Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis dewasa lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Nirmala Ika, M.Psi mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya melatih regulasi emosi agar bisa mengenali perasaan, mampu berpikir logis, tangguh dan menemukan jalan keluar dari permasalahan hidup.
"Regulasi emosi itu penting karena dengan kita meregulasi emosi sebenarnya pelan-pelan kita jadi tidak mudah terbawa oleh emosi," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ika mengatakan, pada prinsipnya, manusia selain memiliki otak logika yang mengatur cara berpikir rasional, juga mempunyai otak emosional yang mengatur emosi termasuk marah dan kesal serta pengalaman masa lalu.
Dengan kemampuan regulasi emosi, kata dia, seseorang bisa mengedepankan logika ketimbang emosi. Ika mencontohkan peristiwa mobil terserempet kendaraan lain di sebuah jalanan Kota Jakarta yang padat sehingga menyebabkan lecet.
Seorang pengendara mobil dengan kemampuan regulasi emosi yang terasah akan berpikir peristiwa ini wajar mengingat kondisi jalanan di kota itu khususnya pada jam-jam sibuk. Namun, apabila dia merasa marah sebenarnya juga wajar terutama bila sebelum peristiwa dia memiliki masalah di kantor dengan pimpinan.
"Marah wajar. Tapi kalau sampai mengacungkan senjata tajam, gebukin orang, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah itu kan, tepat enggak sih?," katanya.
"Kemampuan kita untuk bisa akhirnya ketika lagi marah, 'Oke aku tahu lagi marah' tetapi logika masih tetap bisa jalan. Itulah dengan latihan regulasi emosi," jelas Ika.
Dia mengatakan seseorang bisa melatih regulasi emosi dimulai dari mengenali emosi yang dirasakan lalu menemukan cara mengelola atau mengatasinya.
"(Terkadang orang bilang) Sudah jadi orang positif saja. Itu tidak bagus loh karena kita tidak mengizinkan emosi (negatif) itu ada. Kita langsung berusaha bagus-bagus saja. Tetapi mengakui kita ada emosi kemudian cari cara mengatasi emosi itu," tegas dia.
Menurut Ika, saat seseorang merasa marah atau kesal terhadap orang lain, misalnya, rekan kerja, dia bisa menenangkan diri terlebih dulu, dengan menarik napas sampai 10 hitungan lalu menghembuskan secara perlahan.
Cara lainnya, bila memungkinkan, bergerak dari tempat semula. Saat di tengah rapat, contohnya, seseorang bisa izin ke toilet sebentar.
"Atau kalau suntuk banget, teman-teman kantor resek turun saja ke bawah, ada jajanan di bawah. Jajan saja dulu. Gerak saja. Tetapi masing-masing kenali cara (mengelola emosi) yang tepat apa," kata Ika.
Dia menyarankan orang tua mengajari anak-anak melatih regulasi emosi ini sedini mungkin agar resiliensi atau daya lenting mereka berkembang.
Di sisi lain, resiliensi dapat membantu seseorang mencari jalan keluar dari masalah hidupnya sehingga tak memutuskan berbuat aksi nekat seperti mengakhiri nyawa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog ingatkan masyarakat pentingnya melatih regulasi emosi
"Regulasi emosi itu penting karena dengan kita meregulasi emosi sebenarnya pelan-pelan kita jadi tidak mudah terbawa oleh emosi," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ika mengatakan, pada prinsipnya, manusia selain memiliki otak logika yang mengatur cara berpikir rasional, juga mempunyai otak emosional yang mengatur emosi termasuk marah dan kesal serta pengalaman masa lalu.
Dengan kemampuan regulasi emosi, kata dia, seseorang bisa mengedepankan logika ketimbang emosi. Ika mencontohkan peristiwa mobil terserempet kendaraan lain di sebuah jalanan Kota Jakarta yang padat sehingga menyebabkan lecet.
Seorang pengendara mobil dengan kemampuan regulasi emosi yang terasah akan berpikir peristiwa ini wajar mengingat kondisi jalanan di kota itu khususnya pada jam-jam sibuk. Namun, apabila dia merasa marah sebenarnya juga wajar terutama bila sebelum peristiwa dia memiliki masalah di kantor dengan pimpinan.
"Marah wajar. Tapi kalau sampai mengacungkan senjata tajam, gebukin orang, sebenarnya tidak menyelesaikan masalah itu kan, tepat enggak sih?," katanya.
"Kemampuan kita untuk bisa akhirnya ketika lagi marah, 'Oke aku tahu lagi marah' tetapi logika masih tetap bisa jalan. Itulah dengan latihan regulasi emosi," jelas Ika.
Dia mengatakan seseorang bisa melatih regulasi emosi dimulai dari mengenali emosi yang dirasakan lalu menemukan cara mengelola atau mengatasinya.
"(Terkadang orang bilang) Sudah jadi orang positif saja. Itu tidak bagus loh karena kita tidak mengizinkan emosi (negatif) itu ada. Kita langsung berusaha bagus-bagus saja. Tetapi mengakui kita ada emosi kemudian cari cara mengatasi emosi itu," tegas dia.
Menurut Ika, saat seseorang merasa marah atau kesal terhadap orang lain, misalnya, rekan kerja, dia bisa menenangkan diri terlebih dulu, dengan menarik napas sampai 10 hitungan lalu menghembuskan secara perlahan.
Cara lainnya, bila memungkinkan, bergerak dari tempat semula. Saat di tengah rapat, contohnya, seseorang bisa izin ke toilet sebentar.
"Atau kalau suntuk banget, teman-teman kantor resek turun saja ke bawah, ada jajanan di bawah. Jajan saja dulu. Gerak saja. Tetapi masing-masing kenali cara (mengelola emosi) yang tepat apa," kata Ika.
Dia menyarankan orang tua mengajari anak-anak melatih regulasi emosi ini sedini mungkin agar resiliensi atau daya lenting mereka berkembang.
Di sisi lain, resiliensi dapat membantu seseorang mencari jalan keluar dari masalah hidupnya sehingga tak memutuskan berbuat aksi nekat seperti mengakhiri nyawa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog ingatkan masyarakat pentingnya melatih regulasi emosi