terdengar natural.
“Aku pakai ‘dong’ atau ‘ih enggak banget’, pakai bahasa yang memang kita punya. jadi terasa dekat dengan kita.”
Ketika
menyulih suara sebuah film, suara aslinya tidak selalu jadi patokan.
Kadang Santos memodifikasi suara sehingga jadi berbeda, namun dirasa
lebih cocok untuk karakter tersebut.
Ia berpikir akan menarik bila sebuah film asing diisi dengan karakter dengan ragam logat bicara di Indonesia.
“Misalnya tokoh ini cocok dengan logat Batak, yang itu cocok dengan medok Jawa.”
Multitalenta
Santos adalah sosok yang penuh talenta. Ia juga bisa melukis, menari, membuat film, bermain teater hingga menulis.
“Ada orang yang bilang saya terlalu rakus, ingin semuanya diambil, ya tapi saya memang suka semuanya,” kata Santos yang akan memamerkan karya lukisnya dalam waktu dekat.
“Ada orang yang bilang saya terlalu rakus, ingin semuanya diambil, ya tapi saya memang suka semuanya,” kata Santos yang akan memamerkan karya lukisnya dalam waktu dekat.
Pria yang
belajar melukis secara otodidak itu baru-baru ini berpartisipasi di
penggalangan dana Lembaga Bantuan Hukum bersama Jaya Suprana School of
Performing Arts dengan melelang empat lukisannya.
Ia
juga telah membuat beberapa film pendek, termasuk “Mata Yang Enak
Dipandang” jadi juara Kompetisi Film Pendek Books on Screen 2014,
“Suharto” (Dari Duka Untuk Esok) dibeli Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk koleksi di perpustakaan kedutaan besar Indonesia di
puluhan negara, juga “Dongeng Dari Rumah Kontrakan” yang dibintangi para
penyulih suara.
Bersama Indonesia Plan, Santos
tampil dalam lakon monolog berjudul “Akte Kelahiran” yang dibuat
sebagai wujud kepedulian terhadap mereka yang sulit mendapatkan akte
sebagai identitas mendasar.
“Karya seni adalah
cara saya mengekspresikan kegelisahan yang ingin disampaikan,” kata
Santos yang pernah berakting dalam “Debu Revolusi” yang dibintangi Teuku
Rifnu Wikana.
Meski memiliki minat besar di
bidang seni, rupanya ia tidak pernah mempelajarinya secara formal.
Profesi seniman yang masih dianggap sebelah mata membuat ia urung
belajar lebih dalam soal seni di perguruan tinggi. Dia memutuskan untuk
kuliah di jurusan manajemen meski pada akhirnya kembali menekuni dunia
seni yang dicintainya.