Kabupaten Bogor (ANTARA) - Produksi kertas pada umumnya memerlukan bahan baku serat kayu pohon yang tidak selalu ramah lingkungan. Oleh karena itu, daur ulang kertas menjadi upaya penting mengurangi penebangan pohon yang digunakan untuk membuat kertas.
Ada cara lain untuk memproduksi kertas tanpa harus menebang pohon, yakni menggunakan bahan baku kotoran gajah, seperti yang dilakukan Taman Safari Indonesia (TSI).
Hal ini menjadi alasan lain bahwa spesies gajah di Indonesia harus dilindungi karena tak hanya populasinya yang semakin berkurang akibat kehilangan habitat, gajah juga bisa menjadi sumber alternatif penghasil kertas melalui kotorannya.
Gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus merupakan mamalia darat terbesar yang masih bertahan di Bumi. Satwa ini dapat memakan berbagai tanaman pakan sekitar 200 kilogram hingga 270 kilogram per hari, dan mengeluarkan kotoran lebih dari 20 kilogram per hari.
Kotoran gajah sumatera memiliki karakteristik tinggi serat pakan karena pencernaan gajah tersebut hanya mampu menyerap 40 persen nutrisi dari pakan yang dicerna dan selebihnya akan dibuang menjadi kotoran sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas ramah lingkungan.
Pada dasarnya semua kotoran satwa herbivora bisa diubah menjadi kertas daur ulang. Akan tetapi, kotoran gajah dipilih karena jumlahnya yang cukup banyak dan selalu tersedia setiap hari jika dibandingkan dengan kotoran satwa lain, seperti rusa atau sapi.
Setiap satu ekor gajah bisa menghasilkan kotoran sebanyak 20 kg. Jika dikalikan dengan jumlah gajah yang ada di TSI sebanyak 51 ekor, berarti setiap hari ada sekitar 1.000 kilogram kotoran gajah. Jumlah yang sangat cukup untuk memproduksi kertas daur ulang Safari Poo Paper.
Setiap hari kotoran gajah itu dikumpulkan dan dibawa ke lokasi pengolahan SPS. Kualitas kotoran gajah yang bagus adalah yang masih segar, sedangkan yang sudah didiamkan beberapa hari akan menghasilkan kertas dengan warna berbeda menjadi kecoklatan.
Taman Safari Indonesia melalui SPS mulai memproduksi kertas daur ulang dari kotoran gajah sejak awal tahun 2012, berawal dari ketidaksengajaan pegawainya. Hasilnya, menjadi berbagai produk menarik berupa buku, amplop, kartu ucapan, notes, dan lain-lain.
Dalam sehari, produksinya bisa mencapai 210 lembar kertas berukuran 40 x 50 sentimeter yang dibentuk menjadi buku atau souvenir lainnya. Produk-produk akhir ini dijual di Taman Safari Bogor.
Pengelola Poo Paper Taman Safari Bogor Taufik Rachman mengungkapkan bahwa kertas berukuran 40 x 50 sentimeter itu dibanderol Rp15 ribu per tiga lembar dan Rp45 ribu per buku.
Proses produksi kerat daur ulang dari kotoran gajah di Taman Safari, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ANTARA/M Fikri Setiawan
Tak hanya di Taman Safari Bogor, pengolahan kotoran gajah menjadi kertas daur ulang juga dilakukan di Bali Safari and Marine Park (BSMP).
Daur ulang kotoran gajah menjadi kertas ini merupakan langkah prolingkungan. Karena itu diharapkan pengelolaan kotoran hewan dapat diadaptasi oleh pihak lain. Pemanfaatan kotoran gajah sebagai kertas ini juga mendukung upaya penyelamatan hutan.
Pemanfaatan kotoran hewan untuk pembuatan kertas ini merupakan yang pertama di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh TSI tersebut.
Upaya membuat kertas dari kotoran gajah juga bisa menjadi salah satu motivasi untuk melestarikan gajah di Indonesia.
