Jakarta (ANTARA) - Orang-orang yang hidup di sekitar Ismail Marzuki kerap memanggilnya dengan nama kecil, cukup Mail atau Maing, Bang atau Pak Mail/Maing. Sementara orang-orang Belanda menyebutnya dengan Benjamin atau Ben karena cakap dalam dunia musik dan pandai berbahasa Belanda.
Sejak kecil, Ismail sudah menggemari musik. Saking cintanya di dunia musik, ia bahkan bisa menghabiskan waktu berlama-lama saat mendengarkan musik. Ia juga suka membeli piringan hitam dengan uang sakunya saat masih bersekolah.
"Kalau sudah putar piringan hitam, Ismail sulit berhenti. Ia tahan berjam-jam di muka gramofon," tulis Ninok Leksono dalam bukunya yang berjudul "Ismail Marzuki Senandung Melintas Zaman".
Kecintaan pada gramofon dan piringan hitam itu menular dari ayahnya, Marzuki Saeran. Keluarga Marzuki memiliki koleksi piringan hitam cukup banyak, mencakup lagu dan irama yang beragam, seperti keroncong, jali-jali, cokek, dan gambus.
Ismail juga menyukai lagu-lagu Barat. Ninok mencatat bahwa lagu Barat yang paling disukainya adalah lagu-lagu dari Perancis, Italia, Latin, dengan irama rumba, tango, samba, dan sebagainya.
Minat musiknya semakin kentara sejak bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)–sekolah menengah pertama pada masa kolonial. Tak hanya bisa memainkan gitar dan ukelele, ia juga memainkan pengusung melodi seperti biola, akordeon, saksofon, dan piano.
Selain suka berlama-lama mendengarkan musik, Ismail suka bermain berbagai alat musik selama empat hingga lima jam sehari.
Setelah lulus dari MULO, ia sempat bekerja sebagai kasir di Socony Service Station di Java Weg (sekarang Jalan Cokroaminoto, Jakarta) dengan gaji 30 gulden per bulan, tetapi tak bertahan lama.
Kemudian Ismail bekerja di perusahaan NN Knies di Noordwijk (sekarang Jalan Ir H. Juanda) sebagai tenaga verkoper atau bagian sales dan marketing yang menjual alat musik dan piringan hitam. Pekerjaan inilah yang menjadi titik mula Ismail mengembangkan kariernya di dunia musik.
"Pak Mail itu pintar sekali menjual piringan hitam karena dia tidak melulu (menawarkan) 'ini, beli ini', tapi dia juga menceritakan pada calon-calon pembeli mengenai musik dan riwayat lagu. Itu secara tidak langsung bermanfaat untuk Pak Mail dalam meluaskan wawasannya tentang musik," cerita Ninok dalam konferensi pers "Mentjari Bang Maing dan Djoewita" secara virtual, Kamis (17/2).
Dalam bukunya Ninok menulis, penampilan Ismail yang selalu mengenakan pakaian necis atau perlente, barangkali juga turut mempengaruhi ketertarikan calon pembeli piringan hitam. Ia bahkan selalu mengenakan dasi hingga temannya bergurau bahwa Ismail hanya mencopot dasi saat mandi dan tidur.
"Selalu pakai baju necis. Katanya Pak Mail itu nggak pernah copot dasi kecuali mandi," tutur Ninok.
Pekerjaan di NN Knies itu membawa pertemuannya dengan Hugo Dumas, seorang agen di perusahaan itu dan pegawai tinggi di Departemen Kehakiman. Dumas juga memimpin Orkes Lief Java.
Menurut Ninok, perkenalan dengan Dumas itu menjadi salah satu titik balik karier Ismail. Dari sana akhirnya ia bergabung sebagai anggota Orkes Lief Java hingga siaran di radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) milik Belanda bersama kelompok musik itu.
"Keterlibatan yang intens dalam penyiaran tersebut mengembangkan bakat musik yang lain. Selain menyanyi, memainkan alat musik, bakat yang paling besar Pak Mail itu mencipta lagu," ujar Ninok.
Menghidupkan kembali Ismail Marzuki melalui drama musikal
Setelah tahun lalu menyuguhkan seni pertunjukan Serial Musikal Nurbaya yang ditayangkan secara daring, tahun ini www.indonesiakaya.com bersama Garin Nugroho dan kelompok Teater Musikal Nusantara (TEMAN) kembali menghadirkan program serupa dengan mengangkat kisah hidup Ismail Marzuki.
