Jakarta (Antarasumsel.com) - "Saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya dan putri saya. Saya merasa sebagai ibu yang buruk. Saya harus pergi dari dunia ini," kata Nur Yana Yirah.
Di suatu petang dengan hujan yang mengguyur tubuh Yana dan bayinya yang baru lahir beberapa minggu, tanpa payung dan tanpa jaket, perlahan kakinya melangkah ke tepian danau.
Bayinya menangis kehujanan, tapi Yana sudah tidak berair mata lagi. Di saat kaki Yana mulai tenggelam makin dalam di air danau, lengannya digenggam erat oleh seseorang yang teramat takut kehilangan dirinya dan putrinya.
"Suami saya menggagalkan percobanaan bunuh diri saya," tutur Yana di Jakarta, Kamis (6/4).
Ide bunuh diri bersama-sama dengan putrinya, Hana Nabila yang masih merah itu muncul di kepala Yana karena akumulasi dari seluruh kejadian buruk. Pengalaman traumatik yang tak terobati hingga menyebabkan depresi yang tak tertangani dan berujung pada rasa ingin bunuh diri.
Itu semua berawal dari meninggalnya anak pertama Yana sejak dalam kandungan di usia kehamilan enam bulan.
Pascaoperasi pengangkatan tubuh sang anak yang sudah tiada nyawanya, Yana berubah drastis dari fisik maupun psikis.
Dia lebih banyak termenung, tidak mau bicara, mendengar sayup-sayup tangisan bayi di telinganya, hingga menggendong bantal guling sebagai luapan kerinduan yang teramat pada bayinya yang meninggal.
Keadaan tidak bertambah baik ketika Yana kembali dikaruniai kehamilan anak kedua lima bulan berselang.
Gangguan mental emosional Yana yang belum terpulihkan malah membuat keadaan tambah buruk. Dia mengalami "birth trauma", keringat dingin saat kontrol kehamilan di rumah sakit, sesak napas, dan jantung berdegup cepat.
Dia lebih banyak diam. Yana Tidak menikmati masa kehamilannya karena dibayang-bayangi rasa takut dan kehilangan.
Namun masa-masa itu berlangsung normal bagi sang janin hingga dilahirkan melalui operasi caesar. Tapi sang ibu, Yana, masih belum pulih dari trauma.
Air susu Yana tidak keluar, Hana Nabila yang akhirnya diberi susu formula harus dirawat karena alergi. Hal itu membuat Yana merasa makin bersalah dan ia menangis lebih sering dari pada bayinya.
Sanak saudara yang menjenguk kelahiran putri kecil tidak membuat keadaan lebih baik. Keluarga malah menuduh Yana kemasukan jin!
Tidak, ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan jin atau diguna-guna, ini adalah penyakit, ini adalah depresi.
"Seringkali stigma terhadap orang depresi dikaitkan dengan orang yang tidak dekat dengan Tuhan, kurang iman, tidak sabar terhadap cobaan Tuhan, diguna-guna, didekati makhluk halus dan sebagainya," kata Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr Diah Setia Utami SpKJ.
Padahal keadaan depresi bisa dialami oleh siapa saja, pada usia berapa saja, dan terjadi di tiap tahapan periode kehidupan seseorang.
Sesederhana Bicara
Yana bercerita akhirnya ia diajak oleh suaminya pada satu komunitas bernama Peduli Trauma, tempat di mana para penyintas trauma bergabung satu sama lain untuk saling menguatkan dan tidak ada yang menuduh macam-macam.
Yana yang merupakan pendiri komunitas Mothercare Indonesia, komunitas yang mengayomi ibu depresi pascamelahirkan, sering datang ke kegiatan komunitas Peduli Trauma sembari dirinya terapi dengan psikiater. Hingga akhirnya ia benar-benar pulih dari trauma dan bisa tertawa karena hal-hal kecil.
Salah satu hal penting untuk mengatasi depresi ialah bicara, terlebih ada orang yang mendengarkan dengan sangat baik.
Psikolog dari Perhimpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) Pelita Sinaga mengatakan dengan bicara mengeluarkan unek-uneknya, seseorang akan merasa lebih lega, sekalipun hanya menulis di buku harian, media sosial, atau berdoa kepada Tuhan.
Di sini menjadi sangat penting bagi orang-orang terdekat untuk mendengarkan. Menjadi pendengar yang baik, bukan yang mendengarkan lalu malah merespon dengan menasehati yang membuat keadaan orang depresi lebih buruk.
Orang depresi hanya butuh didengarkan dengan baik, tidak memerlukan nasehat.
"Dengarkan dan benar-benar hadir untuk mereka. Beri perhatian lebih dengan gestur anggukan kepala, bahkan menyentuhnya," kata Pelita.
Berbicara dan mendengarkan adalah hal paling mudah untuk membantu orang depresi keluar dari keadaan buruknya. Namun apabila sudah tak tertangani, segera kunjungi psikiater.
Hari Kesehatan Dunia yang jatuh tiap tanggal 7 April, tahun ini mengangkat tema tentang kesehatan jiwa yakni depresi.
Jangan meremehkan kondisi pikiran yang stres dan bisa jatuh pada kondisi depresi. Orang depresi bisa menyakiti dirinya sendiri (self harm) dan bahkan orang lain, dengan tindakan terparah ialah bunuh diri.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sebanyak 800 ribu orang mati karena bunuh diri pada 2015. Bunuh diri juga menjadi penyebab kematian nomor dua pada rentang usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2015.
Perwakilan WHO untuk Indonesia dr Jihane Tawilah mengungkapkan lebih dari 300 juta orang atau 4 persen dari total populasi di dunia mengalami depresi. Di kawasan Asia Tenggara sebanyak 86 juta orang mengalami depresi.
"Jumlah orang yang hidup dengan depresi naik 18 persen dari 2005 hingga 2015," papar Jihane.
Selain menyebabkan bunuh diri, kondisi depresi yang tidak tertangani juga menyebabkan kerugian lain seperti menurunnya produktivitas dalam bekerja, kesulitan dalam melakukan pekerjaan, tidak bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat.
Jihane mencontohkan kerugian akibat depresi di Amerika Serikat mencapai 36,6 miliar dolar per tahun karena produktivitas yang menurun dari orang yang mengalami depresi.
Padahal, orang yang depresi sangat bisa ditangani oleh orang terdekat dan dengan biaya yang murah: bicara dan mendengarkan.
Kenali gejala orang-orang yang depresi di lingkungan sekitar, terutama keluarga. Secara umum depresi bida terjadi pada ibu yang baru melahirkan, orang lanjut usia, dan tidak menutup kemungkinan anak-anak.
Depresi pada ibu pascamelahirkan seperti yang terjadi pada Yana, depresi pada orang usia senja terjadi karena merasa kesepian tanpa memiliki kegiatan, dan depresi pada anak-anak bisa terjadi karena terlalu banyak tuntutan di sekolah, orang tua, dan relasi sosial atau pertemanannya.
Gejala yang bisa diketahui ialah dengan memperhatikan perubahan sikap pada seseorang yang mengalami depresi seperti menjadi lebih sering menyendiri, sedikit berbicara, aktivitasnya menurun, dan tidak mau mengerjakan hal-hal yang biasanya disukai. "Itu saja sudah menjadi lampu kuning bagi kita," kata Diah.
Memberikan perhatian lebih, mengajak orang yang depresi bicara dan memintanya bercerita yang dia rasakan, serta benar-benar hadir mendengarkan bagi mereka sudah menjadi penawar melepas beban.
Jangan remehkan stres dan depresi, karena tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.