Sebelum kasus penembakan Brigadir J meledak ke permukaan pada 11 Juli lalu, Ferdy Sambo adalah tokoh yang paling dicari setelah Kadiv Humas Polri dan Kapolri untuk dimintai keterangan terkait telah diundangkannya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 pada 15 Juni lalu oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Baca juga: Humas Polri: Irjen Pol.Ferdy Sambo tak lagi jabat Kepala Satgassus
Kelahiran Perpol No. 7 Tahun 2022 cukup sensasional, sebagai wujud transparansi Polri memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat terkait masih aktifnya AKBP Raden Brotoseno sebagai anggota kepolisian yang bertugas di Mabes Polri setelah divonis bersalah menerima suap dari tersangka korupsi cetak sawah di Kalimantan pada tahun 2017.
Selain itu, perpol ini lahir dari peleburan dan penggabungan dua Peraturan Kapolri (Perkap) yaitu Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri.
Baca juga: Kapolri minta masyarakat awasi pengungkapan kasus tewaskan Brigadir J
“Perlu saya sampaikan bahwa Perpol Nomor 7 Tahun 2022 ini adalah penggabungan Perkap Nomor 14 Tahun 2011 dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012,” kata Sambo kepada wartawan pada 20 Juni silam.
Dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022 terdapat norma-norma baru yang belum diatur dalam Perkap 14 dan Perkap 19, yakni terkait norma masalah penyalahgunaan narkoba, kemudian prilaku seks menyimpang, dan beberapa norma lain yang mengikuti perkembangan dinamika di masyarakat.
Baca juga: Kadiv Humas: Irjen Ferdy Sambo langgar prosedur penanganan TKP
Perpol tersebut juga terkait dengan beberapa kegiatan fungsional operasional dan pembinaan yang sudah diatur terkiat perizinan, penerimaan anggota kepolisian dan pengadaan barang dan jasa. Juga ada hal terkait dengan pembentukan Komisi Kode Etik Polri Penijauan Kembali (KKEP PK) yang memberikan kewenangan kepada Kapolri untuk membentuk perangkat pimpinan KKEP PK.
Dalam perpol tersebut, Kapolri berwenang melakukan peninjauan kembali atas putusan KKEP atau putusan KKEP banding yang telah final dan mengikat, yang mana peninjauan kembali tersebut dilakukan paling lama tiga tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding diputuskan.
Baca juga: Timsus Polri evaluasi menyeluruh dampak 25 anggota tak profesional tangani tewasnya Brigadir J
PTDH
Kewenangan Kapolri dapat melakukan peninjauan kembali terhadap putusan KKEP dan KKEP Banding menjadi pembeda Perpol 7 Tahun 2022 dengan peraturan hukum sebelumnya (Perkap 14 dan Perkap 19). Kewenangan baru yang dimiliki Kapolri untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.
Salah satu anggota Polri yang pertama kali mencicipi implementasi Perpol Nomo 7 Tahun 2022 adalah AKBP Raden Brotoseno. Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menunjuk Wakapolri Komjen Pol. Gatot Eddy Pramono sebagai pimpinan KKEP PK, dengan anggota Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol. Agung Budi Maryoto, Kepala Divisi Propam Irjen Pol. Ferdy Sambo, Kepala Divisi Hukum dan Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Pol. Wahyu Widada.
Tim bentukan Kapolri bertugas untuk melakukan peneliti terhadap putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Nomor: PUT/72/X/2020 tanggal 13 Oktober 2020 terhadap pelanggar AKBP Raden Brotoseno.
Pada putusan etik Oktober 2020 itu AKBP Raden Brotoseno hanya dikenakan sanksi pemindahan tugas bersifat demosi dan diwajibkan meminta maaf kepada pimpinan Polri secara tertulis. Ia tidak dipecat karena mendapat pertimbangan dari atasanya yang menyatakan perlu dipertahankan karena berprestasi.
Hasil putusan KKEP PK AKBP Brotoseno yang digelar Jumat (8/7), memberatkan sanksi sidang etik yang diputuskan pada 13 Oktober 2020, yakni menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat sebagai anggota Polri.
Dalam kasus Brotoseno ini, Ferdy Sambo salah seorang yang terlibat dalam penyusunan Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Ia juga yang menyampaikan hasil putusan Sidang KKEP Brotoseno ke publik, yang menyatakan bahwa Sidang KKEP atas Brotoseno sudah final.
