Kopi Pagaralam tak lagi "asalan"

id kopi,kopi pagaralam,kopi sumsel,ekspor kopi,tanaman kopi,petani kopi,eksportir kopi Oleh Dolly Rosana

Kopi Pagaralam tak lagi "asalan"

Petani Pagaralam melakukan petik merah buah kopi. (ANTARA/HO-Dewisekopi Basemah)

Kopi Pagaralam menjadi buruan sejak mendapatkan pengakuan internasional pada kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Perancis
Palembang (ANTARA) - Istilah kopi asalan cukup dikenal di kalangan petani, pengepul, tengkulak, eksportir hingga masyarakat umum di Pagaralam, Sumatera Selatan.

Sebutan itu melekat karena adanya metode pemetikan biji kopi yang dilakukan secara serentak, mulai dari biji yang masih berwarna hijau, kuning, merah mudah hingga merah atau lazim juga disebut petik pelangi.

Metode petik pelangi itu sudah berlangsung sejak lama, penyebabnya diduga karena beberapa faktor antara lain minimnya pengetahuan petani mengenai pasca panen, adanya keinginan terselubung dari buyers (pembeli) agar harga kopi mahal dan faktor keamanan.

Di beberapa lokasi Pagaralam didapati fakta bahwa petani terpaksa memetik biji kopi secara serentak lantaran khawatir dicuri, adanya keinginan untuk menghemat ongkos produksi dan ingin lebih cepat mendapat uang tunai.
 
Namun belakangan ini petani setempat mulai menyadari bahwa metode kopi asalan ini tak bisa lagi dipertahankan, terutama dari kalangan petani kopi muda, yaitu mereka yang merupakan generasi ketiga dan keempat dari petani kopi setempat, yang menerapkan pemikiran dan konsep-konsep baru dalam pertanian dan pengolahan kopi.

Kristian Tri Purnomo (38), petani kopi asal Pagaralam, mengatakan sejak dua tahun terakhir, sudah banyak petani di daerahnya yang melakukan petik merah untuk memenuhi permintaan buyers yang mencari kopi premium.

Saat ini sejumlah pembeli ‘turun’ ke Pagaralam untuk mendapatkan biji kopi (green bean) berkualitas dengan menawarkan harga Rp34.000 per kilogram. Sementara untuk kopi asalan di pasaran hanya dipatok Rp19.000 per kilogram.

Untuk memenuhi permintaan pembeli premium ini petani dituntut bersabar karena kegiatan pascapanen bisa berlangsung lebih lama, hingga berbulan-bulan.

Mulai dari petik merah, yakni hanya memetik biji kopi yang sudah merah saja sehingga masa pemetikan ini menjadi lebih lama dari biasanya, dari dua bulan menjadi empat bulan.

Kemudian biji kopi yang berwarna merah itu direndam di dalam air, untuk dilakukan penyortiran. Biji yang terapung dianggap tidak layak produksi sehingga langsung disisihkan.

Lalu dilakukan proses penjemuran selama 30 hari, atau lebih lama dua pekan dari biasanya di atas ‘para-para’ yakni tempat yang berjarak 70 cm dari tanah. Metode ini berbeda dari sebelumnya, yang mana petani menjemur di tanah atau di jalan beraspal.

Setelah itu, barulah biji kopi memasuki proses penggilingan untuk mengupas kulit kopi. Ini pun dilakukan proses penyortiran hingga tiga kali untuk membedakan ukurannya. Lalu, biji kopi yang sudah unggul itu baru diizinkan menjalani proses penggorengan (roasting).

Hasil yang didapat melalui proses panjang ini, sudah dipastikan menghasilkan produk biji kopi premium yang harganya berkisar Rp34.000/Kg.

Untuk menjaga keunggulannya itu, proses penyimpanannya pun tidak bisa dilakukan sembarang atau harus dimasukkan dalam plastik kedap udara yang memiliki teknologi memastikan tidak ada jamur.

Lantaran harga yang tinggi membuat petani pun tertarik, termasuk Kristian yang sejak dua tahun terakhir sudah menerapkan petik merah.

Munculnya pasar yang baru ini membuat segmen kopi asalan dari Pagaralam mulai tergerus. Meski pembeli masih ada yang meminati terutama pengepul dari Lampung tapi kini harga kopi asalan tak semurah sebelumnya.

Salah seorang eksportir kopi, Rudi Mickhael mengatakan saat ini kopi asalan yang relatif sudah disortir atau grade C dihargai Rp23.000 per kilogram. Sementara untuk kopi asalan yang tidak disortir tetap di kisaran Rp19.000 per kilogram.

“Kami (eksportir) terpaksa membeli kopi asalan yang sudah disortir ini untuk memenuhi volume minimal ekspor, karena produksi premium masih terbatas di Pagaralam. Jadi terpaksa kami turun langsung memperbaiki produk,” kata dia.

Ia tak menyangkal, masuknya para petani kopi muda dengan paradigma baru telah berangsur-angsur mengubah pola pengelolaan pertanian kopi di daerah tersebut.

Seperti, adanya konsep desa wisata dengan membangun Desa Wisata dan Sekolah Kopi di kaki Gunung Dempo hingga mendekatkan sisi hulu dan hilir untuk memotong jalur bisnis klasik.

