Jambi (ANTARA) - Gentar atau dalam Kartu Tanda Penduduk ditulis Bagentar usia 45 tahun, merupakan sosok Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) yang aktif mengembangkan ekonomi alternatif dengan membudidayakan jernang untuk menjaga rimba atau hutan.
Jika selama ini Orang Rimba cenderung untuk berburu atau hunter dan mencari hasil hutan, sejak enam tahun belakangan pria yang menjabat Menti (pembantu Tumenggung, pemimpin tertinggi dalam kelompok Orang Rimba) ini sudah melakukan budidaya tanaman jernang.
Jernang (Dhaemorhop draco) merupakan tumbuhan merambat yang hidup di hutan-hutan tropis pas ketinggian tak lebih dari 800 mdpl, hutan dataran rendah Jambi yang merupakan juga rumah bagi Orang Rimba merupakan tempat yang cocok untuk tumbuh jernang.
Dahulu Orang Rimba dengan mudah menemukan rumpun jernang dan memanen buahnya dalam dua kali setahun. Tumbuhan ini sebagaimana jenis rotan lainnya tumbuh merambat dengan ketinggian bisa mencapai 25 meter mengikuti pohon tegakannya.
"Berkurangnya pepohonan di dalam hutan akibat berbagai aktivitas, baik penebangan maupun alih fungsi hutan menyebabkan keberadaan jernang juga semakin sedikit dan keberadaan jernang sangat penting untuk menjaga kualitas hutan," kata Gentar yang didampingi staf Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sukmareni.
Tidak tanggung-tanggung kini luas lahan yang ditanami jernang oleh Gentar mencapai 6 ha di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas.
Jernang dalam bahasa latinnya daemonorhop draco merupakan tanaman tergolong rotan hidup subur di hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan. Tanaman ini menghasilkan resin yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama “dragon blood”.
Orang Rimba sejak dulu sudah terkenal sebagai penghasil jernang. Suku yang hidup di dalam hutan dataran rendah sumatera secara berkelompok. Hidup dengan pola semi nomadik dengan tradisi yang berpegang teguh pada ajaran nenek moyang, Orang Rimba sangat bergantung dengan hutan.
Sangat Unik
Pola kehidupan Orang Rimba juga sangat unik, mereka menganut sistem berkebalikan dengan masyarakat Melayu. Jika masyarakat Melayu tinggal di rumah maka Orang Rimba tinggal di sesudungon sejenis pondok tanpa dinding yang beratapkan daun atau kini banyak yang sudah menggunakan terpal.
Semua aspek kehidupan mereka bergantung dengan hutan sebagai ekonomi, sosial dan religi. Berburu hewan dan mengambil buah-buahan dan karbohidrat hutan untuk dikonsumsi.
Mereka juga menjual hasil hutan yang digunakan untuk membeli bahan kebutuhan yang tidak tersedia di rimba seperti gula, kopi dan kebutuhan lainnya. Salah satu hasil rimba yang bisa diambil adalah jernang.
Orang Rimba tidak mampu mengelak dari semakin sempitnya hutan. Hutan yang menjadi rumah mereka, tempat mereka hidup dan berpenghidupan mereka dan jernang yang menjadi pendukung ekonomi semakin langka, kata Sukmareni.
Bahkan ada kalanya Orang Rimba harus berebut untuk mendapatkan buahnya. Padahal dalam tradisi Orang Rimba berebut hasil hutan adalah pantangan. Mereka sudah sangat terbiasa dengan budaya toleran, siapa yang menemukan duluan maka merekalah yang berhak untuk memanen hasil rimba tersebut.
Namun kondisi ini juga yang mendorong Orang Rimba untuk mengambil jernang muda, jernang yang menghasilkan resin sedikit dan kualitas tidak paripurna. Beranjak dari sinilah Komunitas Konservasi Indonesia Warsi yang melakukan pendampingan pada Orang Rimba mengajak komunitas ini mendiskusikan persoalan ini.
Dari diskusi ini Orang Rimba sepakat bahwa jernang sudah makin langka dan itu artinya hutan makin tipis, sehingga harus ada langkah nyata untuk mempertahankan jernang dan hutan. Adalah Gentar yang paling bersemangat untuk mengaplikasikan budi daya jernang ini.
Walau sebenarnya Orang Rimba bukanlah kelompok masyarakat petani, tetapi Gentar memperlihatkan kesungguhannya untuk melakukan budi daya.
Diawali dengan mengikuti pelatihan budidaya jernang tahun awal 2015, Gentar mampu menyerap ilmu-ilmu pertanian yang diberikan dan langsung aplikasi. Gentar menembus belantara, sampai jauh dari tempat tinggalnya, mencari pohon jernang yang berbuah baik untuk diambil bibitnya.
Di perjalanan perdananya ke arah Bukit Tigapuluh, ke arah timur pemukimannya di Sako Nini Bukit Dua Belas, menempuh jarak puluhan kilometer, Gentar mampu mendapatkan sekitar 400 buah jernang tua.
Buah inilah yang disortirnya dan kemudian dibuat perlakuan khusus sehingga bibit lebih mudah berkecambah. Sejak itu, Gentar rajin berkeliling ke hutan-hutan terdalam yang masih menyimpan jernang dan terus melakukan budidaya. Kini hasil budidaya gentar mulai memperlihatkan hasil, sejumlah jernangnya sudah mengeluarkan buah-buah kecil siap untuk di panen.
"Kami sudah harus mulai budidaya, tanpa budaya kami akan semakin sulit ke depan, apa yang akan menjadi sumber ekonomi anak cucu kami. Lagi pula dengan jernang ini juga hutan semakin baik, karena kami memelihara dan menjaganya," kata Gentar.
Dengan budidaya jernang, Gentar juga yakin konflik perebutan sumber daya juga bisa diatasi.
"Aku lagi mengajak anggota kelompok lain untuk ikut bertanam jernang, rimba kita sudah berubah, bukan lagi rimba macam orang tua kami dulu yang menyediakan segalanya di alam, tetapi kini rimba lah makin habis, ya kita harus menanamnya,' kata Gentar.
Biasanya dari satu rumpun jernang, Orang Rimba bisa mendapatkan hasil satu karung buah jernang yang jika di olah akan menghasilkan 1,5 kg resin. Harga di pasaran Orang Rimba sekitar Rp 3,3 juga per kilogram.
Budi daya jernang yang dilakukan Orang Rimba merupakan bukti nyata Orang Rimba adalah menjaga rimbanya.
Mereka sangat sadar dengan keberadaan rimba yang semakin menipis, sehingga melakukan hal-hal sederhana untuk mempertahankan hutan yang juga menjadi harapan bagi semua penduduk bumi.
Gentar budidaya jernang jaga rimba
Pola kehidupan Orang Rimba juga sangat unik, mereka menganut sistem berkebalikan dengan masyarakat Melayu. Jika masyarakat Melayu tinggal di rumah maka Orang Rimba tinggal di sesudungon sejenis pondok tanpa dinding yang beratapkan daun