Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah melacak aset bernilai ekonomi tinggi milik mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono (AP), yang diduga berasal dari hasil korupsi.
Hal tersebut dipelajari penyidik dalam pemeriksaan terhadap Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sudi dan wiraswasta Ali Faiz pada Rabu (2/8) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan kepemilikan beberapa aset bernilai ekonomis tinggi dari tersangka AP," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Penyidik terhadap aliran uang yang diduga berasal dari hasil korupsi tersangka AP masih terus berjalan, pelacakan dengan metode "follow the money" tersebut, bahkan meluas hingga ke pembelian tas mewah oleh istri Andhi, Nurlina Burhanuddin dan dugaan aliran uang ke sejumlah perusahaan swasta.
Untuk diketahui, pada Jumat (7/7), KPK menahan Andhi Pramono sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Andhi diduga memanfaatkan jabatannya untuk memfasilitasi pengusaha dan menerima gratifikasi sebagai balas jasa.
Sebagai broker, Andhi diduga menghubungkan antar-importir untuk mencarikan barang logistik yang dikirim dari wilayah Singapura dan Malaysia di antaranya menuju ke Vietnam, Thailand, Filipina, dan Kamboja. Dari rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, AP diduga menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk fee.
Rekomendasi yang dibuat dan disampaikan AP diduga juga menyalahi aturan kepabeanan, termasuk para pengusaha yang mendapatkan izin ekspor dan impor diduga tidak berkompeten.
Siasat Andhi menerima fee tersebut, salah satunya melalui transfer uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor impor dan pengurusan jasa kepabeanan.
Penerimaan gratifikasi tersebut diduga terjadi pada rentang waktu 2012--2022, di mana saat itu Andhi menduduki beberapa posisi mulai dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hingga pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dengan posisi terakhir sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Makassar.
Dugaan penerimaan gratifikasi oleh Andhi itu hingga kini tercatat sekitar Rp28 miliar dan masih terus dilakukan penelusuran lebih lanjut. Uang hasil korupsi tersebut diduga digunakan tersangka Andhi untuk belanja keperluan dia dan keluarganya.
Kemudian, dalam kurun waktu 2021 dan 2022, Andhi diduga melakukan pembelian berlian senilai Rp652 juta, pembelian polis asuransi senilai Rp1 miliar, dan pembelian rumah di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan, senilai Rp20 miliar.
Atas perbuatannya, tersangka Andhi Pramono dijerat Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Andhi Pramono juga disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Hal tersebut dipelajari penyidik dalam pemeriksaan terhadap Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sudi dan wiraswasta Ali Faiz pada Rabu (2/8) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan kepemilikan beberapa aset bernilai ekonomis tinggi dari tersangka AP," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Penyidik terhadap aliran uang yang diduga berasal dari hasil korupsi tersangka AP masih terus berjalan, pelacakan dengan metode "follow the money" tersebut, bahkan meluas hingga ke pembelian tas mewah oleh istri Andhi, Nurlina Burhanuddin dan dugaan aliran uang ke sejumlah perusahaan swasta.
Untuk diketahui, pada Jumat (7/7), KPK menahan Andhi Pramono sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Andhi diduga memanfaatkan jabatannya untuk memfasilitasi pengusaha dan menerima gratifikasi sebagai balas jasa.
Sebagai broker, Andhi diduga menghubungkan antar-importir untuk mencarikan barang logistik yang dikirim dari wilayah Singapura dan Malaysia di antaranya menuju ke Vietnam, Thailand, Filipina, dan Kamboja. Dari rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, AP diduga menerima imbalan sejumlah uang dalam bentuk fee.
Rekomendasi yang dibuat dan disampaikan AP diduga juga menyalahi aturan kepabeanan, termasuk para pengusaha yang mendapatkan izin ekspor dan impor diduga tidak berkompeten.
Siasat Andhi menerima fee tersebut, salah satunya melalui transfer uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor impor dan pengurusan jasa kepabeanan.
Penerimaan gratifikasi tersebut diduga terjadi pada rentang waktu 2012--2022, di mana saat itu Andhi menduduki beberapa posisi mulai dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hingga pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dengan posisi terakhir sebagai Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Makassar.
Dugaan penerimaan gratifikasi oleh Andhi itu hingga kini tercatat sekitar Rp28 miliar dan masih terus dilakukan penelusuran lebih lanjut. Uang hasil korupsi tersebut diduga digunakan tersangka Andhi untuk belanja keperluan dia dan keluarganya.
Kemudian, dalam kurun waktu 2021 dan 2022, Andhi diduga melakukan pembelian berlian senilai Rp652 juta, pembelian polis asuransi senilai Rp1 miliar, dan pembelian rumah di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan, senilai Rp20 miliar.
Atas perbuatannya, tersangka Andhi Pramono dijerat Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Andhi Pramono juga disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.