Sejauh ini kopi dari Pagaralam, Sumatera Selatan, semakin diminati pasar internasional dari Asia hingga Eropa sejak setahun terakhir.

Kopi Pagaralam menjadi buruan sejak mendapatkan pengakuan internasional pada kontes kopi dunia AVPA (Agency for the Valorization of the Agricultural Products) Gourmet Product tahun 2020 di Paris, Perancis.

“Pada awal tahun 2022, saya sudah ekspor dua kontainer biji kopi ke Oman, dan pertengahan tahun ini ada permintaan dari Korea Selatan dan Rusia. Sekarang saya mulai menyetok lagi untuk penuhi gudang di Jakarta” kata Rudy.
 
Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya menyetek tanaman kopi pada peluncuran program Gerakan Sejuta Batang Sambung Pucuk Tanaman Kopi di Desa Rempasai, Kelurahan Panjang, Kecamatan Dempo Selatan Kota Pagaralam, Sabtu (4/9/2021). (ANTARA/HO-Pemprov Sumsel)



Kopi Pagaralam yang berjenis robusta ini dinilai memiliki cita rasa yang unggul berupa ‘strong bitter’. Rasa pahit yang unik ini didapatkan Kopi Pagaralam karena lokasi penanaman di ketinggian 1.000-1.4000 mdpl, yang berdampingan dengan jenis tanaman lain yakni cengkih, kayu manis, dan petai. Sebagaimana diketahui bahwa tanaman kopi itu menyerap saripati tanaman yang ada di sekitarnya.

Bagi eksportir, Kopi Pagaralam ini sangat menjanjikan. Bukan hanya karena keunggulan dari cita rasanya tapi juga dari sisi volume produksinya yang relatif mencukupi.

Kota Pagaralam, Sumsel, yang berada di kaki Gunung Dempo dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan produksi 12.782 ton per tahun dari total luas lahan 8.327 hektare berdasarkan data BPS Sumsel. Pada 1920, bukit-bukit indah di Pagaralam sudah ditanami kopi dalam skema tanam paksa oleh penjajah Belanda yang pada masa itu berambisi mengalahkan para pedagang Arab dalam bisnis kopi internasional.

“Artinya jika mau digarap dengan serius untuk sisi ekspor, maka Kopi Pagaralam yang paling tepat. Sudah dapat pengakuan internasional dan dari skala jumlah juga memenuhi. Begitu juga dengan kualitas, karena sudah banyak petani yang beralih dari kopi asalan ke premium,” kata dia.

Garap ekspor

Kopi asal Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, siap diekspor ke sejumlah negara untuk mengambil segmen pasar produk premium oleh unit usaha koperasi setempat.

Ketua Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Cabang Pagaralam Nisdiarti mengatakan, pihaknya yang mengelola Koperasi Mandiri Pagaralam sedang mempersiapkan proses ekspor tersebut dengan dibantu anak perusahaan PT Pusri yakni PT Pusri Agro Lestari.

Melalui anak perusahaan Pusri ini, para petani dikawal dalam proses di sisi hulu hingga hilir, di antaranya dalam penggunaan pupuk hingga upaya untuk mengatasi gulma dan hama penyakit.

Saat ini pihaknya juga mendapatkan bantuan dari fasilitasi ekspor dari Kementerian Perdagangan terkait dengan prasyarat perizinan.

Kemudian, pengurus koperasi juga sedang mengurus legalisasi penerapan sistem resi gudang ke Badan Pengawas Perdagangan Komoditi Berjangka (Bappebti) agar petani lebih berdaya saing.

Persoalan kini terletak pada volume ekspor yang terbilang masih kecil jika melalui pintu Pelabuhan Boom Baru, Palembang.

Otoritas pelabuhan hanya mampu memberikan kapasitas sebanyak 5 ton, sementara produksi kopi yang bisa dihasilkan petani terbilang jauh melebihi kapasitas tersebut.

Menurutnya, persoalan ini dapat diselesaikan asalkan ada kolaborasi antara petani dan instansi terkait agar kopi Pagaralam ini bisa dikenal di pasar internasional.

Selama ini kopi Pagaralam sebagian besar diekspor melalui Pelabuhan Panjang Lampung sehingga brand-nya pun menjadi Kopi Lampung.

Ia mengatakan keinginan untuk mengangkat Kopi Pagaralam ini sebenarnya sejak lama didengungkan petani setempat, tetapi terhambat oleh metode pertanian yang masih tradisional dan pola petik pelangi yang mengaburkan ciri khas kopi daerah tersebut.

Tantangan lain yakni produktivitas lahan kopi di Pagaralam masih terbilang rendah yakni rata-rata 900 kilogram per hektare per tahun, jauh di bawah negara pesaing seperti Vietnam, yang kini telah mencapai tiga ton per hektare per tahun. Hal ini bisa diatasi dengan pola pertanian yang lebih baik, mulai dari pemilihan bibit, pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan perawatan tanaman.

Namun hadirnya petani muda dengan pemikiran dan metode pengolahan kopi yang baru, yang mampu menghasilkan produk premium untuk memenuhi pasar internasional, maka Kopi Pagaralam layak mendapat tempat yang lebih baik dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Dan akhirnya, Kopi Pagaralam tak lagi "asalan".