Proyek terbaru itu rencananya mulai berproduksi pada pertengahan tahun dan akan ditayangkan pada bulan-bulan menjelang akhir tahun. Sejauh ini, proyek musikal itu masih dalam tahap menjaring calon-calon pemeran, terutama pemeran utama.
"Ketika nanti para pelakon ini akan membawakan seorang Ismail Marzuki, maka dia akan membawakan sebuah sejarah besar dan gabungan kehidupan yang luar biasa (dari sosok Ismail Marzuki)," kata Garin Nugroho yang bertindak sebagai produser eksekutif dalam proyek ini.
Elemen seni teater, seni tari, seni suara, dan teknologi film menjadi satu unsur yang akan diutamakan dalam serial musikal mendatang. Oleh sebab itu, calon pemeran setidaknya dituntut mampu berakting, bernyanyi, dan menari.
Menurut Garin, calon pemeran hendaknya juga mampu memahami dan memperdalam karakter Ismail Marzuki dengan mencari dan membaca banyak referensi, terutama tentang bagaimana komponis itu tumbuh dalam latar belakang keluarga dan pendidikan.
"Mimpi tentang kemerdekaan dan tentang dirinya sebagai seorang komponis dan pemusik itu harus menjadi latar belakang yang dibaca dulu. Dari situ, Anda akan menemukan sebetulnya bagaimana karakter seorang Ismail Marzuki, termasuk di dalam masalah-masalah romantismenya dia," ujarnya.
Komponis Betawi yang lahir di daerah Kwitang, Jakarta, itu membawa pengaruh besar dalam sejarah musik tanah air. Karya-karyanya merentang dari masa kolonial sekitar 1930-an hingga dekade kedua abad ke-21.
Kehidupan dan karya-karya yang melintasi zaman demi zaman besar bangsa Indonesia itulah yang menjadi salah satu alasan tim produksi ingin menghidupkan kembali Ismail Marzuki melalui panggung musikal.
"Ismail itu, begitu saja serta merta sudah cukup untuk menjadi cerita karena riwayat hidupnya itu memang berimpitan dengan zaman-zaman besar Indonesia. Tentu komponis lain itu juga kita hormati, tapi warna-warninya pak Ismail ini luar biasa," kata Ninok.
Garin Nugroho yang bertindak sebagai produser eksekutif dalam proyek baru itu memandang Ismail Marzuki sebagai komponis dengan gabungan kehidupan yang membawa sejarah mulai dari sejarah personal, sejarah musik, sejarah kebangsaan, hingga sejarah kehidupan industri kreatif di perkotaan pada masa itu.
Garin mencatat setidaknya terdapat lima aspek penting mengapa kisah hidup Ismail Marzuki menjadi penting untuk dihidupkan kembali melalui sebuah karya.
Pertama, Ismail memiliki kekuatan sebagai seorang komponis dengan beragam genre. Kedua dan ketiga, karya-karyanya mampu menjadi lagu-lagu wajib dan lagu-lagu populer.
"Dua sisi (wajib dan populer) yang luar biasa sekali dengan jumlah lagu yang juga luar biasa sekali di era yang paling penting dalam sejarah Indonesia," kata Garin.
Keempat, Ismail merepresentasikan daya tumbuh seorang manusia muda yang hidup di kota pusat politik Indonesia.
"Untuk menghadirkan dirinya di dalam dunia kompetisi, yang pada saat itu sangat tidak mudah dan survival terus-menerus, itu bisa menjadi contoh bagi kita semua," ujarnya.
Yang terakhir, Ismail memiliki daya kreativitas yang luar biasa. Yang menjadi menarik, menurut Garin, Ismail tidak hanya memotret romantisme pribadi dalam karya-karyanya melainkan juga memotret sejarah bangsa.
Jika tidak ada lagi yang membuat upaya untuk menghidupkan kembali sosok Ismail Marzuki melalui sebuah karya baru, Garin memandang bahwa tampaknya generasi muda akan kehilangan jejak sejarah itu.