Gajah sumatera adalah salah satu spesies dilindungi di Indonesia. Jumlahnya yang kian menyusut, kini masuk ke Daftar Merah IUCN dengan status kritis pada tahun 2012.
Gajah sumatera, menurut WWF Indonesia tersisa tak kurang dari 2.400 hingga 2.800 ekor saja di alam liar, sementara saudaranya, gajah kalimantan malah jauh lebih sedikit. Para ahli memperkirakan gajah kalimantan hanya tersisa antara 20 hingga 80 ekor.
Cara produksi
Proses produksi kertas dibagi menjadi tiga tahapan, dimulai dari tahapan persiapan bahan serat kotoran gajah. Kotoran gajah yang baru diambil, dimasukkan ke ember untuk dicuci menggunakan air bersih.
Serat yang sudah dibersihkan kemudian dimasukkan ke alat blender raksasa dan digiling selama 10 menit hingga serat terurai dan semakin bersih.
Setelah melalui proses penggilingan, serat-serat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam panci berukuran besar untuk direbus menggunakan air mendidih selama sekitar 1 jam.
Serat yang sudah direbus kemudian dikeringkan dengan cara dijemur, lalu kembali digiling hingga halus selama 30 menit sebelum dicampur dengan bahan-bahan kertas lainnya.
Tahap kedua yaitu persiapan bahan kertas bekas. Pada tahap ini, TSI menggunakan kertas bekas yang tidak mengandung banyak warna dengan cara disobek-sobek lalu di direbus dengan air mendidih selama sekitar 1 jam.
Kertas bekas yang sudah direbus kemudian digiling sekitar 15 menit hingga menjadi bubur kertas.
Tahap ketiga, yakni pencampuran serat dan proses pencetakan kertas. Tahapan ini merupakan penggabungan menggunakan blender raksasa dengan komposisi 60 persen kertas bekas dan 40 persen serat kotoran gajah.
Adonan tersebut kemudian dibentuk hingga menjadi lembaran berukuran 40 x 50 sentimeter. Lembaran ini lalu dijemur seharian hingga membentuk lembaran kertas.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengolah kotoran gajah menjadi kertas daur ulang
Ada cara lain untuk memproduksi kertas tanpa harus menebang pohon, yakni menggunakan bahan baku kotoran gajah, seperti yang dilakukan Taman Safari Indonesia (TSI).
Hal ini menjadi alasan lain bahwa spesies gajah di Indonesia harus dilindungi karena tak hanya populasinya yang semakin berkurang akibat kehilangan habitat, gajah juga bisa menjadi sumber alternatif penghasil kertas melalui kotorannya.
Gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus merupakan mamalia darat terbesar yang masih bertahan di Bumi. Satwa ini dapat memakan berbagai tanaman pakan sekitar 200 kilogram hingga 270 kilogram per hari, dan mengeluarkan kotoran lebih dari 20 kilogram per hari.
Kotoran gajah sumatera memiliki karakteristik tinggi serat pakan karena pencernaan gajah tersebut hanya mampu menyerap 40 persen nutrisi dari pakan yang dicerna dan selebihnya akan dibuang menjadi kotoran sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas ramah lingkungan.
Pada dasarnya semua kotoran satwa herbivora bisa diubah menjadi kertas daur ulang. Akan tetapi, kotoran gajah dipilih karena jumlahnya yang cukup banyak dan selalu tersedia setiap hari jika dibandingkan dengan kotoran satwa lain, seperti rusa atau sapi.
Setiap satu ekor gajah bisa menghasilkan kotoran sebanyak 20 kg. Jika dikalikan dengan jumlah gajah yang ada di TSI sebanyak 51 ekor, berarti setiap hari ada sekitar 1.000 kilogram kotoran gajah. Jumlah yang sangat cukup untuk memproduksi kertas daur ulang Safari Poo Paper.