Penegakan Pelanggaran KEPP telah dilaksanakan melalui Sidang KKEP dengan putusan Nomor: PUT/72/X/2020, tanggal 13 Oktober 2020, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 7 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat (1) huruf c, pasal 13 ayat (1) huruf a, pasal 13 ayat (1) huruf e Peraturan Kapolri Nomor 14 tentang KEPP dan dijatuhi sanksi.
Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri serta direkomendasikan dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi.
Terhadap putusan ini, AKBP Brotoseno menyatakan menerima dan tidak mengajukan banding.
Berbeda sikap dan nasib dengan AKBP Brotoseno, pada Kamis (25/9) Ferdy Sambo menjalani sidang etik setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan pembunuhan berencana Brigadir J dan juga menghalangi penyidikan dengan membuat skenario tembak-menembak, serta memerintahkan untuk merusak, menghilangkan barang bukti.
Sidang yang berlangsung selama kurang lebih 18 jam itu diputuskan pada Jumat (26/9) dini hari yakni sanksi etik bahwa prilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Kedua, sanksi administratif berupa penempatan di dalam tempat khusus selama 21 hari (sudah dijalankan), dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri.
Mantan Direktur Tidak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri itu terbukti bersalah melanggar Pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 5 ayat (1) huruf b, juncto Pasal 8 huruf b juncto Pasal 8 huruf c angka 1 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf f juncto Pasal 11 ayat (1) huruf a, juncto Pasal 11 ayat (1) huruf b junto Pasal 13 huruf m Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode etik Profesi dan Komisi Etik Polri.
Atas putusan tersebut, Ferdy Sambo menyatakan banding, sesuai haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Perpol Nomor 7 Tahun 2022.
“... yang bersangkutan (Ferdy Sambo) mengajukan banding, ini merupakan hak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 69 dikasih kesempatan menyampaikan banding secara tertulis tiga hari kerja,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo, Jumat (26/8) lalu.
Perpol rawan digugat
Belakangan muncul video viral di media sosial pernyataan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang meminta Presiden dan Menkopolhukam untuk meninjau ulang Perpol Nomor 7 Tahun 2022. Menurut Gatot, adanya kewenangan Kapolri untuk melakukan peninjauan kembali memungkinkan bagi Ferdy Sambo untuk kembali menjadi anggota Polri setelah 3 tahun putusan sidang banding ditetapkan.
Sidang KKEP Banding Ferdy Sambo yang digelar Senin (19-9) memutuskan menolak permohonan banding pelanggar dan menguatkan putusan sidang KKEP Nomor: EP/74/VIII/2022 tanggal 26 Agustus yang menjatuhkan sanksi etika, serta administratif PTDH sebagai anggota Polri.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengingatkan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 rawan digugat, salah satunya hasil putusan Sidang KKEP Banding Ferdy Sambo.
Meski ia menilai logika Perpol Nomor 7 Tahun 2022 yang disampaikan oleh Gatot Nurmantyo itu terbalik, celah untuk menggugat hasil putusan sidang etik masih terbuka lebar apabila Ferdy Sambo mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Salah satu persoalannya, Perpol Nomor 7 Tahun 2022 terkait sidang etik tidak mengatur kapan dilakukan apakah setelah proses pidana atau sebelum proses pidana. Hal ini tergantung subjektivitas Kapolri.
Kalau ada desakan, sidang etik bisa digelar sebelum proses pidana; kalau tidak ada desakan, sidang etik dilaksanakan nanti menunggu vonis inkrah di pengadilan hingga Mahkamah Agung.
Kondisi tersebut membuat negara rugi karena tetap membayar gaji polisi yang dipidana sampai pensiun. Sebagai contoh, Irjen Pol. Napoleon Bonaparte belum menjalani sidang etik hingga saat ini, setelah tersandung kasus red notice Djoko Tjandra dan penganiayaan Muhammad Kace.
Hasil putusan PTDH Ferdy Sambo sudah jelas, Kapolri memiliki waktu 30 hari untuk menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat keputusan.
Soal pemecatan itu harus tanda tangan Presiden atau Presiden cukup dengan menyerahkan kewenangan pada Kapolri, itu perlu ditanyakan pada pakar hukum tata usaha negara.
"Karena kalau salah, bisa saja gugatan Sambo di PTUN diterima. Meski prosesnya benar, secara administrasi salah,” kata Bambang.