Purwakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengungkap sejumlah kejanggalan dalam penanganan perkebunan sawit ilegal di Indonesia.
“Ada beberapa kejanggalan persoalan perkebunan sawit ilegal di Tanah Air, seperti yang terjadi di Riau,“ kata Dedi dalam sambungan telepon di Purwakarta, Senin.
Ia mengatakan, beberapa waktu lalu dirinya bersama rombongan Komisi IV DPR RI melakukan kunjungan kerja bersama Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menyegel perkebunan sawit ilegal di Riau.
Saat melakukan kunjungan pertama untuk penyegelan, Dedi merasa optimis akan berdampak luas khususnya bagi para pemilik perkebunan sawit ilegal, agar segera melakukan pembenahan mulai dari sisi administratif, membayar denda hingga membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Tetapi faktanya Bupati menyampaikan bahwa kebun yang disegel sudah bersertifikat. Pertanyaannya adalah dasar ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) mengeluarkan sertifikat dari mana? Ini kan ada dua lembaga negara, ATR/BPN dan KLHK cq Ditjen Penegakan Hukum,” ujarnya pula.
“Satu ilegal (menurut KLHK), satu lagi (ATR/BPN) mengatakan sudah mengeluarkan sertifikat,” katanya.
Ia menilai kalau proses keluarnya sertifikat oleh ATR/BPN tersebut ada prosedur yang dilanggar. Sebab perkebunan tersebut telah jelas melanggar hingga akhirnya disegel oleh KLHK.
Atas hal tersebut, katanya pula, ada pembelajaran penting yang harus dilakukan yakni mendorong KLHK untuk berani tegas membuat laporan ke Mabes Polri terkait proses sertifikat kawasan perkebunan sawit ilegal tersebut.
“Itu bertentangan dengan undang-undang, sehingga kepala BPN yang mengeluarkan sertifikat bisa dipidana. Saya khawatir ini terjadi di berbagai tempat, bukan hanya satu sertifikat bisa jadi ratusan atau ribuan sertifikat yang melibatkan jutaan hektare tanah, dan negara dirugikan,” kata dia lagi.
Tidak hanya itu, Dedi juga mendapat informasi adanya persiapan para korporasi berubah menjadi koperasi. Hal tersebut dikarenakan sesuai UU Cipta Kerja masyarakat boleh menggarap perkebunan rakyat yang luasnya tidak lebih dari 5 hektare.
“Jadi korporasi yang menanam kebun sawit ilegal itu berubah jadi koperasi, kebun sawit itu kemudian dibagi-bagi 5 hektare, sehingga mereka terbebas dari denda dan pembayaran PNBP,” kata Dedi.
Ia meminta agar KLHK terbuka kepada publik mengumumkan siapa pelaku atau korporasi yang menyebabkan kerugian negara akibat menjamurnya perkebunan sawit ilegal, sehingga hal tersebut bisa menjadi perhatian publik.
Berita Terkait
Pemprov Sumsel atur keseimbangan antara luasan lahan sawit dan sawah
Sabtu, 7 September 2024 8:00 Wib
Melalui proses panjang, 19.023 pekebun kelapa Sumsel terlindungi BPJS Ketenagakerjaan
Jumat, 6 September 2024 7:00 Wib
Seorang pria ditemukan tewas dengan luka parah di kebun sawit
Jumat, 30 Agustus 2024 21:17 Wib
Polisi: Kebakaran lahan gambut di Mukomuko sengaja dibakar
Jumat, 26 Juli 2024 15:59 Wib
Polisi Musi Rawas buru pelaku pencuri 1,2 ton sawit di kebun warga
Rabu, 24 Juli 2024 8:01 Wib
Pj Gubernur Sumsel terima Direksi PTPN diskusikan sawit hingga tebu
Sabtu, 20 Juli 2024 10:30 Wib
BPDPKS-Kementan gelar pelatihan pengembangan SDM petani sawit di Sumsel
Minggu, 30 Juni 2024 21:27 Wib
Raih untung lewat program kesatria, petani OKI berhasil panen padi gogo di lahan sawit
Kamis, 27 Juni 2024 15:07 Wib