Setiap hari kotoran gajah itu dikumpulkan dan dibawa ke lokasi pengolahan SPS. Kualitas kotoran gajah yang bagus adalah yang masih segar, sedangkan yang sudah didiamkan beberapa hari akan menghasilkan kertas dengan warna berbeda menjadi kecoklatan.
Taman Safari Indonesia melalui SPS mulai memproduksi kertas daur ulang dari kotoran gajah sejak awal tahun 2012, berawal dari ketidaksengajaan pegawainya. Hasilnya, menjadi berbagai produk menarik berupa buku, amplop, kartu ucapan, notes, dan lain-lain.
Dalam sehari, produksinya bisa mencapai 210 lembar kertas berukuran 40 x 50 sentimeter yang dibentuk menjadi buku atau souvenir lainnya. Produk-produk akhir ini dijual di Taman Safari Bogor.
Pengelola Poo Paper Taman Safari Bogor Taufik Rachman mengungkapkan bahwa kertas berukuran 40 x 50 sentimeter itu dibanderol Rp15 ribu per tiga lembar dan Rp45 ribu per buku.
Tak hanya di Taman Safari Bogor, pengolahan kotoran gajah menjadi kertas daur ulang juga dilakukan di Bali Safari and Marine Park (BSMP).
Daur ulang kotoran gajah menjadi kertas ini merupakan langkah prolingkungan. Karena itu diharapkan pengelolaan kotoran hewan dapat diadaptasi oleh pihak lain. Pemanfaatan kotoran gajah sebagai kertas ini juga mendukung upaya penyelamatan hutan.
Pemanfaatan kotoran hewan untuk pembuatan kertas ini merupakan yang pertama di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh TSI tersebut.
Upaya membuat kertas dari kotoran gajah juga bisa menjadi salah satu motivasi untuk melestarikan gajah di Indonesia.
Gajah sumatera adalah salah satu spesies dilindungi di Indonesia. Jumlahnya yang kian menyusut, kini masuk ke Daftar Merah IUCN dengan status kritis pada tahun 2012.
Gajah sumatera, menurut WWF Indonesia tersisa tak kurang dari 2.400 hingga 2.800 ekor saja di alam liar, sementara saudaranya, gajah kalimantan malah jauh lebih sedikit. Para ahli memperkirakan gajah kalimantan hanya tersisa antara 20 hingga 80 ekor.
Cara produksi
Proses produksi kertas dibagi menjadi tiga tahapan, dimulai dari tahapan persiapan bahan serat kotoran gajah. Kotoran gajah yang baru diambil, dimasukkan ke ember untuk dicuci menggunakan air bersih.
Serat yang sudah dibersihkan kemudian dimasukkan ke alat blender raksasa dan digiling selama 10 menit hingga serat terurai dan semakin bersih.
Setelah melalui proses penggilingan, serat-serat tersebut kemudian dimasukkan ke dalam panci berukuran besar untuk direbus menggunakan air mendidih selama sekitar 1 jam.
Serat yang sudah direbus kemudian dikeringkan dengan cara dijemur, lalu kembali digiling hingga halus selama 30 menit sebelum dicampur dengan bahan-bahan kertas lainnya.
Tahap kedua yaitu persiapan bahan kertas bekas. Pada tahap ini, TSI menggunakan kertas bekas yang tidak mengandung banyak warna dengan cara disobek-sobek lalu di direbus dengan air mendidih selama sekitar 1 jam.
Kertas bekas yang sudah direbus kemudian digiling sekitar 15 menit hingga menjadi bubur kertas.
Tahap ketiga, yakni pencampuran serat dan proses pencetakan kertas. Tahapan ini merupakan penggabungan menggunakan blender raksasa dengan komposisi 60 persen kertas bekas dan 40 persen serat kotoran gajah.
Adonan tersebut kemudian dibentuk hingga menjadi lembaran berukuran 40 x 50 sentimeter. Lembaran ini lalu dijemur seharian hingga membentuk lembaran kertas.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengolah kotoran gajah menjadi kertas daur ulang