Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Prof Ghufron Mukti mengimbau pengelola rumah sakit tidak mengurangi jumlah tempat tidur perawatan pasien dalam upaya memenuhi kriteria Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Pernyataan itu dikemukakan Ghufron Mukti menjawab diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang kriteria KRIS.
"Pesan saya jangan dikurangi akses dengan mengurangi jumlah tempat tidur. Pertahankan jumlah tempat tidur dan penuhi persyaratannya dengan 12 kriteria," kata Ghufron Mukti dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Pasal 46A Perpres tersebut mensyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.
Seperti diketahui, jumlah tempat tidur pada ruang pelayanan pasien kelas III BPJS Kesehatan umumnya berjumlah enam hingga 10 tempat tidur per ruangan.
Pengurangan jatah tempat tidur perawatan, kata Ghufron, dapat berimplikasi pada antrean pasien dalam mengakses layanan rawat inap.
Dikatakan Ghufron, Perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 8 Mei 2024 itu juga mengatur hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan perawatan yang lebih tinggi, termasuk rawat jalan eksekutif.
Pada pasal 51 disebutkan ketentuan naik kelas perawatan dilakukan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.
Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
"Ya tentu Perpres Jaminan Kesehatan ini bagus, tidak saja mengatur pasien bisa naik kelas, tapi juga untuk meningkatkan mutu dengan ada standar kelas ruang rawat inap untuk memenuhi 12 kriteria," katanya.
Sesuai pasal 103B Perpres tersebut dinyatakan penerapan KRIS secara menyeluruh pada rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan diterapkan paling lambat 30 Juni 2025.
Dalam jangka waktu tersebut, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
"Sekarang baru uji coba, kalau yang merasa siap sudah banyak," katanya saat ditanya tentang jumlah rumah sakit yang bersedia menerapkan KRIS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPJS Kesehatan: RS jangan kurangi tempat tidur karena KRIS
Pernyataan itu dikemukakan Ghufron Mukti menjawab diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang kriteria KRIS.
"Pesan saya jangan dikurangi akses dengan mengurangi jumlah tempat tidur. Pertahankan jumlah tempat tidur dan penuhi persyaratannya dengan 12 kriteria," kata Ghufron Mukti dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Pasal 46A Perpres tersebut mensyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.
Seperti diketahui, jumlah tempat tidur pada ruang pelayanan pasien kelas III BPJS Kesehatan umumnya berjumlah enam hingga 10 tempat tidur per ruangan.
Pengurangan jatah tempat tidur perawatan, kata Ghufron, dapat berimplikasi pada antrean pasien dalam mengakses layanan rawat inap.
Dikatakan Ghufron, Perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 8 Mei 2024 itu juga mengatur hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan perawatan yang lebih tinggi, termasuk rawat jalan eksekutif.
Pada pasal 51 disebutkan ketentuan naik kelas perawatan dilakukan cara mengikuti asuransi kesehatan tambahan atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan.
Selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya pelayanan dapat dibayar oleh peserta bersangkutan, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
"Ya tentu Perpres Jaminan Kesehatan ini bagus, tidak saja mengatur pasien bisa naik kelas, tapi juga untuk meningkatkan mutu dengan ada standar kelas ruang rawat inap untuk memenuhi 12 kriteria," katanya.
Sesuai pasal 103B Perpres tersebut dinyatakan penerapan KRIS secara menyeluruh pada rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan diterapkan paling lambat 30 Juni 2025.
Dalam jangka waktu tersebut, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan rumah sakit.
"Sekarang baru uji coba, kalau yang merasa siap sudah banyak," katanya saat ditanya tentang jumlah rumah sakit yang bersedia menerapkan KRIS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPJS Kesehatan: RS jangan kurangi tempat tidur karena KRIS