"Generasi yang baru yang tumbuh dalam sejarah mana pun, dia akan selalu punya dan harus punya apa yang disebut dengan perpustakaan untuk dia hidupi kembali. Dan perpustakaan terbesar itu adalah Ismail Marzuki," pungkasnya.
Sejak kecil, Ismail sudah menggemari musik. Saking cintanya di dunia musik, ia bahkan bisa menghabiskan waktu berlama-lama saat mendengarkan musik. Ia juga suka membeli piringan hitam dengan uang sakunya saat masih bersekolah.
"Kalau sudah putar piringan hitam, Ismail sulit berhenti. Ia tahan berjam-jam di muka gramofon," tulis Ninok Leksono dalam bukunya yang berjudul "Ismail Marzuki Senandung Melintas Zaman".
Kecintaan pada gramofon dan piringan hitam itu menular dari ayahnya, Marzuki Saeran. Keluarga Marzuki memiliki koleksi piringan hitam cukup banyak, mencakup lagu dan irama yang beragam, seperti keroncong, jali-jali, cokek, dan gambus.
Ismail juga menyukai lagu-lagu Barat. Ninok mencatat bahwa lagu Barat yang paling disukainya adalah lagu-lagu dari Perancis, Italia, Latin, dengan irama rumba, tango, samba, dan sebagainya.
Minat musiknya semakin kentara sejak bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)–sekolah menengah pertama pada masa kolonial. Tak hanya bisa memainkan gitar dan ukelele, ia juga memainkan pengusung melodi seperti biola, akordeon, saksofon, dan piano.
Selain suka berlama-lama mendengarkan musik, Ismail suka bermain berbagai alat musik selama empat hingga lima jam sehari.
Setelah lulus dari MULO, ia sempat bekerja sebagai kasir di Socony Service Station di Java Weg (sekarang Jalan Cokroaminoto, Jakarta) dengan gaji 30 gulden per bulan, tetapi tak bertahan lama.
Kemudian Ismail bekerja di perusahaan NN Knies di Noordwijk (sekarang Jalan Ir H. Juanda) sebagai tenaga verkoper atau bagian sales dan marketing yang menjual alat musik dan piringan hitam. Pekerjaan inilah yang menjadi titik mula Ismail mengembangkan kariernya di dunia musik.
"Pak Mail itu pintar sekali menjual piringan hitam karena dia tidak melulu (menawarkan) 'ini, beli ini', tapi dia juga menceritakan pada calon-calon pembeli mengenai musik dan riwayat lagu. Itu secara tidak langsung bermanfaat untuk Pak Mail dalam meluaskan wawasannya tentang musik," cerita Ninok dalam konferensi pers "Mentjari Bang Maing dan Djoewita" secara virtual, Kamis (17/2).
Dalam bukunya Ninok menulis, penampilan Ismail yang selalu mengenakan pakaian necis atau perlente, barangkali juga turut mempengaruhi ketertarikan calon pembeli piringan hitam. Ia bahkan selalu mengenakan dasi hingga temannya bergurau bahwa Ismail hanya mencopot dasi saat mandi dan tidur.
"Selalu pakai baju necis. Katanya Pak Mail itu nggak pernah copot dasi kecuali mandi," tutur Ninok.
Pekerjaan di NN Knies itu membawa pertemuannya dengan Hugo Dumas, seorang agen di perusahaan itu dan pegawai tinggi di Departemen Kehakiman. Dumas juga memimpin Orkes Lief Java.
Menurut Ninok, perkenalan dengan Dumas itu menjadi salah satu titik balik karier Ismail. Dari sana akhirnya ia bergabung sebagai anggota Orkes Lief Java hingga siaran di radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) milik Belanda bersama kelompok musik itu.
"Keterlibatan yang intens dalam penyiaran tersebut mengembangkan bakat musik yang lain. Selain menyanyi, memainkan alat musik, bakat yang paling besar Pak Mail itu mencipta lagu," ujar Ninok.
Menghidupkan kembali Ismail Marzuki melalui drama musikal
Setelah tahun lalu menyuguhkan seni pertunjukan Serial Musikal Nurbaya yang ditayangkan secara daring, tahun ini www.indonesiakaya.com bersama Garin Nugroho dan kelompok Teater Musikal Nusantara (TEMAN) kembali menghadirkan program serupa dengan mengangkat kisah hidup Ismail Marzuki.
