Sule, Agnes, Gates, Beatles, dan pentingnya proses

id agnes, pentingnya proses

Sule, Agnes, Gates, Beatles, dan pentingnya proses

Agnes Monica (FOTO ANTARA)

Tidak banyak yang tahu bahwa pelawak Sule itu belajar melawak sejak SD, artis Agnes Monica belajar menyanyi sejak kecil, Bill Gates belajar program komputer sejak SMP.

"Semuanya tidak instan, semuanya belajar dari proses kehidupan yang penuh dengan masalah, tantangan, kegagalan, bahkan The Beatles pun dikenal setelah 1.200 kali manggung," ucap motivator, Akhmad Guntar S.Kom MT.

Di hadapan 4.878 mahasiswa baru dalam upacara penerimaan mahasiswa baru di Grha ITS Surabaya (9/8), ia mengaku ihtiar untuk menjadi "juara" seperti Sule, Agnes Monica, Bill Gates itu tidak perlu menunggu lulus.

"Prosesnya menjadi juara itu bisa dimulai sekarang. Untuk proses itu ada tiga cara yakni membangun orientasi, kompetensi, dan reputasi," tutur alumnus S1 Teknik Informatika ITS dan S2 Teknik Industri ITS itu.

Ia menyebutkan orientasi itu bukan lulus tepat waktu dengan IPK (indeks prestasi kumulatif) tinggi. "IPK tinggi itu penting, tapi IPK tinggi dengan 'membeli' itu akan mengalami kesulitan dalam kehidupan nantinya," ujarnya.

Ibarat anak yang belajar naik sepeda kayuh. "Orientasi itu melewati proses yang tidak cukup hanya dengan sertifikat, ijazah, atau medali," urai motivator yang juga pengusaha muda itu.

Menurut dia, proses untuk "mencapai lebih" itu perlu upaya untuk "menjadi lebih". "Upaya itu antara lain tidak minder, meski tidak pintar, tidak kaya, dan sebagainya," paparnya.

Ia mencontohkan dirinya yang bukan berasal dari kota, bukan dari sekolah unggulan, dan bukan dari keluarga kaya, bahkan dirinya pernah mendapat nilai IPK 2,1, meski hanya sekali.

"Saya pernah membayar makan dengan uang recehan. Saat itu banyak mahasiswi, tapi saya senang punya masalah itu," ungkapnya saat menceritakan pengalaman di kawasan Gebang, Surabaya.

Upaya "menjadi lebih" itu seiring dengan banyaknya masalah. "Masalah itulah yang membuat orang bertambah hebat. Punya dua masalah itu lebih bahagia daripada punya satu masalah," kilahnya.

Ia mencontohkan lagi, mahasiswa yang tidak punya laptop akan mempunyai banyak teman, bersikap sopan, dan suka mendoakan orang lain.

"Itu karena dia butuh pinjaman laptop, tapi tanpa disadari masalah membentuk sikapnya untuk berbaik dengan orang lain, sopan kepada orang, dan tulus mendoakan," kupasnya.

Bahkan, berat dan ringannya masalah itu bukan ukuran, namun setinggi apa kualitas seseorang akan tetap merasa "enjoy" dengan masalah yang berat atau ringan.

           Medali hanya simbol
Bagi Akhmad Guntar, IPK itu mirip medali yang hanya merupakan simbol. "Bukan medali itu yang membuat orang menjadi juara, tapi latihan, kerja keras, dan pengorbanan itulah yang membuatnya menjadi juara," tukasnya.

Lain orientasi, lain lagi soal kompetensi. "Kompetensi itu terkait dengan persaingan dalam kehidupan, karena itu kompetensi itu ada yang bersifat dasar dan unggulan," tandasnya.

Dalam persaingan, kompetensi unggulan itulah yang membedakan seseorang dengan orang lain. Kompetensi unggulan itu bukan hanya didapat dari sekolah, tapi "soft skills".

"Kompetensi itu dibangun lewat kemampuan pribadi, motivasi diri, dan teknologi. Kemampuan pribadi itu tanggung jawab, rendah hati, disiplin, dan sinergi dengan orang lain," tandasnya.

Namun, teknologi itu bukan didapat dari internet yang sifatnya jalan pintas dan kadang tidak benar, melainkan dari buku-buku yang tebal. "Jangan tergantung pada internet, jangan malas baca buku referensi," ujarnya.

Selain orientasi dan kompetensi, reputasi juga tak kalah pentingnya. "Untuk menciptakan reputasi itu kenali diri sejak dini, tentukan 'passion' (bangkitkan gairah/semangat), dan miliki prinsip jaringan," kupasnya.

Prinsip jaringan itu sejauh mana orang mengenal diri kita. "Bisa saja kita ditawari pekerjaan oleh temannya teman kita, siapa tahu? Karena itu, kita harus berakhlak dengan pakaian yang pantas dan menjaga ucapan," ujarnya.

Pentingnya orientasi, kompetensi, dan reputasi itu juga diakui Rektor ITS Surabaya Prof Dr Ir Tri Yogi Yuwono DEA, karena itu ITS selalu mengedepankan proses untuk mencetak pemimpin yang menghindari jalan pintas.

Dalam praktiknya, ITS terbukti memiliki "tradisi juara" melalui mobil hemat yang berlaga di Sepang, Malaysia, atau kapal tradisional yang berlaga di kawasan Eropa.

Selain itu, paduan suara mahasiswa ITS juga sering berjaya di panggung internasional, atau kontes robot Indonesia (KRI), serta banyak prestasi nasional dan internasional yang diraih mahasiswa dan dosen ITS.

Menariknya, mahasiswa dan dosen ITS menciptakan mobil, kapal tradisional, robot, paduan suara, dan sebagainya melalui proses pembuatan dan pelatihan yang dilakukan mahasiswa sendiri, bukan rakitan orang lain.

"Karena itu, saya selalu bilang bahwa tanpa menjadi juara dunia pun, para mahasiswa itu sudah menjadi juara, karena mereka melewati proses yang sangat penting untuk kehidupan, sedangkan posisi juara itu hanya bonus," ucap Guru Besar Teknik Mesin ITS itu.
(ANT/E011/A025)