Proyek terbaru itu rencananya mulai berproduksi pada pertengahan tahun dan akan ditayangkan pada bulan-bulan menjelang akhir tahun. Sejauh ini, proyek musikal itu masih dalam tahap menjaring calon-calon pemeran, terutama pemeran utama.
"Ketika nanti para pelakon ini akan membawakan seorang Ismail Marzuki, maka dia akan membawakan sebuah sejarah besar dan gabungan kehidupan yang luar biasa (dari sosok Ismail Marzuki)," kata Garin Nugroho yang bertindak sebagai produser eksekutif dalam proyek ini.
Elemen seni teater, seni tari, seni suara, dan teknologi film menjadi satu unsur yang akan diutamakan dalam serial musikal mendatang. Oleh sebab itu, calon pemeran setidaknya dituntut mampu berakting, bernyanyi, dan menari.
Menurut Garin, calon pemeran hendaknya juga mampu memahami dan memperdalam karakter Ismail Marzuki dengan mencari dan membaca banyak referensi, terutama tentang bagaimana komponis itu tumbuh dalam latar belakang keluarga dan pendidikan.
"Mimpi tentang kemerdekaan dan tentang dirinya sebagai seorang komponis dan pemusik itu harus menjadi latar belakang yang dibaca dulu. Dari situ, Anda akan menemukan sebetulnya bagaimana karakter seorang Ismail Marzuki, termasuk di dalam masalah-masalah romantismenya dia," ujarnya.
Komponis Betawi yang lahir di daerah Kwitang, Jakarta, itu membawa pengaruh besar dalam sejarah musik tanah air. Karya-karyanya merentang dari masa kolonial sekitar 1930-an hingga dekade kedua abad ke-21.
Kehidupan dan karya-karya yang melintasi zaman demi zaman besar bangsa Indonesia itulah yang menjadi salah satu alasan tim produksi ingin menghidupkan kembali Ismail Marzuki melalui panggung musikal.
"Ismail itu, begitu saja serta merta sudah cukup untuk menjadi cerita karena riwayat hidupnya itu memang berimpitan dengan zaman-zaman besar Indonesia. Tentu komponis lain itu juga kita hormati, tapi warna-warninya pak Ismail ini luar biasa," kata Ninok.
Garin Nugroho yang bertindak sebagai produser eksekutif dalam proyek baru itu memandang Ismail Marzuki sebagai komponis dengan gabungan kehidupan yang membawa sejarah mulai dari sejarah personal, sejarah musik, sejarah kebangsaan, hingga sejarah kehidupan industri kreatif di perkotaan pada masa itu.
Garin mencatat setidaknya terdapat lima aspek penting mengapa kisah hidup Ismail Marzuki menjadi penting untuk dihidupkan kembali melalui sebuah karya.
Pertama, Ismail memiliki kekuatan sebagai seorang komponis dengan beragam genre. Kedua dan ketiga, karya-karyanya mampu menjadi lagu-lagu wajib dan lagu-lagu populer.
"Dua sisi (wajib dan populer) yang luar biasa sekali dengan jumlah lagu yang juga luar biasa sekali di era yang paling penting dalam sejarah Indonesia," kata Garin.
Keempat, Ismail merepresentasikan daya tumbuh seorang manusia muda yang hidup di kota pusat politik Indonesia.
"Untuk menghadirkan dirinya di dalam dunia kompetisi, yang pada saat itu sangat tidak mudah dan survival terus-menerus, itu bisa menjadi contoh bagi kita semua," ujarnya.
Yang terakhir, Ismail memiliki daya kreativitas yang luar biasa. Yang menjadi menarik, menurut Garin, Ismail tidak hanya memotret romantisme pribadi dalam karya-karyanya melainkan juga memotret sejarah bangsa.
Jika tidak ada lagi yang membuat upaya untuk menghidupkan kembali sosok Ismail Marzuki melalui sebuah karya baru, Garin memandang bahwa tampaknya generasi muda akan kehilangan jejak sejarah itu.
"Generasi yang baru yang tumbuh dalam sejarah mana pun, dia akan selalu punya dan harus punya apa yang disebut dengan perpustakaan untuk dia hidupi kembali. Dan perpustakaan terbesar itu adalah Ismail Marzuki," pungkasnya.